SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Aku selalu percaya bahwa manusia bisa merencanakan apa pun,
tapi Allah selalu memiliki cara-Nya sendiri untuk menunjukkan siapa Pemilik
kehidupan ini. Kadang lembut… kadang menghentak. Malam itu, aku merasakannya
dengan sangat jelas.
Jam dinding menunjukkan pukul 02.00 dini hari. Rumah ini
terasa sunyi. Lorong-lorong panjang hanya ditemani aroma antiseptic obat2ku dan
suara TV ku yg hampir tak pernah kumatikan yang berdesah lirih. Aku mengambil
air wudhu dengan langkah berat—setengah sadar, setengah pasrah. Air dingin
menyentuh wajahku, seolah mengingatkanku bahwa aku masih ada di dunia ini…
padahal hatiku entah di mana.
Shalat tahajudku… malam itu penuh. Penuh permohonan. Penuh
ketakutan. Penuh doa yang bahkan tak sempat kurangkai dengan kalimat indah. Aku
hanya mengadu.
“Yaa Allah… Engkaulah pemilik segalanya. Aku tak punya
apa-apa…”
Setelah salam, kubuka mushafku. Ayat pertama yang kubaca
seperti memelukku erat:
﴿ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ ﴾
Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raaji‘uun
(“Sesungguhnya kami milik Allah, dan kepada-Nya kami kembali.”)
Tiba-tiba pikiranku melayang… 12 tahun ke belakang. Tentang
betapa hidup ini selalu milik-Nya. Tentang betapa kita hanya menitipkan cinta,
menitipkan harapan, menitipkan seseorang yang sebenarnya bukan milik kita.
Dan malam itu… aku diberi tanda bahwa waktu titipanku hampir
habis.
Pagi itu, langkahku terasa ringan, tapi
hatiku seperti diberi beban dua karung beras premium super ukuran 25 kg.
Ironisnya, aku bahkan baru sarapan setengah roti—jadi jelas itu bukan masalah
gula darah, tapi masalah hati yang sedang remuk.
Aku tiba di Rumah Sakit Islam Aisyiyah
Surabaya, menahan napas yang pendek-pendek—pendek seperti pesan WA “ok” yang
sebenarnya menyimpan seribu rasa tak siap.
Di pintu kamar, kulihat Renny.
Terbaring tenang. Terlalu tenang untuk
ukuran seorang perempuan yang biasanya heboh kalau aku lupa bawa powerbank.
Wajahnya pucat, tapi damai. Napasnya
pelan—sepelan suara orang yang hampir selesai bicara di ujung panggilan
telepon.
Dan aku… seperti kehilangan peta. Padahal
biasanya aku adalah tipe yang kalau masuk ruangan, langsung scanning situasi
seperti intel. Tapi kali ini… otakku blank. Hati kacau. Jiwaku seperti
diseret-seret oleh sesuatu yang tak tampak.
Aku berdiri di sampingnya sambil tersenyum.
Senyuman kaku.
Senyuman yang kalau dilihat orang mungkin
dikira aku baru menang pertandingan tenis, padahal sebenarnya itu senyum orang
yang sedang berusaha sembunyikan badai dalam dadanya.
Kadang, menjadi “palsu” adalah bentuk cinta
yang paling jujur.
Kalau senyumanku bisa membuat Renny, meski
setitik… terasa tenang, maka akan kulakukan itu seribu kali lagi.
Pertemuan Dengan Dokter: Pintu Yang
Terbuka Dan Hati Yang Tertutup
Dokter mengetuk pintu. Lelaki berjas putih,
wajahnya lelah seperti orang yang semalaman berjaga.
“Mas Nucky… bisa bicara sebentar?”
Aku mengikuti dia. Tangan dan lututku
sedingin AC RS yang terlalu semangat bekerja.
Duduk.
Diam.
Menunggu vonis.
“Mas Nucky, suami dari pasien Renny, ya?”
Aku mengangguk.
Dia menghela napas. Panjang. Napas orang
yang sedang mencari cara paling halus untuk menyampaikan sesuatu yang memang
tidak akan pernah bisa terasa halus.
“Kami sudah berusaha semaksimal mungkin.
Tapi secara medis… ini sudah jalan buntu, Mas. Kondisi Renny sudah tidak sadar.
Kecuali Allah berkehendak… semuanya di luar kendali manusia.”
Aku terdiam.
Sakitnya… seperti ada palu godam memukul
dadaku.
Tapi… justru kalimat itu membuka pintu baru.
Bahwa aku harus lebih banyak pasrah… bukan bertanya.
Aku teringat pada firman Allah:
اللّهُ أَعْلَمُ وَأَحْكَمُ
Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Bukan aku yang menentukan. Bukan dokter.
Bukan dunia.
Hanya Dia.
Namira Harus Pulang
Kukabarkan semua ini pada orang tua. Mama,
papa, mama mertua… semua terpukul. Tapi ada satu keputusan paling berat yang
harus kuambil:
Namira harus pulang ke Bali.
Dia tidak boleh melihat proses perpisahan yang bahkan orang dewasa pun belum
tentu sanggup.
Siang itu, aku duduk di samping Namira. Anak
kecil dengan hati yang lebih dewasa dari banyak orang seusia papa-papa muda di
TikTok.
“Nak,” kataku lembut, “kamu pulang dulu ke
Bali ya. Kamu harus sekolah. Nanti kita bisa kembali lagi.”
Ia memandangku. Lama. Seolah matanya sedang
berusaha menembus semua lapisan kedewasaanku yang sedang rapuh.
“Ma… Mama istirahat dulu ya?” katanya pelan.
“Kita doain Mama biar cepat sembuh.”
Ia mendekat ke pembaringan Renny.
Kudengar bisikannya:
“Mama… aku sekolah dulu ya…”
Sederhana. Tapi rasanya seperti ada tangan
besar menampar seluruh isi dadaku.
Papa memeluk Namira. Lalu mereka pergi.
Dengan keberanian yang mungkin lebih besar daripada punya aku saat itu.
Menjelang Maghrib: Nafas Yang Kian
Menipis
Menjelang maghrib, monitor jantung menurun…
pelan, tapi pasti.
Mama memanggil dokter. Tim medis datang.
Aku duduk di samping Renny. Kugenggam
tangannya—dingin, tapi tetap tangan yang kucintai.
Aku mulai mengaji. Suaraku pecah-pecah, tapi
ayat-ayat itu mengalir.
Bayangan Al-Qur’an terlintas:
كُلُّ نَفْسٍ ذَائِقَةُ الْمَوْتِ
“Kullu nafsin dzaa`iqatul maut”
“Setiap jiwa akan merasakan mati.”
QS. Al-Ankabut: 57.
Aku membisikkan syahadat ke telinganya.
“Asyhadu an la ilaha illallah…”
“Aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah…”
Berulang. Berulang. Berulang.
Sampai akhirnya…
Napas itu berhenti.
Monitor menjadi garis lurus.
Renny telah pergi.
Mama berteriak.
Aku?
Untuk pertama kali dalam hidup, aku menangis
seperti anak kecil yang kehilangan dunia.
“Yaa Allah…” aku memegang dadaku, “aku
ikhlas. Kumohon… bahagiakan dia di surga-Mu…”
Malam Terakhir Di Rumah Sakit
Malam itu… rumah sakit seperti panggung
besar penuh manusia. Ada yang memanggilku:
“Semangat, Nucky…”
“Semangat, Kak…”
“Broh… kuat broh…”
Aku hanya mengangguk seperti robot low-batt.
Semua persiapan pemakaman dilakukan keluarga
dan sahabat. Mereka mengerti aku tidak sepenuhnya hadir. Raga di sini… jiwa
entah di mana.
Aku ikut memandikan jenazahnya.
Air sejuk menyentuh tubuhnya untuk terakhir
kali. Wajahnya tampak tenang—seolah menghiburku, “Aku baik-baik saja, Yuk…”
Kami shalatkan jenazahnya. Suara takbir
menggema, isak tangis menyambung.
Lalu ambulans membawa Renny pulang ke
Mojokerto.
Aku menyetir sendiri. Di sebelahku… Renny.
Bukan Renny yang tertawa kalau aku nyasar.
Bukan Renny yang cerewet meminta AC mobil seringan angin.
Ini… Renny yang diam. Yang pulang untuk
selama-lamanya.
Tiba Di Mojokerto: Rumah Masa Kecilnya
Jam 00.30 kami tiba.
Rumah itu penuh pelayat. Tangis menyambut.
Pelukan menenangkan. Tapi bagiku, semuanya seperti kabur.
Aku tidur di samping jenazah Renny malam
itu.
Bukan karena aku kuat.
Tapi karena aku takut tidak kuat kalau
berjauhan.
Kupandangi kain kafan. Kubiarkan air mata
jatuh.
“Ren,” bisikku, “aku belum siap…”
Azan Subuh Yang Membangunkanku
Azan Subuh membangunkanku dari tidur
gelisah. Rasanya seperti Allah sedang menepuk pundakku pelan:
“Bangun, Nak. Kamu masih hidup. Kamu
punya tugas.”
Aku shalat Subuh di ruang tamu… bersama
jenazah istriku.
Air mataku jatuh di sajadah.
Pertengkaran Kecil Yang Bersumber Dari
Cinta
Pagi itu, keluarga besar Renny mendesak:
“Nucky, cepat dimakamkan. Jangan lama-lama.”
Aku menatap mereka. Nafasku berat, dadaku
panas seperti habis makan sambal level di atas logika.
“Tidak!” kataku tegas. “Namira harus lihat
ibunya untuk terakhir kalinya. Itu haknya!”
Hening.
Semua terdiam.
Aku berangkat ke Juanda dengan hati penuh
doa.
Pertemuan Dengan Namira: Pelukan Yang
Menghancurkan Dada
Di bandara, Namira berlari ke arahku.
“Ayaahhhh!!”
Tangisnya pecah.
Aku memeluknya erat. Sangat erat. Seperti
memeluk sisa-sisa hidupku sendiri.
Dengan suara yang paling aku benci dalam
seluruh hidupku—suara yang hampir tak bisa keluar—aku berkata:
“Ayah minta maaf ya, Nak… Mama sudah pergi.
Allah sayang banget sama Mama. Kita ikhlas ya, Nak… biar Mama bahagia di sana…”
Namira menangis di dadaku.
Tangannya kecil…
tapi seolah sedang memegangi seluruh hatiku agar tidak pecah berkeping-keping.
Perjalanan Terakhir
Kami sampai di Mojokerto.
Rumah penuh pelayat.
Namira mencium kening ibunya. Tangis itu…
bukan tangis anak kecil. Tapi tangis jiwa yang kehilangan setengah dunianya.
Shalat jenazah dilakukan. Kami berjalan ke
pemakaman. Aku menuntun Namira. Bicara perlahan:
“Niatkan lillahi ta’ala, Nak…”
Di liang lahat, aku ikut turun. Kumasukkan
tubuh Renny.
Tangan gemetar.
Tanah demi tanah kutuangkan sendiri.
Ustaz memimpin doa. Ayat itu kembali
bergema:
إِنَّا لِلّهِ وَإِنَّا إِلَيْهِ رَاجِعُونَ
“Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un.”
“Sesungguhnya kita milik Allah dan kepada-Nya kita kembali.”
Selesai? Tidak. Ini Hanya Awal Dari Hidup
Tanpa Renny.
Setelah semua pelayat pulang, hanya tinggal
aku dan Namira berjalan perlahan menuju rumah.
Kami bergandengan tangan.
Langkah kami berat… tapi kami berjalan.
Karena hidup tidak selalu tentang siap atau
tidak siap.
Kadang… kita hanya perlu melangkah.
Renny…
Kamu dan seluruh kenanganmu
akan selalu hidup dalam kami.
Dalam setiap doa, setiap subuh, setiap malam panjang.
Sampai kelak…
Allah mempertemukan kita lagi.