Postingan

Menampilkan postingan dari Oktober 25, 2025

PENYINTAS STROKE ITU TIDAK BUTUH DIKASIHANI, MEREKA HANYA INGIN DIMENGERTI

Gambar
  Aku masih hidup, dan aku masih ingin berarti. Kalimat sederhana itu mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, tapi bagi seorang penyintas stroke, itu adalah bentuk perlawanan paling jujur terhadap nasib. Bukan sekadar melawan penyakit, tapi juga melawan stigma, belas kasihan, dan pandangan miring yang kerap datang dari lingkungan sekitar. Menjadi penyintas stroke bukanlah pilihan siapa pun. Tidak ada satu pun dari kita yang bangun pagi dan berkata, “Hari ini aku ingin separuh tubuhku lumpuh.” Tidak ada. Tapi hidup kadang punya caranya sendiri untuk mengetuk kita dengan keras, bahkan menjatuhkan, agar kita belajar arti menerima — bukan menyerah, tapi menerima dengan sepenuh hati. Bagi seorang penyintas stroke, hari-hari setelah badai itu datang bukanlah hal mudah. Bayangkan saja, hal kecil yang dulu tak pernah dipikirkan—seperti menggerakkan jempol, menyisir rambut, atau sekadar meneguk air—tiba-tiba menjadi perjuangan yang luar biasa berat. Bukan karena mereka malas atau ti...

BAKBUKBAK DI TAMAN GUNUNGAN, kisah lama

Gambar
  Siang ini, suasana hatiku ringan dan hangat. Rasanya seperti langit biru yang tanpa awan. Aku baru saja bertemu dua sahabat lama—Bli Gede Kirtana Udaya dan Harris. Kami bertiga bersahabat sejak TK, dan walau kini usia sudah jauh melangkah, tiap kali bertemu, rasanya seperti waktu berhenti sebentar hanya untuk kami. Harris kini tinggal jauh, di negeri Kangguru. Sudah bertahun-tahun ia merantau ke sana bersama keluarga, meniti rezeki dan kehidupan baru. Tapi setiap kali pulang ke tanah air, ia tak pernah lupa mampir menemuiku. Siang ini, kami duduk di teras rumah, ditemani segelas es cokelat dingin yang pelan-pelan mencair di tangan. Suasana cair, tawa pecah di sela-sela cerita tentang hidup, keluarga, dan masa kecil. Lalu, entah siapa yang memulai, obrolan tiba-tiba berbelok ke satu kenangan yang membuat kami tertawa lepas—cerita legendaris masa SD yang sampai sekarang masih kami sebut dengan bangga: Bakbukbak di Taman Gunungan.   Waktu itu, aku—Nucky kecil—masih duduk ...

ROAD TO SUSTAINABLE GROWTH: Sumbangsih untuk Kota yang Telah Membentukku

Gambar
  Kali Ini aku  memberi Kontribusi Buat Kota Malang , rasanya seperti menanam pohon di tanah tempat aku dulu belajar tumbuh. Ada getar yang tidak bisa dijelaskan — antara nostalgia dan tanggung jawab moral. Di kota inilah aku dulu belajar tentang nilai, tentang kerja keras, dan tentang arti kebersamaan. Dan kini, setelah melewati perjalanan panjang di dunia profesional, aku kembali dengan satu tekad: ikut membangun ekosistem ekonomi daerah yang berkelanjutan, melalui peran kecilku kepada PERUMDA TUNAS. Bagi sebagian orang, BUMD mungkin hanya dianggap sebagai bagian dari birokrasi ekonomi daerah. Tapi bagi saya, BUMD adalah laboratorium peradaban lokal. Di sanalah konsep bisnis, pelayanan publik, dan nilai kemanusiaan bertemu dalam satu wadah. Dan Malang — dengan segala dinamikanya — punya peluang besar untuk menjadi contoh kota yang bukan hanya produktif, tapi juga bermartabat. Makna “Bermartabat” dalam Perspektif Bisnis dan Kehidupan Visi Kota Malang “Bermartabat” ser...

TRANSFORMING TRADITIONAL TRADERS INTO MLIJO INTEGRATED TRADERS THROUGH DIGITAL MOBILE MINIMART

Gambar
  SEKALI AKU INI MEMBERI KONTRIBUSI BUAT UMKM Sekali ini aku memberi kontribusi buat UMKM, rasanya seperti menyalakan lilin kecil di tengah ruang yang gelap. Mungkin cahayanya belum cukup untuk menerangi seluruh negeri, tapi setidaknya bisa jadi tanda bahwa masih ada harapan—bahwa ekonomi rakyat bisa bangkit kalau kita mau turun tangan. Di tengah hingar-bingar ekonomi digital, startup miliaran dolar, dan jargon transformasi industri 5.0, sering kali kita lupa: perekonomian Indonesia sesungguhnya berdiri di atas pundak para pelaku UMKM. Dari tukang bakso di gang sempit, penjahit rumahan di pinggiran kota, sampai pedagang sayur keliling—semuanya adalah denyut nadi ekonomi yang menjaga dapur bangsa tetap mengepul. Dan di antara mereka, ada satu kelompok yang sering luput dari perhatian: para Mlijo—penjual sayur keliling yang setiap pagi menyapa rumah-rumah dengan senyum sederhana dan tawaran penuh makna: “Sayur segar, Bu?”   Di banyak sudut Indonesia, setiap pagi kita b...