BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

 



Tanggal itu akan selalu terukir dalam ingatanku—bukan karena perayaan, bukan pula karena kebahagiaan, tapi karena di hari itu hidupku berubah total. Malam itu aku masih sibuk seperti biasa, menatap layar laptop dengan mata yang mulai lelah. Pekerjaan belum selesai, laporan masih menumpuk, pesan-pesan di ponsel terus berdatangan. Rasanya seperti hari-hari biasanya: padat, cepat, dan tak sempat berpikir untuk istirahat. Jam menunjukkan hampir pukul sepuluh malam ketika aku akhirnya merebahkan diri di samping laptop. Niatnya cuma meluruskan punggung sebentar, tapi ternyata tubuhku lebih lelah dari yang kusadari—aku langsung terlelap begitu saja.

Sekitar pukul dua dini hari, aku terbangun. Biasanya jam segitu memang waktu rutinku untuk bangun malam, tapi kali ini berbeda. Mataku terbuka, aku sadar penuh, tapi… tubuhku tak bisa digerakkan. Aku mencoba mengangkat tangan, gagal. Mencoba bangkit, tak bisa. Dalam hati, aku panik. “Apa aku ketindihan? Apa ini gangguan jin?” pikirku refleks. Aku berusaha membaca ayat-ayat yang kuingat, tapi tubuhku tetap kaku. Napasku berat. Dalam hati aku hanya bisa memohon—meski tak tahu harus bagaimana.

Dengan segenap tenaga yang tersisa, aku akhirnya berhasil duduk. Nafasku masih sesak, tapi aku bersyukur bisa bangun. Setelah beberapa menit, aku mencoba berdiri, hendak ke kamar mandi untuk berwudhu. Baru saja kakiku menapak lantai, tubuhku langsung ambruk—bruuk! Aku jatuh tersungkur, tak berdaya. Panik menyerbu, jantungku berdegup kencang, dan dari mulutku hanya keluar satu teriakan lemah, “Paa… Maaa…”

Dalam hitungan detik, Papa dan Mama sudah datang tergopoh-gopoh dari kamar mereka. Wajah mereka pucat, mata mereka panik.
“Nuck, kenapa? Astaghfirullah…!” suara Mama gemetar.
Papa langsung memegang pundakku, mencoba membantuku duduk, tapi tubuhku seperti tak punya tulang. Aku hanya bisa menangis dalam hati—aku takut, sangat takut.

Di tengah kepanikan itu, tetangga kami, Pak Jaka, yang calling Mamaku segera datang membantu. Tanpa pikir panjang, beliau satu2nya orang yg dini hari itu merespon lalu beliau membawa mobilnya dan mengantarku ke UGD RS Bali Jimbaran. Di sepanjang perjalanan, aku hanya diam. Antara sadar dan tidak, hanya suara detak jantung dan doaku yang berulang di kepala: Ya Allah, apa yang sedang terjadi padaku…?

Sesampainya di rumah sakit, dokter dan perawat langsung bergerak cepat. Pemeriksaan demi pemeriksaan dilakukan, dan akhirnya kalimat yang takkan pernah kulupa itu keluar dari bibir dokter:
“Bapak terkena serangan stroke.”

Dunia seperti berhenti berputar. Aku mematung. Rasanya seperti ada palu besar menghantam kepalaku. Stroke? Aku? Di usia ini? Aku bahkan tak tahu harus bereaksi seperti apa. Antara percaya dan tidak percaya, tubuhku kini benar-benar lumpuh sebagian. Aku Putus Asa

Tak lama, dokter menyarankan agar aku segera dirujuk ke RS Sanglah untuk perawatan intensif. Siang itu, ditemani istriku aku dipindahkan dengan penuh kecemasan. Di ruang UGD, lalu ke HCU—High Care Unit. Ruangan itu sunyi tapi penuh suara mesin. Beep… beep… beep… Suara monitor jantung yang jadi pengingat kalau aku masih hidup. Tapi di dalam kepalaku, pertanyaan-pertanyaan tak berhenti berdentum:
Apakah ini akhir dari perjalanan hidupku? Apakah ini waktuku pergi?

Aku menatap langit-langit ruangan yang putih dingin itu, lalu menatap selang infus di tanganku. Air mataku jatuh tanpa bisa kutahan. Aku tidak sedang sakit biasa—aku sedang belajar betapa kecilnya manusia di hadapan takdir.

Hari-hari di rumah sakit terasa panjang. Emosi datang bergantian—takut, marah, sedih, menyesal, semuanya bercampur jadi satu. Aku merasa hidupku runtuh seketika. Semua rencana, mimpi, dan cita-cita yang sudah kususun tiba-tiba terasa jauh dan tak berarti. Aku bahkan harus belajar lagi untuk sekadar menggerakkan jari.

Namun di tengah badai itu, ada cahaya yang perlahan muncul. Allah—melalui orang-orang yang kucintai—mengirimkan banyak pertolongan.
Istriku yang selalu menggenggam tanganku tanpa henti, anak-anakku yang dengan polosnya berkata, “Ayah cepat sembuh ya, nanti kita jalan-jalan lagi.” Papa dan Mama yang wajahnya menyimpan seribu kekhawatiran tapi tetap tersenyum setiap kali menatapku. Teman-temanku berdatangan dari berbagai masa: teman SD, SMP, SMA, kuliah, sahabat komunitas, kolega kerja, ustaz, semua datang membawa doa dan semangat.

Mereka menepuk bahuku, menyemangati, mendoakan.
Dan di antara tangisan yang tak terlihat itu, aku merasa… aku tidak sendirian.

Malam-malam di HCU menjadi saksi bisu percakapan batinku dengan Tuhan. Di tengah dinginnya udara rumah sakit, aku berdoa lirih:
“Tolong beri aku waktu. Jangan cabut nyawaku sekarang. Aku masih ingin berbakti pada Papa dan Mama. Aku masih ingin menemani anak-anakku tumbuh. Aku masih ingin memperbaiki banyak hal yang belum sempat kulakukan.”

Dua minggu lamanya aku di RS Sanglah. Dua minggu yang mengajarkanku arti sabar yang sesungguhnya. Di situ aku belajar bahwa kekuatan manusia bukan di otot, bukan di jabatan, bukan di apa yang bisa dia capai—tapi di kemampuannya untuk tetap berharap, bahkan ketika harapan itu tampak mustahil.

Setiap kali aku berhasil menggerakkan jari, walau hanya sedikit, rasanya seperti menang perang. Setiap kali bisa duduk tanpa bantuan, seperti mendapatkan hidup baru. Aku menangis—bukan karena sedih, tapi karena bersyukur. Aku sadar, badai yang datang ini bukan untuk menghancurkan, tapi untuk menyadarkan.

Badai memang datang tanpa permisi. Ia bisa datang kapan saja, menghantam siapa saja. Tapi di balik setiap badai, selalu ada pelangi yang menunggu. Kadang kita baru menyadari betapa berharganya napas, langkah, dan senyum orang-orang di sekitar kita justru ketika semua itu hampir diambil.

Hidup memang seperti cuaca: bisa cerah pagi ini, lalu tiba-tiba hujan deras sore nanti. Tapi kalau kita belajar membawa “payung kasih sayang”, “mantel doa”, dan “sepatu sabar”, kita akan tetap bisa melangkah, seberat apa pun hujan itu turun.

Hari itu, aku belajar satu hal yang takkan pernah kulupa:
Bahwa badai bukan untuk menjatuhkan, tapi untuk menguatkan.
Bahwa sakit bukan akhir dari hidup, tapi awal dari kesadaran baru.
Dan bahwa di setiap detik kehidupan, selalu ada alasan untuk bersyukur—selama kita masih bisa membuka mata dan berkata, aku masih di sini, aku masih berjuang.

 

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN