WORLD STROKE DAY 2025 - SEBUAH KISAH TENTANG BANGKIT DAN MEMBERI

 




World Stroke Day 2025

Hari itu Jumat, 24 Oktober 2025.

Jam di dinding menunjukkan pukul sebelas siang ketika ponselku berdering. Di layar muncul nama yang sangat akrab — dr. Putu Witari.
Beliau bukan hanya sahabat, tapi juga salah satu dokter yang ikut menuntunku melewati masa-masa tergelap dalam hidup: ketika stroke menghantam dan segalanya seolah berhenti.

Aku baru saja selesai dengan “ritual” rutin menjelang salat Jumat — yang bagi orang lain mungkin sepele, tapi buat penyintas stroke sepertiku, itu seperti mendaki gunung kecil.
Setiap gerakan, setiap lipatan sarung, bahkan berdiri tegak di depan cermin adalah bentuk perjuangan dan kesabaran yang tak bisa dilihat orang lain.

“Hey, Ky! Aku udah baca semua tulisanmu di blog tentang stroke,” suara dr. Witari terdengar di ujung telepon, ceria seperti biasa.
“Mau nggak kamu jadi pembicara di acara World Stroke Day tanggal 1 November besok? Ada banyak dokter, mahasiswa, dan pemerintah daerah juga nanti.”

Aku terdiam beberapa detik. Rasanya seperti ditampar angin lembut yang membawa kabar besar.
Lalu tanpa pikir panjang aku menjawab,
“Ayooo, tentu mau! Kapan lagi, Wit. Ini saatnya aku berbagi.”

Tema acaranya adalah “Every Minute Counts.”
Dan aku tersenyum. Ya, aku tahu betul maknanya. Setiap menit dalam hidupku memang sangat berarti — terutama setelah pernah kehilangan hampir semuanya.

Malam itu, aku menulis di blogku.
Tentang waktu, tentang hidup yang bisa berubah dalam satu detik, dan tentang bagaimana setiap menit bisa jadi pembeda antara kehilangan dan harapan.
Sementara itu, tim panitia yang dikomandoi dr. Witari terus memastikan semuanya siap. Ada dr. Rizky, dr. Tina, dr. Jumat — semua dokter muda dengan semangat luar biasa, yang bahkan di tengah kesibukan mereka tetap menyisihkan waktu untuk menyiapkan acara ini.

Mereka bukan hanya dokter yang sibuk di ruang operasi atau IGD, tapi manusia yang ingin berbagi pengetahuan agar lebih banyak orang paham — bahwa stroke bukan akhir segalanya, asal tahu cara mengenalinya sejak awal dan cepat bertindak.

Tanggal 1 November 2025
Pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Kupilih kemeja terbaik, kusisir rambut yang kini mulai menipis di pelipis, dan kupoles semangatku dengan doa yang panjang.
Hari itu bukan sekadar acara medis bagiku. Itu adalah momentum — titik balik setelah badai panjang yang sempat menenggelamkan hidupku.

Gedung Poli lantai 5 mulai ramai. Panitia hilir mudik menata alat, kabel, dan spanduk besar bertuliskan World Stroke Day 2025.
Di sudut ruangan kulihat dr. Witari — sigap, bersemangat, penuh senyum. Ia tak hanya memimpin acara, tapi benar-benar menghadirinya dengan hati.
“Semangat, Ky! Kamu pasti bisa,” katanya sambil menepuk bahuku.
Dan entah kenapa, kalimat sederhana itu terasa seperti pelukan yang hangat.

 Ketika tiba giliranku berbicara di depan para tamu — Direktur rumah sakit, para dokter, mahasiswa kedokteran, dan pejabat daerah — aku menarik napas panjang.

Dengan panduan lembut dari dr. Angga, aku mulai bercerita.

Tentang hari-hari pertama setelah diserang stroke. Tentang rasa putus asa saat tubuh seperti kehilangan kendali. Tentang perjuangan bangkit yang perlahan membentukku menjadi manusia baru.
Dan juga tentang tangan-tangan para dokter yang menolongku dengan penuh kesabaran — bukan hanya menyembuhkan tubuhku, tapi juga menumbuhkan semangat hidupku kembali.

Aku berbagi tentang pentingnya awareness, kecepatan penanganan, dan juga kekuatan mental yang sering kali terlupakan.
Bahwa penyembuhan bukan hanya soal obat dan terapi, tapi juga soal hati yang kuat, keluarga yang hadir, dan dokter yang mau mendengarkan.

Di tengah ceritaku, kulihat beberapa wajah mulai menunduk.
Mungkin mereka teringat pasien-pasien yang pernah datang dengan harapan terakhir.
Atau mungkin mereka sedang melihat seseorang di keluarganya sendiri.
Tapi di balik itu semua, aku melihat hal lain — semangat yang menyala di mata mereka.

Itu bukan hanya semangat profesional, tapi semangat kemanusiaan.
Semangat untuk terus belajar, terus berbagi, agar lebih banyak nyawa yang bisa diselamatkan dari penyakit yang diam-diam jadi pembunuh nomor satu di negeri ini. sambil kulihat dari jauh sahabat lama dari kantor lama mbak Mamiek melambaikan tangan, thx supportnya semua sahabatku 

Aku melihat dr. Witari, dr. Tina, dr. Rizky, dan seluruh tim panitia berdiri dengan mata berbinar.
Mereka tidak hanya menggelar acara, tapi menyalakan kesadaran.
Tentang pentingnya detik-detik yang bisa menyelamatkan hidup seseorang.
Tentang makna berbagi ilmu, agar pengetahuan tak berhenti di ruang operasi, tapi mengalir sampai ke masyarakat luas.

Dan di situlah aku merasa: berbagi itu memang indah.
Bukan soal panggung besar atau tepuk tangan, tapi tentang hati yang ingin menolong tanpa pamrih.

Kita sering lupa, bahwa berbagi tidak selalu berarti memberikan harta atau benda.
Kadang, berbagi berarti meluangkan waktu untuk menjelaskan pada pasien dan keluarganya dengan sabar.
Kadang, berbagi berarti menulis edukasi sederhana di media sosial agar orang lain tahu gejala stroke.
Atau bahkan, berbagi berarti tetap tersenyum di tengah tekanan kerja yang luar biasa.

Apa yang dilakukan para dokter itu mungkin terlihat sederhana, tapi dampaknya luar biasa.
Satu edukasi bisa menyelamatkan satu keluarga dari kehilangan.
Satu seminar bisa membuka mata ratusan orang tentang pentingnya bertindak cepat.
Satu tindakan kecil, tapi efeknya menjalar panjang — seperti riak air yang terus menyebar.

Hari itu, aku belajar sesuatu.
Bahwa di balik jas putih yang sering tampak sibuk dan tegas, ada hati yang lembut dan peduli.
Bahwa dokter bukan hanya penyembuh tubuh, tapi juga penjaga harapan.
Dan bahwa ilmu, jika tidak dibagikan, hanyalah setengah dari pengabdian.

Aku menatap satu per satu wajah mereka — dr. Witari yang penuh semangat, dr. Tina yang lembut dan fokus, dr. Angga yang tenang memandu, juga para dokter muda yang bekerja di balik layar.
Mereka semua sedang menyalakan lilin kecil di tengah gelapnya ketidaktahuan masyarakat tentang stroke.

Kebaikan itu mungkin kecil, tapi cahayanya menuntun banyak orang menemukan jalan pulang.

Sore itu, saat acara usai, aku menatap keluar jendela lantai lima. Langit Denpasar tampak cerah.
Hatiku hangat, bukan karena aku telah berbicara, tapi karena aku menjadi saksi dari semangat para dokter yang benar-benar peduli.
Mereka membuktikan bahwa ilmu yang dibagi dengan hati akan menjadi sumbangsih terbesar untuk kemanusiaan.

Di dunia yang semakin sibuk ini, mereka memilih jalan yang tak mudah — jalan untuk peduli.
Dan di sanalah keindahan itu berdiam: pada hati-hati yang terus ingin memberi.

Terima kasih sahabat-sahabatku yang hebat —
dr. Putu Witari, dr. Kumara Tini, dr. Angga, dan seluruh tim World Stroke Day 2025.
Terima kasih sudah memberi ruang bagi banyak orang untuk belajar, berharap, dan bangkit.

Teruslah berjuang, sahabat-sahabat dokterku.
Karena di luar sana, ada banyak yang masih menunggu sentuhan tangan, senyum tulus, dan ilmu kalian.
Dan bagi kami, pasien-pasien yang pernah jatuh dan berusaha bangkit — kalian bukan sekadar dokter. Kalian adalah cahaya.


Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN