Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober 21, 2025

SEBAB MUSABAB DAN TEH MANIS USTAD KARIM

Gambar
  Sore itu, angin pelan-pelan meniup sarung yang dijemur di halaman musholla. Di serambi depan, Ustad Karim duduk santai sambil menyeruput teh manis panas—yang rasanya seperti hidup: kadang terlalu manis, kadang kepanasan juga. Di hadapannya, dua murid setianya—Doni dan Fadil—duduk bersila, wajah mereka penuh tanda tanya seperti ujian matematika tanpa kisi-kisi. “Ustad,” kata Doni membuka percakapan, “saya tuh lagi bingung. Saya udah rencanain semuanya—mau kerja di tempat keren, punya gaji tetap, bisa bantu orang tua. Eh, malah ditolak mentah-mentah pas wawancara. Saya udah doa juga, tapi kok nggak dikabulin ya?” Ustad Karim tersenyum. “Kamu tahu nggak, Don, kalau doa itu kadang kayak pesan online?” Doni melongo. “Maksudnya, Ustad?” “Kadang langsung sampai, kadang pending, kadang juga dikirimnya ke alamat yang lebih baik dari yang kamu tulis.” Fadil langsung nyengir, “Wah, berarti doa Doni lagi ‘out for delivery’ ya, Ustad?” “Bisa jadi,” jawab Ustad Karim sambil terkekeh. ...

KERUPUK, BARA API, DAN EMPAT CANGKIR KOPI

Gambar
  Malam itu, warung kopi langganan di pojokan gang kecil seperti biasa jadi tempat nongkrong empat sahabat: Nucky, Bram, Eko, dan Rizal. Meja bundar mereka sudah hafal: tiap duduk di situ pasti ada obrolan yang awalnya receh, tapi entah gimana selalu berakhir kayak kuliah kehidupan versi warkop. “Bro,” kata Eko sambil menaruh gelas kopinya yang sudah setengah dingin. “Gue nemu quote keren banget di medsos: Jangan tersinggung. Kalau lu bukan pemenang, maaf, berarti lu pecundang. ” “Wih, dalem banget tuh,” sahut Rizal dengan gaya pura-pura bijak. “Tapi kalo gue kalah lomba makan kerupuk waktu tujuhbelasan, itu gue termasuk pecundang juga gak?” “Ya kalo kalah karena kerupuknya terbang kena angin, ya nasib, Jal,” potong Bram sambil ngakak. “Tapi kalo kalah karena nyerah duluan, nah, itu baru pecundang sejati.” Nucky, yang dari tadi diam sambil ngaduk kopi hitamnya, akhirnya buka suara. “Sebenarnya, hidup tuh ya kayak lomba makan kerupuk, Bro. Kadang yang menang bukan yang palin...

SATU SHAF LEBIH DEKAT KE REZEKI

Gambar
  “Eh, Bro…” kata Budi sambil melipat sajadahnya pelan. “Apa, Di?” sahut Andi yang masih jongkok di pojokan masjid, entah mikir apa. “Kenapa sih lo gak mau maju ke shaf depan tadi? Itu kosong loh, kayak dompet pas tanggal tua.” Andi nyengir. “Lah, ngapain maju? Di sini juga enak, adem, deket kipas. Lagian sajadah gue udah ngepas banget di sini. Kayak udah jodoh.” Budi geleng-geleng kepala. “Lah, tapi kan kata ustadz, shaf depan itu lebih besar pahalanya. Masa lo rela kehilangan pahala cuma karena kipas angin?” Andi cengar-cengir. “Ya gimana ya… kadang kenyamanan itu menenangkan, Bud. Lagian kan pahala gak keukur pake meteran.” “Wah, itu dia masalahnya, Di. Lo tuh terlalu nyaman. Sama kayak orang yang gak mau pindah kerja, gak mau mulai usaha, gak mau ambil peluang baru—semuanya karena udah keburu nyaman.” Andi garuk kepala. “Iya juga sih… tapi kadang yang nyaman itu lebih aman. Dunia luar itu serem, Bro. Banyak risiko, banyak ketidakpastian.” “Yaelah, Di,” kata Budi sam...