ADAB AMAL IMAN DAHULU BARU ILMU
Jadi, ternyata… yang paling utama bukan sekadar banyaknya ilmu yang kita miliki, tapi bagaimana ilmu itu menumbuhkan iman, amal, dan adab di dalam diri kita. Karena ilmu tanpa iman bagaikan lampu tanpa cahaya — tampak indah dari luar, tapi tak memberi terang bagi siapa pun. Ilmu tanpa amal seperti pohon tanpa buah — rindang tapi tak berguna. Dan ilmu tanpa adab? Ibarat pedang di tangan anak kecil — bisa melukai dirinya sendiri dan orang lain.
Sering kali kita mendengar orang berbicara dengan bangga
tentang ilmunya — tentang seberapa banyak buku yang sudah dibaca, seberapa
banyak ayat yang sudah dihafal, atau seberapa tinggi gelarnya. Tapi di sisi
lain, kita lupa bertanya pada diri sendiri: Apakah ilmu itu sudah membuatku
lebih tunduk kepada Allah? Sudahkah ilmu itu menumbuhkan kasih sayang di
hatiku? Atau justru membuatku merasa lebih tinggi dari orang lain?
Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
"Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal
saleh, mereka itulah sebaik-baik makhluk."
(QS. Al-Bayyinah: 7)
Ayat ini seperti cermin. Ia mengingatkan kita bahwa ilmu
yang tidak melahirkan iman dan amal saleh belumlah sempurna nilainya. Iman
adalah pondasi, sedangkan ilmu adalah penerangnya. Tanpa pondasi, bangunan
sebesar apa pun akan roboh. Dan tanpa cahaya, langkah sejernih apa pun akan
tetap tersesat di kegelapan.
Rasulullah ﷺ pun telah mengingatkan kita dengan begitu
lembut namun tegas:
“Tidak akan bergeser dua kaki seorang hamba pada hari kiamat
hingga ia ditanya tentang empat hal... dan tentang ilmunya — apa yang ia
amalkan dari ilmunya.”
(HR. Tirmidzi, no. 2417)
Hadits ini menampar pelan ego kita — bahwa ilmu bukanlah
trofi untuk dipamerkan, tetapi alat untuk berbuat baik. Ilmu yang tak
diamalkan seperti benih yang disimpan di laci; tak akan pernah tumbuh menjadi
pohon kehidupan.
Betapa banyak orang yang mengaku “berilmu”, tapi hatinya
kering dari kasih dan adab. Betapa sering kita jumpai mereka yang hafal ayat
demi ayat, tapi lupa untuk menundukkan pandangan dan menenangkan lidahnya.
Padahal Rasulullah ﷺ sudah memperingatkan, bahwa kelak akan ada orang-orang
yang menjadikan ayat-ayat Allah sebagai alat pembenaran nafsu, bukan
sebagai petunjuk kebenaran.
Karena itulah, adab menjadi mahkota ilmu.
Imam Malik pernah berkata kepada muridnya yang kelak menjadi ulama besar, Imam
Syafi’i:
“Wahai anakku, pelajarilah adab sebelum engkau mempelajari
ilmu.”
Ungkapan itu sederhana, tapi dalamnya tak terukur. Sebab,
adab adalah jiwa dari ilmu itu sendiri. Orang berilmu tanpa adab seperti rumah
megah tanpa penghuni — kosong, sunyi, dan tak memberi kehangatan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sesungguhnya aku diutus tidak lain hanyalah untuk
menyempurnakan akhlak yang mulia.”
(HR. Ahmad, no. 8952)
Ini berarti, tujuan akhir ilmu bukanlah pengetahuan, tapi
perubahan.
Ilmu seharusnya membuat kita lebih lembut, bukan lebih keras. Lebih rendah
hati, bukan lebih tinggi kepala. Lebih dekat dengan manusia, bukan menjauh
dengan merasa suci sendiri.
Dan ketika seseorang menuntut ilmu dengan hati yang bersih,
maka setiap pengetahuan yang ia dapatkan akan menjadi cahaya — menerangi
pikirannya, menghangatkan hatinya, dan menuntun langkahnya menuju kebaikan.
Tapi jika ilmu dipelajari hanya untuk kebanggaan, maka cahaya itu justru akan
padam dalam kesombongan.
Pada akhirnya, hidup ini bukan tentang seberapa banyak kita
tahu, tapi seberapa banyak yang kita lakukan dari apa yang kita tahu. Karena di
hadapan Allah, nilai ilmu diukur bukan dari seberapa dalam hafalan, tapi
seberapa dalam ketundukan.
Maka mari kita belajar, bukan hanya untuk pandai berbicara —
tapi agar kita pandai menjaga lisan.
Belajar, bukan hanya untuk menjadi pintar — tapi agar kita menjadi rendah
hati.
Dan belajar, bukan hanya untuk mengerti dunia — tapi untuk mengenal siapa diri
kita di hadapan Sang Pencipta.
Karena sejatinya, ilmu yang sejati adalah yang mendekatkan
kita pada Allah dan membuat kita semakin beradab terhadap sesama.
Dan di situlah letak keindahan sejati dari ilmu — ketika ia tak hanya memenuhi
kepala, tapi juga menumbuhkan cahaya di dalam hati.