SEBAB MUSABAB DAN TEH MANIS USTAD KARIM
“Ustad,” kata Doni membuka percakapan, “saya tuh lagi
bingung. Saya udah rencanain semuanya—mau kerja di tempat keren, punya gaji
tetap, bisa bantu orang tua. Eh, malah ditolak mentah-mentah pas wawancara.
Saya udah doa juga, tapi kok nggak dikabulin ya?”
Ustad Karim tersenyum. “Kamu tahu nggak, Don, kalau doa itu
kadang kayak pesan online?”
Doni melongo. “Maksudnya, Ustad?”
“Kadang langsung sampai, kadang pending, kadang juga dikirimnya ke alamat yang
lebih baik dari yang kamu tulis.”
Fadil langsung nyengir, “Wah, berarti doa Doni lagi ‘out for
delivery’ ya, Ustad?”
“Bisa jadi,” jawab Ustad Karim sambil terkekeh. “Cuma mungkin kurirnya
malaikat, jadi butuh waktu karena rutenya lewat surga dulu.”
Mereka bertiga tertawa. Tapi kemudian, Ustad meletakkan
gelas tehnya dan suaranya jadi agak lembut.
“Begini, Nak. Kadang kita terlalu sibuk maksa Tuhan buat ikut rencana kita,
padahal rencana kita itu cuma sejengkal. Sementara Allah lihatnya jauh, sampai
ke ujung takdir. Jadi kalau kamu bilang, ‘atur saja ya Allah, gimana baiknya
untukku,’ itu bukan kalimat pasrah kalah. Itu kalimat orang yang sudah
menang—karena dia percaya penuh pada sebaik-baiknya Pengatur.”
Fadil mengangguk-angguk. “Berarti kalau saya gagal dapet
gebetan, itu juga karena Allah udah atur yang lebih baik ya, Ustad?”
“Bisa jadi,” kata Ustad sambil menahan senyum. “Atau bisa juga karena kamu
belum pantas buat yang kamu kejar.”
Doni langsung nyeletuk, “Nah tuh, Fad! Mungkin kamu harus naik level dulu biar
jodohmu bukan cuma suka karena motor pinjaman.”
Mereka tertawa lagi, sampai teh di gelas Ustad hampir tumpah.
Ustad Karim menatap kedua muridnya dengan penuh kasih.
“Begini, Nak-nak sekalian. Hidup ini bukan tentang seberapa kuat kamu
menggenggam, tapi seberapa ikhlas kamu melepaskan sesuatu yang memang bukan
untukmu. Karena di balik semua sebab-musabab, ada tangan Allah yang sedang
menata sesuatu yang belum kamu mengerti. Kadang yang kamu kira kehilangan,
justru itu jalan buat menemukan diri.”
Sore makin gelap, adzan magrib berkumandang. Doni dan Fadil
saling pandang, lalu berdiri.
“Ustad,” kata Doni sambil menunduk, “kayaknya saya nggak gagal deh. Saya cuma
lagi disiapin buat sesuatu yang lebih pas.”
“Alhamdulillah,” jawab Ustad tersenyum. “Itu baru murid saya.”
Mereka bertiga berjalan ke musholla. Di langit, awan jingga
mulai menepi. Dan mungkin, di antara desir angin sore itu, ada bisikan lembut
yang terdengar seperti doa:
"Ya Allah, atur saja... karena rencana-Mu selalu lebih indah dari yang
kami duga."