YOU’VE GOT A FRIEND
Kadang aku berpikir, betapa ajaibnya waktu. Ia bisa
berjalan begitu cepat, tapi sekaligus menyimpan begitu banyak kisah di balik
setiap detiknya. Tahun-tahun itu — 1998 hingga 1999 — bukan hanya masa awal
sebuah usaha, tapi juga masa ketika hati kami masih murni percaya bahwa kerja
keras, mimpi, dan persahabatan bisa mengubah dunia.
Kami tidak punya modal besar. Yang kami punya hanyalah
semangat, keyakinan, dan kopi yang kami seduh dengan sepenuh hati. Di ruangan
sempit itu, kami belajar tentang banyak hal — bukan hanya tentang bisnis, tapi
tentang makna hidup. Tentang arti berbagi, bertahan, dan percaya satu sama
lain.
Aku masih ingat bagaimana Dimas sering berkata sambil
tersenyum,
“Yang penting kita mulai dulu, Mas. Allah pasti bukakan
jalannya nanti.”
Sederhana, tapi penuh makna. Dan benar saja, langkah kecil
itu tumbuh menjadi langkah besar. Coffee Toffee bukan hanya nama brand;
ia adalah simbol mimpi anak-anak muda yang tak takut bermimpi di tengah
keterbatasan.
Namun di balik semua kebanggaan itu, ada juga sisi yang
membuat dada sesak — karena tak semua orang yang dulu berjuang bersama masih
ada di sini. Ada yang kini jauh, ada yang tak lagi bisa kita sapa, seperti
Dimas, adik, sahabat, sekaligus partner terbaik yang kini beristirahat dalam
keabadian.
Setiap kali lagu “You’ve Got a Friend” mengalun,
hatiku seperti kembali ke masa itu. Suara piano lembutnya membawa bayangan
Dimas duduk di sudut ruangan, mengetik sesuatu sambil bersenandung kecil. Ada
kedamaian dalam ingatan itu, tapi juga kerinduan yang tak pernah sepenuhnya
hilang.
“You just call out my name, and you know wherever I am,
I’ll come running…”
Kalimat itu kini terdengar seperti pesan yang datang dari
alam lain. Seolah Dimas berbisik dari kejauhan, menenangkan, “Tenang, Mas… aku
masih di sini, lewat setiap kenangan dan doa.”
Dan aku pun tahu, meski raga tak lagi bisa bertemu, jiwa yang tulus tak pernah
benar-benar pergi.
Dalam hidup, kita sering dihadapkan pada kehilangan. Tapi
sesungguhnya, kehilangan bukan berarti berakhir. Ia hanyalah cara Allah
mengajarkan kita untuk mencintai tanpa menggenggam, untuk merindukan tanpa
mengeluh, dan untuk mengenang tanpa larut dalam sedih.
Allah berfirman:
“Dan janganlah kamu mengira orang-orang yang gugur di
jalan Allah itu mati; bahkan mereka itu hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat
rezeki.” (QS. Ali Imran: 169)
Mungkin begitulah juga Dimas. Ia tetap hidup — dalam karya,
dalam doa, dalam setiap secangkir kopi yang dinikmati orang lain dari
tangan-tangan penerusnya.
Aku kadang menatap cangkir kopi yang mengepul, dan tanpa
sadar tersenyum sendiri. Ada rasa haru, ada rasa bangga. Karena di balik aroma
kopi itu, tersimpan kisah perjuangan dan cinta yang dulu kami rajut bersama.
Kini, dua puluh tahun lebih berlalu. Dunia berubah, waktu
berganti, tapi ada hal-hal yang tetap: persahabatan yang tulus, doa yang tak
pernah putus, dan lagu itu — You’ve Got a Friend — yang selalu jadi
pengingat bahwa kita tak pernah benar-benar sendirian.
Rasulullah ﷺ bersabda,
“Apabila seseorang mencintai saudaranya karena Allah,
hendaklah ia memberitahunya bahwa ia mencintainya.” (HR. Abu Dawud dan
Tirmidzi)
Dan kalau waktu bisa diulang, aku ingin berkata langsung
pada Dimas,
“Dik, aku bangga banget sama kamu. Terima kasih sudah jadi
sahabat, adik, sekaligus pengingat tentang arti ketulusan.”
Sekarang, setiap kali lagu itu terdengar, aku menutup mata
sejenak. Ada rasa damai yang datang perlahan, seperti pelukan lembut dari masa
lalu. Aku tahu, tak semua kenangan harus disembuhkan — karena beberapa kenangan
memang diciptakan untuk tetap tinggal, agar kita selalu ingat bahwa hidup ini
indah, meski tak lengkap.
Winter, spring, summer or fall… all you have to do is
call… and I’ll be there.
Ya, Dik… kalau suatu hari nanti aku pun lelah di perjalanan
ini, aku akan memanggilmu dalam doa.
Dan aku yakin, di seberang sana, kamu akan tersenyum sambil berkata:
“Aku sudah duluan, Mas. Tapi tenang, kita bakal ketemu lagi
— di tempat yang lebih tenang, lebih damai, dan tanpa perpisahan.”
Al-Fatihah untukmu, sahabat dan saudaraku, Dimas Arya
Radityo.
Kau mungkin sudah pergi, tapi dalam setiap hembusan aroma kopi, setiap lagu
yang terputar, dan setiap doa yang terucap — kau selalu ada.
Sebuah lagu kadang bisa menjadi jembatan waktu. Ia menembus
tahun, membawa kita kembali pada masa yang sederhana, tapi sarat makna.
Begitulah rasanya setiap kali lagu “You’ve Got a Friend” mengalun pelan
di telinga — seolah waktu berhenti, dan kenangan tahun 1998–1999 perlahan hidup
kembali.
Saat itu, di sebuah dapur mungil yang juga merangkap kantor
serba guna, sekelompok anak muda lulusan ITS sedang bermimpi besar. Mereka
bukan hanya sedang meracik kopi, tapi juga sedang meracik masa depan. Ada tawa,
ada lelah, ada semangat yang kadang naik-turun, tapi yang paling terasa adalah
energi kebersamaan yang begitu tulus.
Mas Ody, Adit Sutil, Bompy — dan tentu, almarhum adikku tersayang, Dimas Arya
Radityo — mereka semua adalah jiwa-jiwa muda yang percaya bahwa dari ruang
sempit dan sederhana, sesuatu yang besar bisa lahir. Dan lahirlah Coffee
Toffee — sebuah brand yang kini menasional, tapi dulunya hanya ide yang
dipupuk dengan kerja keras, doa, dan persahabatan yang hangat.
Aku masih ingat betul suasana waktu itu. Aroma kopi
bercampur dengan tumpukan kertas rencana, desain logo yang masih direvisi
berkali-kali, dan diskusi panjang sampai larut malam. Aku sendiri sempat ikut
memberi sentuhan kecil dari sisi komunikasi. Bukan peran besar, tapi cukup
untuk membuatku merasa menjadi bagian dari cerita indah itu.
Dan di tengah semua proses itu, lagu “You’ve Got a Friend” seringkali
menemani. Liriknya yang lembut seakan mewakili hubungan kami — saling
menguatkan di masa sulit, saling percaya meski langkah belum pasti.
“When you’re down and troubled, and you need some loving
care…”
Itu masa di mana idealisme diuji. Tak semua berjalan mulus.
Ada hari di mana rencana tak sesuai harapan, ada tekanan, ada ketidakpastian.
Tapi di antara semua itu, kami belajar satu hal penting: bahwa yang membuat
perjuangan itu bermakna bukan hanya hasil akhirnya, melainkan kebersamaan di
dalamnya.
Ketika salah satu jatuh, yang lain datang mengangkat. Saat yang lain lelah, ada
tangan yang menepuk bahu dan berkata, “Ayo, kita lanjut.”
Dalam Al-Qur’an, Allah mengingatkan:
“Sesungguhnya orang-orang beriman itu bersaudara.”
(QS. Al-Hujurat: 10)
Dan aku merasakan ayat itu bukan hanya di masjid atau di
majelis taklim, tapi di dapur kecil itu — di mana semangat, cinta, dan doa
menyatu dalam bentuk paling nyata: kerja keras dan persahabatan.
“You just call out my name, and you know wherever I am,
I’ll come running…”
Lirik itu kini terasa jauh lebih dalam. Karena salah satu
dari kami, sahabat terbaik, adikku tersayang — sudah lebih dulu berpulang.
Dimas bukan sekadar rekan kerja atau partner di masa muda; ia adalah jiwa
hangat yang selalu siap datang kapan pun dibutuhkan.
Dia tidak hanya membantu dengan tangan, tapi juga dengan hati. Ada ketulusan di
matanya setiap kali bicara tentang masa depan, dan ada keyakinan yang tidak
pernah padam meski keadaan sulit. Kini, setiap kali lagu ini terdengar, seolah
suaranya ikut menyapa dari kejauhan — mengingatkan bahwa persahabatan sejati
tidak berakhir di dunia ini saja.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Perumpamaan dua orang yang bersahabat karena Allah
seperti dua tangan: jika yang satu membersihkan, yang lain pun ikut
membersihkan.” (HR. Ad-Dailami)
Dan begitulah kami dulu. Saling membersihkan, saling
meneguhkan, saling menguatkan.
Aku masih bisa melihat wajah-wajah penuh semangat itu dalam ingatan. Tawa
mereka, obrolan spontan yang kadang tak penting tapi hangat, dan secangkir kopi
yang diseduh dengan cinta — semua kini menjadi mozaik kenangan yang terlalu
indah untuk dilupakan.
“If the sky above you grows dark and full of clouds…”
Betul. Waktu berjalan, banyak hal berubah. Beberapa dari
kami menempuh jalan berbeda. Ada yang pergi jauh, ada yang mendirikan usaha
lain, dan ada yang — seperti Dimas — berpulang lebih dulu ke pangkuan Allah.
Tapi satu hal yang tak berubah: rasa bangga dan cinta pada perjalanan itu.
Coffee Toffee kini tumbuh besar. Tapi bagi kami yang tahu kisah awalnya, brand
itu bukan sekadar bisnis. Ia adalah simbol dari mimpi yang lahir dari
persahabatan, ketulusan, dan keberanian untuk memulai dari nol.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Seorang mukmin terhadap mukmin lainnya bagaikan satu
bangunan, yang satu memperkuat yang lain.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kini, setiap kali aku memutar lagu ini — terutama bagian:
“Winter, spring, summer or fall, all you have to do is
call…”
ada rasa hangat yang tak bisa dijelaskan. Seolah Dimas masih ada di sana, duduk
di kursi kayu kecil, menatap layar komputer tabung, sambil berkata santai,
“Ayo, kita bisa kok.”
Dan aku hanya bisa tersenyum sambil menatap langit,
berbisik pelan:
“I miss that moment… Al-Fatihah untukmu, my best partner, Dimas Arya
Radityo.”
Karena meski waktu memisahkan, lagu ini akan selalu menjadi
pengingat — bahwa dalam hidup, kita pernah punya teman, saudara, dan sahabat
yang tak tergantikan. Bahwa cinta dan persahabatan yang tulus tak pernah
benar-benar hilang, hanya berpindah tempat — dari dunia yang fana ke dalam
kenangan dan doa yang abadi.
