MASJID YANG HIDUP, UMAT YANG TUMBUH - Sebuah Renungan tentang Memberdayakan Masjid Menjadi Pusat Kekuatan Umat
Sore itu, langit Malang sedang malu-malu berubah warna. Aku
duduk di beranda masjid, ditemani semilir angin yang membawa wangi tanah basah
dan sisa suara burung-burung yang hendak pulang. Dari pengeras suara, mengalun
lembut murattal Al-Qur’an — ayat demi ayat yang menenangkan hati, tapi entah
mengapa, di balik keindahan itu, ada rasa hampa yang pelan-pelan menyelinap.
Masjidnya megah. Kubahnya berkilau keemasan saat disentuh
cahaya senja. Lantainya marmer dingin, bersih, mengilap. Tapi saf-nya…
renggang. Kotak infaknya penuh, tapi semangat jamaahnya terasa kering. Di
situlah, di antara sunyi yang indah itu, aku merenung: ternyata masjid bukan
diukur dari megahnya bangunan, tapi dari hidupnya jamaah.
Allah sudah memberi panduan tentang siapa yang sebenarnya
layak disebut pemakmur masjid.
“Sesungguhnya yang memakmurkan masjid-masjid Allah
hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari akhir, serta tetap
mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut kepada siapa pun selain
kepada Allah.”
(QS. At-Taubah: 18)
Ayat ini seperti menampar hati — tapi lembut, penuh kasih.
Karena sering kali kita terlalu bangga dengan kubah besar dan AC dingin, tapi
lupa bahwa yang seharusnya besar adalah iman dan persaudaraan di dalamnya.
Dari Bangunan ke Jamaah
Cerita ini sebenarnya berawal ketika saya mendapat amanah
di Masjid Al-Fattah, sebuah masjid di Perumahan Taman Griya, Jimbaran, Bali.
Masjid ini sudah punya “jam terbang” panjang — berdiri kokoh di tengah
masyarakat yang heterogen, dengan jamaah yang beragam latar belakangnya. Dalam
hati saya berkata, “Inilah kesempatan saya untuk benar-benar mengamalkan
hadits: khoirunnas anfa’uhum linnas — sebaik-baik manusia adalah yang
paling bermanfaat bagi manusia lainnya.”
Atau kalau mau dibungkus gaya korporat biar keren,
jargonnya: Good Life for Everyone.
Tapi maknanya tetap sama — bagaimana masjid bisa jadi tempat di mana kebaikan
berlipat, bukan sekadar tempat salat lima waktu.
Saya juga sempat belajar ke Masjid Jogokariyan di
Yogyakarta. Masjid yang bukan cuma hidup, tapi menghidupkan. Saya
tertegun ketika tahu, di sana, masjid bisa memutar roda ekonomi, memberdayakan
jamaah, dan membangun ukhuwah dengan cara yang sederhana tapi menggetarkan.
Sejak saat itu saya sadar, sudah waktunya kita berhenti
hanya “membangun masjid”, tapi mulai “dibangun oleh masjid”.
Karena masjid sejati bukan sekadar tempat rukuk dan sujud — tapi pusat
kehidupan umat. Tempat ilmu tumbuh, ekonomi berputar, kasih sayang sosial
mengalir.
Di masa Rasulullah ﷺ, masjid bukan hanya tempat ibadah,
tapi juga sekolah, rumah sakit, balai musyawarah, bahkan tempat strategi dakwah
disusun. Rasul tidak membangun istana — beliau membangun masjid. Karena beliau
tahu, perubahan sejati lahir dari hati yang dekat dengan Allah.
Masjid Bukan Milik Takmir, Tapi Milik Allah
Kadang lucu juga, ya. Ada orang yang bilang “masjid saya”,
seolah-olah dia pemiliknya. Padahal Allah sudah berfirman tegas:
“Dan sesungguhnya masjid-masjid itu adalah milik Allah.
Maka janganlah kamu menyembah seseorang pun di dalamnya selain Allah.”
(QS. Al-Jinn: 18)
Artinya, tidak ada satu pun manusia yang berhak merasa
berkuasa di rumah Allah. Takmir, imam, marbot, jamaah — semua hanyalah pegawai
Allah yang diberi kehormatan mengurus rumah-Nya.
Dan pekerjaan ini bukan pekerjaan sambilan. Ini ibadah
istimewa.
Kalau kita bekerja untuk manusia, mungkin gajinya kecil dan kadang telat. Tapi
kalau kita bekerja untuk Allah, balasannya bukan hanya uang — tapi keberkahan
hidup, ketenangan hati, dan anak-anak yang saleh.
Masjid yang Mandiri, Masjid yang Memerdekakan
Masjid yang hebat bukan masjid yang terus-menerus meminta,
tapi masjid yang mampu memberi.
Masjid yang mandiri bukan yang menunggu kotak infak penuh, tapi yang bisa
menghidupi programnya, bahkan membantu jamaahnya yang kesusahan.
Lihat Masjid Al-Fattah, misalnya. Lewat Badan Usaha Milik
Masjid (BUMM), masjid ini bisa mendanai kegiatan sosial dan dakwah tanpa harus
terus “galang dana.” Atau program Z-Corner, yang menyediakan makanan halal
bersertifikat, membuka lapangan kerja bagi warga sekitar, sambil tetap membawa
semangat ibadah.
Karena sejatinya, masjid bukan penerima sedekah — tapi
perantara kebaikan.
Kita tidak sedang meminta, tapi sedang memfasilitasi orang untuk bersedekah.
Dan tentu saja, semua itu harus dilakukan dengan adab dan
profesionalisme. Buat laporan transparan, mudahkan cara memberi (pakai QRIS,
transfer, program khusus), dan jangan lupa — doakan para donaturnya.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka.”
(QS. At-Taubah: 103)
Doa itu penting, karena mungkin justru doa kita yang
menjadi sebab Allah melimpahkan keberkahan bagi mereka yang memberi.
Masjid yang Menghidupkan Umat
Sekarang, coba kita jujur sedikit.
Berapa banyak anak-anak yang diusir dari masjid karena dianggap “berisik”?
Berapa banyak pemuda yang merasa lebih nyaman nongkrong di kafe daripada duduk
di serambi masjid?
Padahal, justru merekalah masa depan masjid!
Masjid seharusnya bukan tempat pengusiran, tapi tempat
pembinaan. Bukan tempat menghakimi, tapi tempat menumbuhkan. Kalau setiap
masjid punya program pembinaan remaja, pelatihan wirausaha, kelas tahsin,
parenting, dan kegiatan sosial — bayangkan betapa hidupnya lingkungan kita!
Masjid juga bisa jadi pusat silaturahmi antarnOrmas, tempat
curhat para orang tua, tempat anak muda belajar mimpi, tempat orang patah hati
belajar sabar.
Dan tentu saja, masjid harus hadir nyata: punya ambulans
gratis, program buka puasa Senin–Kamis, santunan yatim, ruang konsultasi
keluarga, bahkan koperasi syariah kecil.
Karena kemakmuran masjid bukan diukur dari seberapa sering direnovasi, tapi
dari seberapa banyak hati yang diperbaiki.
Strategi Menghidupkan Masjid di Era Digital
Zaman sudah berubah. Maka dakwah dan pengelolaan masjid
juga harus adaptif.
Ajakan lewat toa tetap perlu, tapi jangan berhenti di situ. Masjid perlu
strategi komunikasi yang modern — buat konten inspiratif, video pendek tentang
kegiatan, atau undangan digital yang hangat dan personal.
Gunakan ilmu marketing bukan untuk jualan, tapi untuk menyentuh
hati.
Buat QRIS agar jamaah bisa sedekah semudah beli kopi kekinian.
Dan yang paling penting: laporkan semuanya secara transparan. Saat
jamaah melihat kejujuran, mereka akan percaya.
Masjid juga perlu punya identitas kuat — seperti Masjid dengan merubah logonya yang khas: aksara Bali “ᬅᬮ᭄ᬧ᬴ᬢ᭄ᬢᬄ” berdampingan dengan huruf Arab “الفتاح”.
Indah sekali, simbol harmoni antara iman dan budaya.
Karena masjid bukan menara gading yang jauh dari rakyat.
Masjid adalah rumah — tempat kita belajar, tertawa, bahkan menangis bersama
mencari harapan.
Cita-Cita yang Indah
Cita-cita para pengurus masjid sebenarnya sederhana tapi
agung:
“Semoga suatu hari nanti, jamaah shalat Subuh sebanyak
jamaah shalat Jumat.”
Kedengarannya utopis? Tidak juga. Masjid Jogokariyan
membuktikannya.
Subuhnya ramai bukan karena keajaiban, tapi karena cinta dan kesungguhan.
Bayangkan jika setiap Subuh, masjid kita penuh. Itu
artinya, Islam sudah menang — bukan di gedung parlemen, tapi di hati manusia.
Karena dari Subuh yang hidup, lahir masyarakat yang kuat, jujur, dan saling
menolong.
Masjid yang Memakmurkan Hati
Pada akhirnya, memberdayakan masjid bukan soal manajemen,
laporan keuangan, atau bangunan. Tapi tentang menghidupkan ruh Islam di tengah
masyarakat.
Masjid bukan hanya tempat sujud, tapi tempat bertumbuh.
Bukan hanya simbol, tapi sumber kekuatan umat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa yang membangun masjid karena Allah, walau
hanya sebesar tempat burung bertelur, maka Allah akan membangunkan untuknya
rumah di surga.”
(HR. Ibnu Majah)
Jadi, mari kita bekerja bukan untuk sekadar masjid, tapi
untuk Allah yang memiliki semua masjid di muka bumi.
Karena janji-Nya pasti:
“Jika kamu menolong agama Allah, niscaya Allah akan
menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.”
(QS. Muhammad: 7)
Dan di akhir perjalanan nanti, kita akan sadar…
bukan kita yang memakmurkan masjid,
tapi masjidlah yang memakmurkan hati kita.