Study tour ke Jakarta itu bukan cuma perjalanan… tapi ajang resmi
Marvel untuk unjuk kreativitas dalam hal kenakalan yang tidak merugikan
negara namun cukup meresahkan guru-guru.
Begitu bus bergerak dari bandara, sense of adventure Marvel
langsung ON.
Operasi “Kursi Belakang Adalah Takhta Raja”
Begitu masuk bus wisata yang kursinya cokelat tua itu, Marvel
langsung bergerak cepat.
Kami sudah hafal aturan tak tertulis: siapa yang duduk di kursi paling
belakang, dialah penguasa tertinggi perjalanan.
Bram langsung teriak,
“BROOOO! BELAKANG! GAS!”
Aku ikut lari. Gerry ketinggalan karena nyangkut tasnya di
sandaran bangku.
Akhirnya kami duduk bertiga di baris paling belakang—tempat paling
strategis buat:
- Ngobrol
bebas
- Sembunyiin
jajanan
- Kritikus
resmi parfum bapak sopir
- Dan…
memulai operasi-operasi rahasia
Kursi belakang itu jadi markas mobile Marvel.
Pak guru sempat nengok dari depan sambil teriak,
“JANGAN BERISIK YA DI BELAKANG!”
Dan seperti biasa… kami jawab:
“Iya Pak!”
Dengan niat tidak menjalani apa pun dari perintah itu.
Operasi Misteri Plastik Kresek
Ini kejadian legendaris yang bikin satu bus trauma suara plastik
kresek.
Gerry bawa plastik besar isi keripik. Bram juga bawa. Aku juga
bawa.
Masalahnya… kami bertiga bawa plastik kresek yang sama-sama warna putih.
Di tengah perjalanan, Bram dengan bangga menunjukkan plastiknya
dan bilang,
“Gue bawa makanan, bro!”
Tiba-tiba dari kursi sebelah, si Gede nyeletuk,
“Eh itu plastik gue!”
Bram noleh.
“Mana? Ini punya gue.”
“Bukan, itu punya gue!”
Dua plastik dengan isi sangat mirip langsung diperebutkan.
Akhirnya…
Satu bus kena imbasnya.
Kami buka semua plastik.
Semua keripik ditumpahin ke satu koridor bus.
Guru lewat dan langsung bengong melihat karpet bus berubah jadi ‘hamparan
keripik nusantara.’
Bu guru hanya berkata pendek:
“Siapa. Yang. Mulai.”
Tentu… tiga pasang mata semua mengarah ke Marvel.
Tapi anehnya Bu guru cuma ketawa sambil bilang,
“Sudahlah… paling nggak ini bersih. Kalau tumpah sambal baru saya marah!”
Operasi “Kita Harus Nyobain Semuanya!” di Taman Mini
Nah, ini operasi paling melelahkan tapi paling konyol.
Kami sepakat:
“Bro… kita harus nyobain semua wahana. SEMUA.”
Padahal isi wahana di Taman Mini itu… ya banyak.
Dan kami cuma punya waktu 3 jam.
Akhirnya kami:
- Naik
kereta gantung
- Muter di
anjungan rumah adat
- Fotoin
patung sambil gaya lebay
- Lari-lari
kayak dikejar dukun
- Ngejar
waktu kayak reporter infotainment
Yang paling lucu:
Di anjungan Kalimantan, ada patung besar berbentuk burung.
Gerry naik ke pijakan batu buat foto.
Eh… licin.
Dia terpeleset.
Dan teriak, “BROOOO… PEGANGIN AKU!”
Kami ketawa sampe guling-guling.
Gerry berdiri sambil megang pinggang.
“Bro… ini sakti banget sakitnya…”
Operasi “Membeli Oleh-Oleh Dengan Budget Ala
Kadarnya”
Setelah seharian keliling, Marvel baru sadar:
“BRO, DUIT KITA TINGGAL DI BAWAH STANDAR KEMANUSIAAN.”
Akhirnya kami bikin operasi darurat.
Kami muter di pasar oleh-oleh Taman Mini sambil pegang uang receh
dan harapan.
Gerry menemukan gantungan kunci Rp500.
Bram nemu gelang Rp300 tapi warnanya… entah apa.
Aku beli stiker murah yang kalau ditiup mengembang sedikit.
Bu guru lihat kami bertiga kayak anak yatim.
“Anak-anak, memangnya itu mau kalian kasih ke siapa?”
Kami jawab jujur:
“Buat orang rumah, Bu…”
Bu guru langsung ketawa sambil geleng-geleng:
“Yang penting niatnya, nak…”
Dan anehnya… itulah oleh-oleh paling tulus yang pernah kami bawa
pulang.
Operasi “Kabur ke Minimarket”
Ini kejadian paling menegangkan.
Jam 9 malam, anak-anak udah harus di kamar penginapan.
Tapi Marvel—yang tidak bisa diam—lihat ada minimarket kecil di
seberang jalan.
Bram langsung ngomong:
“Bro… kita beli minuman dulu yuk…”
“Eh jangan… kita disuruh tidur,” kata aku.
“Kita cuma beli sebentar,” Gerry nambah.
Akhirnya kami menyeberang jalan pelan-pelan, sembunyi kayak ninja
ngelewatin pos guru piket.
Sukses.
Masuk minimarket.
Belanja minuman dan roti.
Keluar santai.
Dan saat akan balik…
Pak guru muncul dari balik mobil sambil nyeret sandal.
“HEI! KALIAN BERTIGAAA!”
Kami bertiga langsung freeze.
Bram bisik,
“BRO, LARI!”
Aku jawab,
“NGGAK BISA, DIA DI DEPAN KITA!”
Akhirnya kami jalan kecil-kecil sambil ketawa salah tingkah.
Guru cuma bilang:
“Kalian bertiga nih… satu hari bikin saya ketawa, satu hari bikin saya marah.
Tapi lucu juga sih.”
Dan kami kembali ke kamar dengan rasa lega…
dan pelajaran kecil tentang risiko pekerjaan sebagai ‘Marvel.’
Saat Semua Berhenti Menjadi Lelucon
Ada satu momen sunyi yang paling aku ingat.
Di dalam bus, setelah seharian capek, ketawa, berlari, dan
dimarahi, kami bertiga duduk diam.
Angin AC bus yang setengah mati itu tiba-tiba terasa adem.
Lampu jalanan Jakarta lewat cepat.
Musik di tape bus kecil terdengar samar.
Bram bersandar.
“Ternyata… seru banget ya, bro…”
Gerry mengangguk.
“Gue kayak nggak mau pulang.”
Aku lihat mereka berdua.
Senyum.
Entah kenapa, di momen sederhana itu… aku merasa sesuatu.
Bahwa masa SMP itu cuma lewat sekali, dan Marvel… adalah bagian
paling indahnya.
Bukan karena nakalnya.
Bukan karena misinya yang absurd.
Tapi karena untuk pertama kalinya… kami merasa punya rumah kecil, yang nggak
terlihat, tapi terasa hangat.
Sebuah geng kecil yang menua bersama kenangan, bukan umur.
LANJUT BACA KLIK : 8 - PERTENGKARAN KECIL YANG BERUBAH JADI PELUKAN LAKI - LAKI