KETIKA JEMPOL JADI HAKIM: CERITA TENTANG CANCEL CULTURE DAN KEMANUSIAAN DI ERA DIGITAL
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT : Malam itu, angin Bali berhembus lembut lewat jendela ruang tamu. Di luar, suara jangkrik seperti sedang berdiskusi dengan semilir pohon kamboja di halaman. Aku baru saja menyalakan lampu meja ketika telepon dari Surabaya masuk — suara Namira, anakku, terdengar riang di seberang sana. “Yah, aku lagi ngerjain bab tiga nih, tapi kepikiran buat diskusi sama Ayah. Pernah dengar cancel culture nggak?” tanyanya dengan nada penasaran. Aku sempat diam sebentar, mencoba menebak-nebak. “Cancel culture? Hmm… itu kayak kalau Ayah mau pesan sate kambing tapi tiba-tiba batal karena ingat kolesterol?” tanyaku polos. Namira langsung tertawa lepas. “Bukan, Yah! Ini bukan soal sate atau kolesterol. Ini tentang dunia digital.” Obrolan itu berlanjut hampir satu jam. Tapi jujur saja… setelah ditutup, aku tetap gagal paham. Aku bengong, menatap ponsel yang mulai redup. “Cancel culture… jempol jadi hakim?” gumamku. Lalu ak...