INVESTASI AKHLAK PADA KEHIDUPAN ANAK KITA
(Catatan hati dari sebuah Lomba Da’i Cilik dan Adzan di hari Sabtu)
Hari Sabtu itu,
pagi yang indah dan segar. Matahari belum terlalu tinggi ketika aku melangkah
menuju halaman Masjid Abdurrahman bin Auf. Udara pagi terasa sejuk, semilir
angin membawa aroma wangi tanah yang baru disapu embun. Dari kejauhan sudah
terdengar riuh suara anak-anak — riuh yang tidak bising, tapi menenteramkan.
Anak-anak kecil
berlarian dengan wajah ceria, peci miring di kepala, jilbab mungil yang kadang
melorot karena terlalu sering bergerak. Ada yang sibuk memoles suara adzannya,
“Allaaaaahu Akbar…” dengan nada yang masih naik turun, ada juga yang di pojok
masjid berusaha menghafal teks ceramah sambil mengernyitkan dahi, seperti
sedang memecahkan kode rahasia.
Para orang tua
berdiri di pinggir, sebagian merekam dengan ponsel, sebagian lagi hanya menatap
dengan senyum yang tak lepas dari wajah. Ada rasa bangga yang hangat, tapi juga
rasa haru yang pelan-pelan menyelinap di dada.
Hari itu adalah
Lomba Da’i Cilik dan Adzan, acara sederhana, tapi penuh makna.
Sebuah momen di mana anak-anak bukan hanya belajar berbicara di depan umum,
tapi juga belajar menyampaikan kebenaran dengan hati.
Dan bagiku — hari itu terasa seperti menanam benih cinta kasih untuk masa depan
umat.
Aku masih
ingat, seorang anak kecil naik ke panggung dengan langkah kecil yang gugup.
Suaranya bergetar, tapi matanya berkilat penuh semangat.
Ia membuka dengan salam yang agak terburu-buru,
“Assalamualaikum
warahmatullahi wabarakatuh…”
Lalu mulai
ceramah tentang pentingnya salat.
Kalimatnya belum rapi, intonasinya naik turun, tapi semangatnya luar biasa.
Di tengah-tengah, ia sempat lupa teks dan menatap panitia sambil berbisik
pelan,
“Boleh ulang,
Kak?”
Seketika
seluruh penonton tertawa — tawa hangat, bukan mengejek.
Tawa yang meluruhkan tegang, membuat suasana jadi cair dan akrab.
Aku menatap
anak itu sambil tersenyum.
Di balik tubuh mungil yang berdiri di atas panggung itu, aku tahu ada
perjuangan besar dari orang tuanya:
doa yang tak henti, nasihat yang sabar, dan teladan yang terus diulang meski
kadang tak langsung dipahami.
Rasulullah ﷺ
bersabda:
“Tidak ada
pemberian yang lebih utama dari orang tua kepada anaknya selain akhlak yang
baik.”
(HR. Tirmidzi)
Pagi itu, aku
seperti sedang menyaksikan hadis itu hidup — bukan sekadar dibaca, tapi
diwujudkan.
Lomba itu bukan
sekadar ajang menang-kalah.
Ini tentang menanam nilai, bukan menumpuk piala.
Tentang anak-anak yang belajar berbicara sopan, menyapa dengan salam,
menghormati giliran, dan mengenal makna berdakwah bukan hanya lewat kata, tapi
lewat laku.
Yang membuatku
lebih terharu, lomba ini diorganisasi oleh para remaja masjid —
kakak-kakak muda yang dulu mungkin juga pernah duduk di posisi adik-adiknya,
kini berdiri gagah memandu acara, menenangkan peserta yang gugup, membagikan
hadiah, dan tersenyum sabar menghadapi anak-anak yang tiba-tiba ingin ke toilet
saat namanya hampir dipanggil.
Masjid hari itu
terasa hidup sekali.
Anak-anak belajar, remaja membimbing, para orang tua mendukung.
Semuanya menyatu dalam harmoni yang sederhana tapi indah — seperti taman dengan
bunga beraneka warna.
Di sela acara,
aku duduk di bangku panjang
Melihat
anak-anak yang sedang menikmati snack setelah tampil.
Beberapa makan sambil cerita, “Aku tadi salah baca ayat, tapi Kakaknya senyum
kok!”
Yang lain menepuk dada, “Aku deg-degan banget, tapi nggak lupa lafaz.”
Tiba-tiba ada
rasa haru yang menyelinap.
Aku berpikir, inilah bentuk kecil dari investasi yang sebenarnya.
Kita sering
sibuk memikirkan investasi untuk masa depan anak —
sekolah favorit, les bahasa asing, tabungan pendidikan, bahkan asuransi.
Semuanya baik. Tapi, ada satu investasi yang sering kita lupakan:
investasi akhlak.
Karena kelak,
ketika kita sudah tak ada, bukan tabungan yang akan menjaga mereka…
tapi akhlak.
Bukan ijazah yang menuntun langkah mereka,
tapi iman dan adab yang tertanam di hati.
Aku teringat
firman Allah:
“Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan di
belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap
(kesejahteraan) mereka.”
(QS. An-Nisa: 9)
“Anak-anak yang
lemah” — bukan hanya lemah secara harta, tapi juga lemah iman dan akhlak.
Dan itulah tugas kita: memastikan mereka kuat jiwanya, teguh keyakinannya,
lembut perilakunya.
Aku kembali
menatap panggung.
Seorang anak bungsu tampil mengumandangkan adzan.
Suaranya kecil tapi bersemangat.
“Allahu Akbar…” ucapnya dengan nada yang unik, setengah malu, setengah percaya
diri.
Usai tampil, ia berlari ke arah ibunya sambil berkata lantang:
“Bu, aku nggak
lupa lafaznya! Allah bantu aku!”
MasyaAllah.
Kalimat polos yang membuat hatiku bergetar.
Sesederhana itu, tapi di dalamnya ada keimanan yang murni — keyakinan bahwa
Allah selalu bersama.
Sebagai orang
tua, aku merenung:
Apa yang sedang kita tanam di hati anak-anak kita hari ini?
Karena, seperti pepatah Arab berkata:
“Anak bukan
kertas kosong, melainkan tanah subur yang akan menumbuhkan apa pun yang kita
taburkan.”
Kalau kita
tanam kesabaran, mereka tumbuh jadi lembut.
Kalau kita tanam kejujuran, mereka jadi dapat dipercaya.
Kalau kita tanam cinta, mereka tumbuh jadi penebar kasih.
Dan kalau kita
tanam akhlak…
mereka akan jadi manusia yang membawa kebaikan, bahkan saat kita sudah tiada.
Sore itu,
sebelum pulang, aku sempat menepuk bahu salah satu panitia remaja dan berkata,
“Kalian hebat, Kak
. Apa yang kalian lakukan ini mungkin terlihat kecil, tapi kelak akan jadi
pohon besar yang meneduhkan banyak orang.”
Ia tersenyum
malu dan menjawab,
“Kami juga dulu
diajar sama orang-orang tua yang sabar, Pak. Sekarang gantian kami yang
berbagi.”
Aku terdiam
sejenak.
Dan di situlah aku sadar — begitulah akhlak bekerja.
Ia seperti lingkaran yang tak pernah putus.
Yang menanam belum tentu melihat hasilnya,
tapi Allah tidak pernah lupa mencatat setiap kebaikan yang ditanam dengan
ikhlas.
Untuk setiap
orang tua yang sedang berjuang mendidik anak dengan cinta,
ingatlah:
kita bukan hanya menyiapkan anak untuk sukses di dunia,
kita sedang menyiapkan jiwa yang akan jadi cahaya di akhirat.
Semoga Allah
selalu membimbingmu, anak-anakku sekalian…
Menjaga adab dan akhlak kalian, menuntun langkah kalian di jalan yang lurus.
Dan semoga setiap langkah kecil kalian hari ini —
di panggung kecil lomba, di halaman masjid, atau di rumah sederhana kita —
menjadi saksi bahwa kami telah berusaha menanam akhlak,
investasi yang tak lekang oleh waktu.