SATU DUNIA DIGITAL, SATU BAHASA MORAL, SATU TUJUAN INDONESIA
(Refleksi 97 Tahun Sumpah Pemuda di Era Generasi Z dan Alpha)
Di era ketika setiap jempol bisa jadi mikrofon dan setiap
unggahan bisa memicu perpecahan, semangat Sumpah Pemuda kembali diuji. Generasi
Z dan Alpha hidup di dunia tanpa batas — terkoneksi secara global, tapi sering
kehilangan arah moral di ruang digital. Kita bicara tentang cancel culture,
slacktivism, hate speech, dan krisis identitas digital seolah itu
hal biasa, padahal di balik layar, ada nilai kemanusiaan yang perlahan
terkikis.
97 tahun lalu, para pemuda berikrar untuk menyatukan bangsa
lewat bahasa dan semangat yang sama. Kini, tantangannya bukan lagi bahasa
daerah, tapi bahasa moral di dunia digital. Di tengah derasnya arus AI,
algoritma, dan opini, persatuan Indonesia bukan hanya soal fisik dan wilayah,
tapi tentang menjaga karakter dan empati di ruang maya — agar teknologi tetap
memanusiakan manusia
Kadang saya berpikir, kalau para pemuda tahun 1928 hidup di
zaman sekarang, mungkin mereka tidak sedang berdebat di ruang rapat organisasi,
tapi di ruang Twitter Space atau grup Discord. Mereka tidak lagi
menulis manifesto di atas kertas, tapi membuat thread viral di X, bikin podcast,
atau mungkin short video di TikTok yang menembus jutaan penonton.
Namun satu hal yang tidak berubah: semangat untuk menyatukan, bukan memecah.
97 tahun berlalu sejak “Sumpah Pemuda” pertama kali
diikrarkan. Kini, kita berada di dunia yang serba digital—di mana batas negara
kabur, waktu terasa lebih cepat, dan opini bisa berpindah lebih cepat daripada
data ekonomi. Dunia ini membuka peluang luar biasa: bisnis lintas negara,
inovasi teknologi, hingga akses pengetahuan tanpa batas. Tapi di balik itu, ada
tantangan besar yang diam-diam menggerogoti nilai kemanusiaan kita: krisis
identitas, empati, dan etika digital.
Generasi Z dan Alpha tumbuh di ekosistem yang lebih global
daripada lokal. Mereka connected, tapi sering kali detached.
Mereka bisa berinteraksi dengan siapa pun, tapi kadang kehilangan rasa “siapa
diri mereka sebenarnya”. Di sinilah relevansi Sumpah Pemuda diuji kembali: bisakah
kita tetap menjadi Indonesia di tengah dunia yang semakin tanpa batas ini?
Dalam dunia bisnis digital, cancel culture bisa
menghancurkan reputasi seseorang dalam semalam, dan slacktivism—aktivisme
yang berhenti di tombol “share” dan “like”—menjadi bentuk kepedulian paling
mudah sekaligus paling dangkal. Sementara itu, cyberbullying dan hate
speech telah menjadi wabah sosial baru yang tidak kalah berbahaya dari
virus apa pun.
Di tengah hiruk pikuk itu, kita lupa bahwa di balik setiap
akun, ada manusia.
Dan itulah yang membuat “bahasa moral” menjadi penting.
Bahasa moral bukan soal kata-kata yang manis, tapi tentang integritas
digital: bagaimana kita berpendapat tanpa menghina, berdebat tanpa
merendahkan, berinovasi tanpa menipu, dan berbisnis tanpa kehilangan nurani.
Dalam konteks ekonomi digital, inilah nilai yang membedakan antara “sekadar
pintar” dan “benar-benar berkarakter”. Karena dalam dunia tanpa batas, kepercayaan
adalah mata uang baru.
Semangat Sumpah Pemuda kini menemukan wujud barunya. Jika
dulu para pemuda bersumpah “bertumpah darah satu, berbangsa satu, berbahasa
satu”, maka kini kita perlu menambahkan satu lagi:
“Beretika satu — menjaga martabat kemanusiaan di dunia
digital.”
Kita hidup di zaman di mana kecerdasan buatan bisa menulis,
berbicara, bahkan berpikir seperti manusia. Tapi justru di sinilah manusia
harus menunjukkan kelebihannya: compassion, empathy, dan moral
intelligence. Itulah “bahasa moral” yang menjadi ruh dari Sumpah Pemuda
versi abad ke-21.
Maka, di tengah dunia yang sibuk berlomba menciptakan
algoritma, mari kita jangan lupa untuk tetap menulis ulang nilai-nilai
kebangsaan di dalam algoritma kehidupan kita.
Satu dunia digital boleh tanpa batas,
tapi satu tujuan Indonesia tetap harus punya arah:
menjadi bangsa yang berdaya, berkarakter, dan beretika.