BELAJAR DARI USAHA KECIL UNTUK MIMPI YANG BESAR DI Z CORNER
Pagi itu, hari Minggu yang cerah. Udara terasa lembut,
matahari baru muncul malu-malu di balik awan. Di pojok Masjid Al Fattah Perumahan Taman Griya, di sebuah area
pojok sebelah sungai yang kami sebut Z Corner, suasana terasa hangat — bukan hanya
karena aroma roti bakar dan kopi panas, tapi karena semangat para pejuang
kecil, para tenant UMKM binaan Baznas. Mereka datang dengan wajah cerah,
sebagian membawa catatan penjualan, sebagian lagi cuma berbekal senyum dan rasa
ingin tahu.
Kami duduk melingkar, sederhana tapi penuh
keakraban. Seperti biasa, setiap bulan kami melakukan evaluasi kinerja.
Ini bukan sekadar hitung-hitungan angka, tapi ajang belajar bareng, saling
berbagi, dan menumbuhkan cara berpikir yang lebih matang dalam berbisnis.
Awalnya, suasana agak serius. Aku membuka pembahasan
tentang hal-hal yang biasa dipakai di dunia bisnis besar: COGS, food cost,
menu engineering, pricing strategy, dan hal-hal yang mungkin terdengar
“wah” untuk usaha skala kecil.
Salah satu sahabatku yang kebetulan tahu latar belakangku sempat nyeletuk waktu
aku ceritakan hal ini,
“Bro, nggak keberatan tuh ngomongin istilah kayak gitu buat
UMKM?”
Aku hanya tertawa kecil. Ya, aku memang terbiasa mengelola
bisnis kuliner besar, dengan omzet harian bisa ratusan juta dan tim yang rumit.
Tapi bagiku, justru di sinilah letak maknanya.
“Dari hal kecil seperti inilah mereka belajar. Karena
nanti, saat mereka sudah jadi pengusaha besar, fondasinya sudah kuat,” kataku.
Bagiku, ini bukan sekadar rapat. Ini adalah sedekah ilmu.
Aku merasa beruntung bisa belajar dari dunia usaha besar, dan sekarang saatnya
berbagi kepada mereka yang sedang berjuang meniti tangga pertama.
Diskusi kami pun dimulai.
Aku meminta masing-masing tenant menyampaikan hasil pendapatannya selama
sebulan, termasuk biaya operasionalnya. Setelah itu, aku ajak mereka berpikir —
bukan hanya soal berapa besar omzet, tapi berapa besar laba bersih
yang mereka hasilkan.
Ada yang penjualannya besar tapi keuntungannya tipis
banget. Ada juga yang jualannya nggak seberapa, tapi marginnya justru bagus.
Nah, dari situ aku mulai menjelaskan,
“Teman-teman, ada prinsip sederhana dalam bisnis: sekecil-kecilnya
modal, sebesar-besarnya hasil. Jangan bangga dulu kalau pendapatan besar,
tapi biaya juga besar. Kalau sama besarnya, artinya kalian belum berhasil.”
Beberapa langsung manggut-manggut. Ada yang menunduk, mulai
menghitung-hitung dalam hati. Aku lanjut,
“Yang penting itu laba. Karena laba-lah yang bisa
kalian gunakan buat memenuhi kebutuhan hidup, menabung, bahkan mengembangkan
usaha. Modal jangan dihabiskan, biar bisa terus berputar. Kalau kalian bisa
menjaga itu, berarti kalian sudah naik kelas.”
Tiba-tiba Adi — penjual roti bakar dan mie ayam pedas —
mengangkat tangan sambil senyum malu-malu.
“Pak Nucky, kenapa ya, pendapatan saya kecil, padahal
pelanggan saya lumayan banyak? Kok bisa ya yang lain malah lebih besar?”
Pertanyaan sederhana, tapi dalam. Aku pun jawab dengan
bahasa yang santai biar semua bisa paham.
“Itu tergantung strategi, Di. Pendapatan bisa naik
dari dua arah: pertama, meningkatkan traffic atau jumlah pembeli; kedua,
menaikkan harga jual. Nah, dua-duanya butuh kreativitas.”
Aku lanjut menjelaskan dengan contoh yang lebih nyata.
“Kalau mau nambah traffic, bisa lewat promosi —
misalnya buy one get one, diskon waktu tertentu, atau bikin menu spesial
buat pelanggan tetap. Bisa juga lewat media sosial, biar jangkauan lebih luas.
Tapi kalau mau menaikkan harga jual, ya kasih nilai tambah. Misalnya roti bakar
biasa Rp15.000, tapi kalau nambah topping kacang cuma tambah Rp5.000. Pelanggan
merasa dapat lebih, kamu pun untung lebih. Itu yang disebut strategi cerdas.”
Aku menambahkan,
“Tapi ingat, strategi itu nggak akan ada gunanya kalau
nggak dikomunikasikan. Kasih tahu pelangganmu, lewat flyer, spanduk kecil, atau
media sosial. Pastikan pesannya nyampe.”
Dari diskusi itu, aku melihat jelas: para pelaku UMKM ini
semangatnya luar biasa, tapi juga rentan. Banyak keputusan mereka masih
didasari perasaan — feeling — bukan data.
Aku bilang ke mereka,
“Mulai sekarang, biasakan baca data. Catat semua
pengeluaran, pemasukan, jumlah pelanggan, harga bahan baku, bahkan gerak
kompetitor. Jangan cuma mengandalkan perasaan. Rasanya rame, belum tentu
untung. Rasanya sepi, belum tentu rugi.”
Beberapa tertawa kecil mendengar itu. Tapi aku serius.
Karena dulu aku pun seperti mereka — pernah jatuh bangun, belajar dari
kesalahan, dan nggak ada yang memandu.
Melihat semangat mereka, aku jadi berpikir:
“Baznas perlu membentuk tim konsultan pendamping, supaya
teman-teman UMKM ini nggak jalan sendirian. Biar ada yang bantu mengarahkan,
mengevaluasi, dan menjaga semangat mereka tetap menyala.”
Menjelang siang, diskusi kami pun selesai. Tapi bukan
berarti semangatnya berhenti di situ.
Mereka pamit satu per satu sambil membawa catatan, ide, dan senyum yang berbeda
— senyum orang yang baru sadar bahwa usaha kecilnya punya potensi besar.
Kadang kita perlu berhenti sejenak, menata ulang arah, dan
sadar bahwa hidup bukan soal cepat sampai, tapi tentang tetap berjalan dengan
hati yang tenang. Ada rasa bangga yang nggak bisa dijelaskan.
Melihat mereka yang awalnya cuma jualan dengan modal “asal laku”, kini mulai
bisa bicara soal laba bersih, strategi harga, dan menu
engineering. Bahasa yang dulu mungkin terdengar kayak mantra alien,
sekarang mulai mereka ucapkan dengan percaya diri.
Dan di situlah aku sadar, perubahan besar itu selalu
dimulai dari kesadaran kecil.
Dari keberanian untuk bertanya. Dari niat untuk belajar. Dari tekad untuk
memperbaiki diri.
Aku teringat masa-masa dulu, waktu aku juga pernah jadi
“Adi.”
Waktu di mana modal cuma cukup buat sewa gerobak, dan perhitungan keuangan
dilakukan dengan kalkulator warung plus sedikit doa agar nggak salah tambah.
Dulu nggak ada yang ngajarin tentang cost control atau cash flow.
Yang penting laku. Yang penting besok bisa buka lagi.
Tapi hari-hari seperti itulah yang ternyata membentuk
mental baja seorang pengusaha.
Bukan teori rumit yang bikin kita kuat, tapi jatuh bangun, gagal dan coba lagi
— itulah universitas kehidupan yang sebenarnya.
Makanya, tiap kali aku lihat mereka berjuang di Z Corner —
di bawah tenda yang sederhana tapi penuh harapan — aku merasa seperti sedang
menatap cermin masa lalu. Bedanya, sekarang aku di sisi lain cermin itu. Sisi
yang punya kesempatan untuk menuntun, bukan lagi sekadar berjalan
sendiri.
Di balik tawa itu, aku tahu perjuangan mereka nyata.
Ada ibu-ibu yang setiap hari bangun jam empat pagi buat belanja bahan. Ada anak
muda yang menunda kuliah karena ingin bantu orang tua lewat jualan kopi. Ada
bapak yang rela kerja sambilan malam demi menutup biaya sewa lapak.
Dan aku tahu, tidak ada yang mudah. Tapi juga tidak ada
yang sia-sia.
Karena setiap keringat yang jatuh di atas meja dagangan itu
sedang menulis satu kata yang sama: HARAPAN.
Sambil membereskan catatanku, aku menulis satu kalimat di
pojok kertas:
“Mereka bukan sekadar penjual, tapi pembelajar kehidupan.”
Ya, UMKM bukan cuma tentang bisnis.
Ini tentang keberanian untuk bermimpi di tengah keterbatasan. Tentang
keikhlasan bekerja tanpa banyak sorotan. Tentang keyakinan bahwa setiap usaha
kecil, kalau dijalankan dengan jujur dan tekun, bisa jadi ladang keberkahan
yang besar.
Dan aku yakin, suatu hari nanti, beberapa dari mereka akan
benar-benar jadi pengusaha sukses.
Bukan cuma sukses secara finansial, tapi juga secara mental dan spiritual.
Yang usahanya nggak cuma mengenyangkan perut pelanggan, tapi juga menghidupkan
nilai — nilai kerja keras, tanggung jawab, dan kejujuran.
Sebelum pulang, aku menatap lagi area Z Corner yang mulai rame
Aku menatap ke langit sambil berbisik dalam hati:
“Ya Allah, Engkau Maha Kaya. Mudahkanlah langkah mereka
yang sedang berjuang di jalan halal. Jadikan usaha mereka berkah, jadikan lelah
mereka lillah, dan jadikan setiap jual beli mereka sebagai amal yang Engkau
ridhoi.”
Aku menatap mereka pergi dengan hati hangat. Di balik tenda
kecil itu, aku tahu sedang tumbuh benih-benih pengusaha hebat. Mereka mungkin
belum punya banyak, tapi mereka punya yang paling berharga: kemauan untuk
belajar dan berubah.
Sebelum mereka beranjak, aku sempat menutup dengan kalimat
yang selalu aku ucapkan di akhir pertemuan,
“Teman-teman, jangan pernah lelah belajar. Usaha kalian
kecil, tapi impian kalian besar. Jangan lupa, iringi semua langkah dengan doa.
Karena sekeras apa pun usaha kita, tanpa izin Allah, nggak akan sampai ke
mana-mana.”
Aku tersenyum, menatap meja yang mulai kosong. Secangkir
kopi tinggal setengah, tapi hatiku penuh.
Hari Minggu yang cerah itu jadi pengingat:
Bahwa berbagi ilmu adalah sedekah paling indah, dan setiap usaha kecil
yang dijalankan dengan hati — akan tumbuh menjadi besar pada waktunya.
Selamat berjuang, sahabat.
Semoga rezeki kalian luas, usaha kalian lancar, dan hatimu tetap lapang.
Karena di balik setiap gerobak, warung kecil, dan dapur sederhana — ada mimpi
besar yang sedang diperjuangkan.