PENYINTAS STROKE ITU TIDAK BUTUH DIKASIHANI, MEREKA HANYA INGIN DIMENGERTI
Aku masih hidup, dan aku masih ingin berarti. Kalimat sederhana itu mungkin terdengar sepele bagi sebagian orang, tapi bagi seorang penyintas stroke, itu adalah bentuk perlawanan paling jujur terhadap nasib. Bukan sekadar melawan penyakit, tapi juga melawan stigma, belas kasihan, dan pandangan miring yang kerap datang dari lingkungan sekitar. Menjadi penyintas stroke bukanlah pilihan siapa pun. Tidak ada satu pun dari kita yang bangun pagi dan berkata, “Hari ini aku ingin separuh tubuhku lumpuh.” Tidak ada. Tapi hidup kadang punya caranya sendiri untuk mengetuk kita dengan keras, bahkan menjatuhkan, agar kita belajar arti menerima — bukan menyerah, tapi menerima dengan sepenuh hati. Bagi seorang penyintas stroke, hari-hari setelah badai itu datang bukanlah hal mudah. Bayangkan saja, hal kecil yang dulu tak pernah dipikirkan—seperti menggerakkan jempol, menyisir rambut, atau sekadar meneguk air—tiba-tiba menjadi perjuangan yang luar biasa berat. Bukan karena mereka malas atau ti...