JANGAN TERSINGGUNG — ANTARA PEMENANG DAN PECUNDANG
Kadang hidup ini seperti arena pertandingan yang tak pernah
berhenti. Setiap pagi, begitu mata terbuka, kita sebenarnya sudah ikut
bertanding. Bukan dengan orang lain, tapi dengan diri sendiri — dengan rasa
malas, rasa takut, dan rasa “nggak sanggup” yang diam-diam sering jadi lawan
paling berat.
Makanya, ketika seseorang berkata, “Jangan tersinggung.
Jika kamu bukan pemenang, berarti kamu pecundang,” jangan buru-buru marah.
Karena kalimat itu bukan hinaan. Ia adalah cermin — dan sering kali, cermin
yang paling jujur justru yang paling menyakitkan.
Kesulitan memang bukan sesuatu yang kita undang. Siapa juga
yang mau repot? Tapi mau lari ke mana pun, ia akan selalu datang dalam wujud
ujian. Kadang berupa kehilangan, kadang berupa kegagalan, kadang juga berupa
komentar pedas dari orang-orang yang bahkan belum tentu lebih baik dari kita.
Namun di situlah letak bedanya pemenang dan pecundang.
Pemenang bukan orang yang tak pernah jatuh — tapi yang tahu cara bangkit dengan
kepala tegak dan hati tetap lapang. Sedangkan pecundang, sering kali sudah
menyerah bahkan sebelum mencoba.
Rasulullah ﷺ pernah bersabda:
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah
daripada mukmin yang lemah, namun pada keduanya ada kebaikan.”
(HR. Muslim)
Orang hebat itu bukan yang menghindari masalah, tapi yang
mempersiapkan diri untuk menjemputnya. Ia tahu, hidup tak selalu mulus, tapi
juga tak selalu suram. Setiap keberhasilan disyukuri, setiap tantangan dihadapi
dengan lapang dada.
Keluh kesah ia tanggalkan, sebab ia tahu mengeluh hanya memperpanjang masalah
tanpa memperpendek ujian. Ia menggantinya dengan doa, usaha, dan semangat yang
penuh harap.
Karena bagi orang beriman, sebesar apa pun masalahnya, ia
selalu punya satu pegangan yang tak tergoyahkan:
“Hasbiyallahu la ilaha illa Huwa, ‘alaihi tawakkaltu, wa
Huwa Rabbul ‘Arsyil ‘Azhim.”
— “Cukuplah Allah menjadi penolongku. Hanya kepada-Nya aku bertawakal.”
(QS. At-Taubah: 129)
Bayangkan saja, keris yang indah tak pernah lahir dari
logam dingin yang dibiarkan begitu saja. Ia dibentuk dengan panasnya bara,
dipukul berulang-ulang oleh tangan pande besi, dan hanya setelah itu ia menjadi
senjata yang kuat dan menawan. Begitulah juga sang pemenang. Ia ditempa oleh
kesulitan, bukan dimanja oleh kenyamanan.
Sementara pecundang?
Ah, maaf, tapi kadang mereka seperti kerupuk yang kena angin atau tersiram air.
Tadinya renyah, tapi begitu kena sedikit ujian, langsung letoy. Ditinggal orang
dikit, sudah sedih. Gagal sekali, langsung menyerah. Akhirnya, kehidupan pun
mencampakkannya, karena dunia ini hanya memberi tempat bagi mereka yang mau
berjuang.
Namun jangan salah — menjadi pemenang bukan soal siapa yang
paling cepat atau paling kaya. Tapi siapa yang paling sabar dan paling
istiqamah. Siapa yang tetap berbuat baik ketika disakiti, tetap jujur ketika
bisa curang, tetap tersenyum ketika hatinya perih.
Pemenang sejati tahu bahwa setiap kesulitan adalah tiket
menuju kemuliaan.
Setiap luka adalah bagian dari proses penyembuhan jiwanya.
Dan setiap air mata yang jatuh diam-diam di malam hari, insyaAllah akan dibayar
tuntas oleh Allah di waktu yang paling indah.
Jadi, jangan tersinggung kalau ada yang menegurmu keras.
Bisa jadi, itu cara Allah menyadarkanmu agar tak lembek seperti kerupuk yang
kena hujan. Jadilah seperti baja — kuat, lentur, dan berguna.
Hidup ini bukan tentang siapa yang selalu menang, tapi
siapa yang tak berhenti berjuang.
Karena pada akhirnya, kemenangan sejati bukan soal hasil di dunia, tapi tentang
bagaimana hati kita tetap hidup dan yakin, bahkan di saat semuanya tampak
berat.
Maka, selalu milikilah energi dengan sinergi untuk
menyongsong keajaiban.
Sebab keajaiban itu bukan sesuatu yang datang tiba-tiba, tapi hadiah dari Allah
bagi mereka yang tak pernah berhenti percaya dan berusaha.
Dan kalau suatu hari kamu lelah, ingatlah — bahkan matahari
pun terbit setelah malam paling gelap