MEMBONGKAR STRATEGI DI BALIK LAYAR SUKSES BLACK CANYON COFFEE INDONESIA
“We are not selling food & beverage. We are
selling space for sharing.”
Pagi itu matahari belum tinggi, tapi semangatku sudah
menyala seperti kopi panas yang baru diseduh.
Di atas meja rapat, aroma arabica bercampur tegangnya udara diskusi. Di
seberangku duduk dua “raksasa” dunia komunikasi — tim dari Saatchi &
Saatchi dan Dentsu & Young. Kami semua tahu, yang kami bicarakan
hari itu bukan sekadar soal jualan kopi, tapi soal napas panjang
sebuah brand.
Aku datang membawa satu amanah besar dari President
Director: “Bangun strategi komunikasi baru. Jangan hanya buat kampanye, tapi
ciptakan pergerakan.”
Bersamaku duduk Pak Purwanto — sosok GM- General Manager Legendaris Black Canyon Indonesia dengan segudan experience, yang tenang tapi pikirannya tajam
seperti silet. Kami mengobrol serius tapi santai, seperti dua sahabat lama yang
sedang menyusun rencana gila tapi masuk akal.
Hari itu kami sampai pada satu kesadaran:
“Brand bukan sekadar logo atau tagline. Ia adalah jiwa. Dan
jiwa tidak bisa dibeli—ia hanya bisa dirasakan.”
Dalam dunia usaha, produk bisa basi, harga bisa berubah,
promo bisa ketinggalan zaman. Tapi brand?
Ia hidup jauh lebih lama dari yang kita duga — di benak, di hati, dan dalam
kebiasaan pelanggan.
Aku berkata pelan pada Purwanto,
“Brand itu tentang persepsi. Tentang cerita. Tentang rasa
percaya. Dan rasa percaya itu tidak bisa diciptakan dengan iklan, tapi dengan
pengalaman.”
Kami sepakat untuk memulai dari satu filosofi sederhana:
“Mulailah dari apa yang ada di tanganmu.”
Bukan dari yang sempurna. Bukan dari yang besar.
Rasulullah SAW pun memulai dakwahnya dari yang sederhana — menggembala kambing,
berdagang dengan kejujuran.
Beliau tidak menunggu kaya untuk berdakwah.
Dan banyak pengusaha besar hari ini yang memulai dari garasi rumah, dari satu
brosur lusuh, dari niat yang tidak pernah lusuh.
Maka aku katakan:
“Kalau kita punya tim yang solid, mulai dari itu. Kalau punya gerai yang belum
optimal, perkuat branding-nya. Jangan tunggu semuanya siap baru bergerak.
Karena kesempurnaan sering datang setelah keberanian.”
Dan dari keberanian itu lahirlah positioning baru:
“We are not selling food. We are not selling beverage. We
are selling space for sharing.”
Kami tidak ingin pelanggan datang hanya untuk makan atau
ngopi.
Kami ingin mereka menemukan rumah kedua. Tempat mereka bisa berbagi ide,
bercerita, bahkan menyendiri dengan damai.
Dengan konsep ini, Black Canyon Coffee Indonesia (BCC) berubah dari
sekadar kedai menjadi ruang tumbuh bersama.
Kelahiran Strategi: Dari Brand Menjadi Gerakan
Dalam riset dan refleksi kami, kami membagi strategi menjadi
tiga fondasi utama:
- Campaign
External – “BCC: Space for Sharing”
Sebuah reposisi merek agar pelanggan merasakan bukan sekadar tempat, tapi makna kebersamaan. - Campaign
Internal – “Companionship”
Karyawan bukan hanya rekan kerja, tapi sahabat seperjalanan. Kami tidak hanya melatih skill, tapi juga hati. - BCC
Lab – “Learning & Innovation Ecosystem”
Laboratorium belajar yang memungkinkan semua insan BCC gagal, mencoba lagi, dan tumbuh bersama.
Itulah blueprint perubahan yang kami sebut Integrated
Companionship Strategy.
Dan untuk menghidupkannya, kami butuh satu hal yang tak bisa digantikan oleh
PowerPoint atau KPI: momen kebersamaan.
CAMPING DI BEDUGUL: MENCIPTAKAN RASA, BUKAN HANYA
STRATEGI
Udara Bedugul pagi itu seperti doa yang baru dilantunkan:
sejuk, jernih, penuh harapan.
Ratusan peserta — dari barista, kasir, manajer gerai, hingga tim head office —
berkumpul dalam satu lapangan rumput luas. Tak ada lagi pangkat, tak ada
seragam. Hanya sahabat yang menyapa dengan tawa.
Kami mulai dengan Treasure Hunt, bukan sekadar lomba
cepat-cepatan, tapi perjalanan makna.
Setiap pos punya tantangan dan satu pertanyaan:
“Apa arti companionship buat kalian?”
Jawabannya beragam. Ada yang menulis “teman saat susah,” ada
yang menulis “orang yang tak menertawakan kegagalan kita.”
Semua jawaban itu dikumpulkan — bukan untuk lomba, tapi untuk dibaca bersama
malam harinya.
Menjelang sore, mereka diberi misi terakhir: memasak
bersama.
Dan percayalah, tidak ada yang lebih jujur dari wajah orang lapar yang berusaha
tetap kompak.
Ada tim yang membuat nasi goreng keju (ya, keju!), ada yang membuat kopi rempah
pakai ulekan, dan ada juga yang memanggil Tuhan karena satenya gosong total.
Namun yang terpenting bukan rasa makanannya, tapi rasa
kebersamaannya.
MALAM DI TEPI DANAU: PANGGUNG PESAN
Langit Bedugul malam itu indah sekali. Bintang-bintang
seperti lampu kecil yang ikut menonton kami.
Kami duduk melingkar di pinggir Danau Beratan, ditemani api unggun yang hangat.
Dari panggung kecil buatan sendiri, aku berkata pelan,
“Kita datang dari banyak kota, dengan cerita dan latar
berbeda. Tapi malam ini kita punya satu semangat: tumbuh bersama.”
Beberapa mata mulai berkaca.
Kami bernyanyi pelan, lagu-lagu persahabatan yang diciptakan spontan.
Seseorang menggubah liriknya sendiri:
“Di dapur kita bertemu, di cangkir kita menyatu, Black
Canyon jadi tempat kita pulang…”
Itu bukan malam biasa. Itu malam ketika “strategi” berubah
menjadi rasa.
DARI BEDUGUL KE SELURUH INDONESIA: STRATEGI YANG HIDUP
Setelah Bedugul, kami keliling Indonesia — dari Surabaya
yang sibuk, Yogyakarta yang hangat, Bandung yang kreatif, hingga Makassar yang
visioner.
Setiap kota punya warna. Setiap gerai punya cerita.
Aku belajar satu hal besar:
“Strategi sehebat apapun tidak akan berjalan tanpa
keberanian memulai dari yang kecil dan keyakinan terhadap proses.”
Brand bukan sekadar desain kampanye — ia adalah napas yang
dihirup setiap karyawan saat melayani.
BCC GOT TALENT: SAAT SERIUS BERUBAH JADI TAWA
Jumat pagi itu kantor pusat mendadak berubah jadi panggung
mini. Ada karpet merah, lampu seadanya, dan papan bertuliskan “BCC Got
Talent – Because Friendship Matters.”
Accounting tampil dengan kaus bertuliskan “Debit? Credit?
Dance it!”
Tim Teknik main band dadakan. HR jadi MC dadakan.
Dan yang paling penting: tembok formalitas runtuh.
Setelah acara, yang dulunya canggung kini akrab.
Dua supervisor yang sempat berseteru malah duet nyanyi “Kemesraan”.
Pulse survey berikutnya menunjukkan kepuasan karyawan naik 18 poin, dan turnover
barista turun drastis.
Ternyata benar, ketika hati bahagia, kerja pun jadi ibadah.
BCC LAB: TEMPAT BELAJAR, GAGAL, DAN TUMBUH BERSAMA
BCC Lab bukan sekadar dapur pelatihan.
Ia adalah ruang belajar tanpa takut gagal — tempat mencoba menu baru,
menyusun SOP yang lebih efektif, dan menumbuhkan rasa ingin tahu.
Dari sini lahir banyak ide, salah satunya “Traditional
Mix Fries” — sepiring camilan lokal (pisang, ubi, singkong) dengan plating
modern.
Konsepnya sederhana tapi sarat makna: “Traditional goes to International.”
Ini bukan sekadar menu. Ini adalah misi budaya.
Dan di sinilah kami belajar satu hal penting:
“Perubahan sejati bukan soal mengganti sistem, tapi tentang
keberanian membuka diri.”
MENJALANI PERUBAHAN DENGAN HATI
Sore itu, aku dan Purwanto duduk di teras kantor, menatap
langit jingga.
Kami berbicara lama, lalu terdiam cukup lama pula.
Purwanto akhirnya berkata,
“Kalau di tempat dulu aku belajar tentang skala, di sini aku
belajar tentang makna.”
Aku tersenyum.
Perubahan itu memang tidak selalu mudah. Kadang melelahkan, kadang membuat kita
ragu.
Tapi justru di situlah indahnya.
Karena perubahan yang dikerjakan bersama akan selalu
lebih kuat dari perubahan yang dipaksakan.
Dan ketika hati menjadi fondasi, bukan hanya perusahaan yang tumbuh — manusianya
pun ikut bertumbuh.
CATATAN NUCKY: Kesuksesan sejati bukan sekadar
membangun bisnis atau mencapai target,
tapi menciptakan ruang bagi orang lain untuk tumbuh, berbagi, dan menemukan
makna.
Karena ketika kita menumbuhkan kepercayaan, kolaborasi, dan hati yang tulus,
setiap langkah kecil akan menjadi gerakan besar yang melampaui diri sendiri.
“We are not selling food & beverage. We are
selling space for sharing.”
Karena kopi hanya akan terasa nikmat… jika diminum bersama
makna.

