SEBAB MUSABAB DAN TEH MANIS USTAD KARIM

 



Sore itu, angin pelan-pelan meniup sarung yang dijemur di halaman musholla. Di serambi depan, Ustad Karim duduk santai sambil menyeruput teh manis panas—yang rasanya seperti hidup: kadang terlalu manis, kadang kepanasan juga. Di hadapannya, dua murid setianya—Doni dan Fadil—duduk bersila, wajah mereka penuh tanda tanya seperti ujian matematika tanpa kisi-kisi.

“Ustad,” kata Doni membuka percakapan, “saya tuh lagi bingung. Saya udah rencanain semuanya—mau kerja di tempat keren, punya gaji tetap, bisa bantu orang tua. Eh, malah ditolak mentah-mentah pas wawancara. Saya udah doa juga, tapi kok nggak dikabulin ya?”

Ustad Karim tersenyum. “Kamu tahu nggak, Don, kalau doa itu kadang kayak pesan online?”
Doni melongo. “Maksudnya, Ustad?”
“Kadang langsung sampai, kadang pending, kadang juga dikirimnya ke alamat yang lebih baik dari yang kamu tulis.”

Fadil langsung nyengir, “Wah, berarti doa Doni lagi ‘out for delivery’ ya, Ustad?”
“Bisa jadi,” jawab Ustad Karim sambil terkekeh. “Cuma mungkin kurirnya malaikat, jadi butuh waktu karena rutenya lewat surga dulu.”

Mereka bertiga tertawa. Tapi kemudian, Ustad meletakkan gelas tehnya dan suaranya jadi agak lembut.
“Begini, Nak. Kadang kita terlalu sibuk maksa Tuhan buat ikut rencana kita, padahal rencana kita itu cuma sejengkal. Sementara Allah lihatnya jauh, sampai ke ujung takdir. Jadi kalau kamu bilang, ‘atur saja ya Allah, gimana baiknya untukku,’ itu bukan kalimat pasrah kalah. Itu kalimat orang yang sudah menang—karena dia percaya penuh pada sebaik-baiknya Pengatur.”

Fadil mengangguk-angguk. “Berarti kalau saya gagal dapet gebetan, itu juga karena Allah udah atur yang lebih baik ya, Ustad?”
“Bisa jadi,” kata Ustad sambil menahan senyum. “Atau bisa juga karena kamu belum pantas buat yang kamu kejar.”
Doni langsung nyeletuk, “Nah tuh, Fad! Mungkin kamu harus naik level dulu biar jodohmu bukan cuma suka karena motor pinjaman.”
Mereka tertawa lagi, sampai teh di gelas Ustad hampir tumpah.

Ustad Karim menatap kedua muridnya dengan penuh kasih.
“Begini, Nak-nak sekalian. Hidup ini bukan tentang seberapa kuat kamu menggenggam, tapi seberapa ikhlas kamu melepaskan sesuatu yang memang bukan untukmu. Karena di balik semua sebab-musabab, ada tangan Allah yang sedang menata sesuatu yang belum kamu mengerti. Kadang yang kamu kira kehilangan, justru itu jalan buat menemukan diri.”

Sore makin gelap, adzan magrib berkumandang. Doni dan Fadil saling pandang, lalu berdiri.
“Ustad,” kata Doni sambil menunduk, “kayaknya saya nggak gagal deh. Saya cuma lagi disiapin buat sesuatu yang lebih pas.”
“Alhamdulillah,” jawab Ustad tersenyum. “Itu baru murid saya.”

Mereka bertiga berjalan ke musholla. Di langit, awan jingga mulai menepi. Dan mungkin, di antara desir angin sore itu, ada bisikan lembut yang terdengar seperti doa:
"Ya Allah, atur saja... karena rencana-Mu selalu lebih indah dari yang kami duga."

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN