Langsung ke konten utama

7 - KENAKALAN MARVEL SAAT STUDY TOUR

 






Study tour ke Jakarta itu bukan cuma perjalanan… tapi ajang resmi Marvel untuk unjuk kreativitas dalam hal kenakalan yang tidak merugikan negara namun cukup meresahkan guru-guru.

Begitu bus bergerak dari bandara, sense of adventure Marvel langsung ON.

 

Operasi “Kursi Belakang Adalah Takhta Raja”

Begitu masuk bus wisata yang kursinya cokelat tua itu, Marvel langsung bergerak cepat.
Kami sudah hafal aturan tak tertulis: siapa yang duduk di kursi paling belakang, dialah penguasa tertinggi perjalanan.

Bram langsung teriak,
“BROOOO! BELAKANG! GAS!”

Aku ikut lari. Gerry ketinggalan karena nyangkut tasnya di sandaran bangku.

Akhirnya kami duduk bertiga di baris paling belakang—tempat paling strategis buat:

  • Ngobrol bebas
  • Sembunyiin jajanan
  • Kritikus resmi parfum bapak sopir
  • Dan… memulai operasi-operasi rahasia

Kursi belakang itu jadi markas mobile Marvel.

Pak guru sempat nengok dari depan sambil teriak,
“JANGAN BERISIK YA DI BELAKANG!”

Dan seperti biasa… kami jawab:
“Iya Pak!”
Dengan niat tidak menjalani apa pun dari perintah itu.

 

Operasi Misteri Plastik Kresek

Ini kejadian legendaris yang bikin satu bus trauma suara plastik kresek.

Gerry bawa plastik besar isi keripik. Bram juga bawa. Aku juga bawa.
Masalahnya… kami bertiga bawa plastik kresek yang sama-sama warna putih.

Di tengah perjalanan, Bram dengan bangga menunjukkan plastiknya dan bilang,
“Gue bawa makanan, bro!”

Tiba-tiba dari kursi sebelah, si Gede nyeletuk,
“Eh itu plastik gue!”

Bram noleh.
“Mana? Ini punya gue.”

“Bukan, itu punya gue!”

Dua plastik dengan isi sangat mirip langsung diperebutkan.

Akhirnya…
Satu bus kena imbasnya.

Kami buka semua plastik.
Semua keripik ditumpahin ke satu koridor bus.
Guru lewat dan langsung bengong melihat karpet bus berubah jadi ‘hamparan keripik nusantara.’

Bu guru hanya berkata pendek:
“Siapa. Yang. Mulai.”

Tentu… tiga pasang mata semua mengarah ke Marvel.
Tapi anehnya Bu guru cuma ketawa sambil bilang,
“Sudahlah… paling nggak ini bersih. Kalau tumpah sambal baru saya marah!”

 

Operasi “Kita Harus Nyobain Semuanya!” di Taman Mini

Nah, ini operasi paling melelahkan tapi paling konyol.

Kami sepakat:
“Bro… kita harus nyobain semua wahana. SEMUA.”

Padahal isi wahana di Taman Mini itu… ya banyak.
Dan kami cuma punya waktu 3 jam.

Akhirnya kami:

  • Naik kereta gantung
  • Muter di anjungan rumah adat
  • Fotoin patung sambil gaya lebay
  • Lari-lari kayak dikejar dukun
  • Ngejar waktu kayak reporter infotainment

Yang paling lucu:
Di anjungan Kalimantan, ada patung besar berbentuk burung.
Gerry naik ke pijakan batu buat foto.
Eh… licin.
Dia terpeleset.
Dan teriak, “BROOOO… PEGANGIN AKU!”

Kami ketawa sampe guling-guling.
Gerry berdiri sambil megang pinggang.
“Bro… ini sakti banget sakitnya…”

 

Operasi “Membeli Oleh-Oleh Dengan Budget Ala Kadarnya”

Setelah seharian keliling, Marvel baru sadar:
“BRO, DUIT KITA TINGGAL DI BAWAH STANDAR KEMANUSIAAN.”

Akhirnya kami bikin operasi darurat.

Kami muter di pasar oleh-oleh Taman Mini sambil pegang uang receh dan harapan.

Gerry menemukan gantungan kunci Rp500.
Bram nemu gelang Rp300 tapi warnanya… entah apa.
Aku beli stiker murah yang kalau ditiup mengembang sedikit.

Bu guru lihat kami bertiga kayak anak yatim.
“Anak-anak, memangnya itu mau kalian kasih ke siapa?”

Kami jawab jujur:
“Buat orang rumah, Bu…”

Bu guru langsung ketawa sambil geleng-geleng:
“Yang penting niatnya, nak…”

Dan anehnya… itulah oleh-oleh paling tulus yang pernah kami bawa pulang.

 

Operasi “Kabur ke Minimarket”

Ini kejadian paling menegangkan.
Jam 9 malam, anak-anak udah harus di kamar penginapan.

Tapi Marvel—yang tidak bisa diam—lihat ada minimarket kecil di seberang jalan.

Bram langsung ngomong:
“Bro… kita beli minuman dulu yuk…”

“Eh jangan… kita disuruh tidur,” kata aku.

“Kita cuma beli sebentar,” Gerry nambah.

Akhirnya kami menyeberang jalan pelan-pelan, sembunyi kayak ninja ngelewatin pos guru piket.

Sukses.

Masuk minimarket.
Belanja minuman dan roti.
Keluar santai.
Dan saat akan balik…

Pak guru muncul dari balik mobil sambil nyeret sandal.

“HEI! KALIAN BERTIGAAA!”

Kami bertiga langsung freeze.

Bram bisik,
“BRO, LARI!”

Aku jawab,
“NGGAK BISA, DIA DI DEPAN KITA!”

Akhirnya kami jalan kecil-kecil sambil ketawa salah tingkah.
Guru cuma bilang:
“Kalian bertiga nih… satu hari bikin saya ketawa, satu hari bikin saya marah. Tapi lucu juga sih.”

Dan kami kembali ke kamar dengan rasa lega…
dan pelajaran kecil tentang risiko pekerjaan sebagai ‘Marvel.’

 

Saat Semua Berhenti Menjadi Lelucon

Ada satu momen sunyi yang paling aku ingat.

Di dalam bus, setelah seharian capek, ketawa, berlari, dan dimarahi, kami bertiga duduk diam.

Angin AC bus yang setengah mati itu tiba-tiba terasa adem.
Lampu jalanan Jakarta lewat cepat.
Musik di tape bus kecil terdengar samar.

Bram bersandar.
“Ternyata… seru banget ya, bro…”

Gerry mengangguk.
“Gue kayak nggak mau pulang.”

Aku lihat mereka berdua.
Senyum.

Entah kenapa, di momen sederhana itu… aku merasa sesuatu.

Bahwa masa SMP itu cuma lewat sekali, dan Marvel… adalah bagian paling indahnya.

Bukan karena nakalnya.
Bukan karena misinya yang absurd.
Tapi karena untuk pertama kalinya… kami merasa punya rumah kecil, yang nggak terlihat, tapi terasa hangat.

Sebuah geng kecil yang menua bersama kenangan, bukan umur.


LANJUT BACA KLIK :  8 - PERTENGKARAN KECIL YANG BERUBAH JADI PELUKAN LAKI - LAKI

 




Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun, tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya dengan sangat jelas. Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini… padahal hatiku entah di mana. Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku hanya mengadu. “Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya apa-apa…” Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca seperti memelukku erat...

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

  Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja. Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refl...

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN

Pernah nggak sih kamu ngerasa hidup tuh kayak ngegame di level tersulit? Baru aja lolos dari satu masalah, eh, muncul lagi “bos besar” berikutnya. Kadang rasanya pengen pencet tombol exit aja, terus rebahan selamanya di kasur sambil pura-pura nggak kenal dunia. Tapi ya, sayangnya, hidup nggak punya tombol exit. Yang ada cuma tombol pause — itu pun cuma bisa dipakai buat tarik napas bentar, bukan buat kabur selamanya. Jujur aja, jatuh itu hal yang udah kayak rutinitas manusia. Kadang jatuh karena salah langkah, kadang karena didorong keadaan, dan kadang... karena kita sendiri yang terlalu cepat lari padahal belum siap. Tapi di balik semua jatuh itu, ada satu hal yang bikin kita beda dari batu: kita bisa bangkit lagi. Masalahnya, orang sering salah paham. Mereka pikir “bangkit” itu harus spektakuler — kayak tiba-tiba sukses besar, punya bisnis baru, atau jadi motivator dadakan. Padahal kadang “bangkit” itu sesederhana... bisa bangun dari kasur waktu lagi patah hati. Atau berani ...