BAKBUKBAK DI TAMAN GUNUNGAN, kisah lama
Siang ini, suasana hatiku ringan
dan hangat. Rasanya seperti langit biru yang tanpa awan. Aku baru saja bertemu
dua sahabat lama—Bli Gede Kirtana Udaya dan Harris. Kami bertiga bersahabat sejak TK, dan
walau kini usia sudah jauh melangkah, tiap kali bertemu, rasanya seperti waktu
berhenti sebentar hanya untuk kami.
Harris kini tinggal jauh, di negeri Kangguru. Sudah bertahun-tahun ia merantau
ke sana bersama keluarga, meniti rezeki dan kehidupan baru. Tapi setiap kali
pulang ke tanah air, ia tak pernah lupa mampir menemuiku.
Siang ini, kami duduk di teras rumah, ditemani segelas es cokelat dingin yang
pelan-pelan mencair di tangan. Suasana cair, tawa pecah di sela-sela cerita
tentang hidup, keluarga, dan masa kecil. Lalu, entah siapa yang memulai,
obrolan tiba-tiba berbelok ke satu kenangan yang membuat kami tertawa
lepas—cerita legendaris masa SD yang sampai sekarang masih kami sebut dengan
bangga: Bakbukbak di Taman Gunungan.
Sore itu, entah karena rebutan bola di lapangan atau karena gorengan terakhir
di kantin, aku dan Harris—yang tubuhnya jauh lebih tinggi dan besar—mulai ribut
kecil. Ujung-ujungnya, tantangan pun meluncur tanpa pikir panjang.
“Kalau berani, nanti sore di Taman Gunungan!” katanya sambil nyengir.
“Siap! Jangan kabur ya!” jawabku lantang, meski dalam hati jujur agak menciut.
Taman Gunungan, waktu itu, adalah
tempat legendaris bagi anak-anak SD Ngurah Rai. Letaknya di belakang
sekolah—taman kecil dengan beberapa pohon rindang dan satu bukit buatan dari
tanah beraspal yang jadi tempat favorit untuk main petak umpet. Tapi sore itu,
taman itu berubah jadi “arena laga.”
Begitu bel pulang sekolah berbunyi,
berita tentang duel kami menyebar lebih cepat dari kabar ujian ditunda.
Anak-anak berlarian ke arah taman sambil berteriak, “Eh, Nucky lawan Harris di
Gunungan!” Ada yang nonton sambil bawa ciki, ada yang taruhan dengan kelereng.
Rasanya seperti pertandingan tinju kelas dunia versi anak SD.
Aku ingat betul, langkahku ke
taman terasa berat tapi mantap. Jantung berdetak cepat. Tapi ada sesuatu yang
membuatku tidak mau mundur—mungkin karena harga diri, mungkin karena rasa
penasaran. Dan di sana, Harris sudah menunggu, berdiri gagah seperti tiang
listrik di depan jamur kuping.
Lingkaran anak-anak terbentuk.
Semua bersorak. “Ayo, mulai!”
Dan… bak! buk! bak!
Pertarungan pun dimulai.
Tentu saja bukan pertarungan
sungguhan. Kami lebih banyak saling dorong, kadang nyubit, kadang teriak “awas
tuh tangan!” Tapi bagi kami saat itu, rasanya seperti duel pahlawan. Nafas
ngos-ngosan, baju berantakan, tapi nggak ada yang mau ngaku kalah.
Sampai akhirnya, entah siapa yang
mulai, tangan kami sama-sama terulur.
“Udah ya?” kata Harris dengan suara serak.
“Iya, damai,” jawabku sambil senyum.
Dan tiba-tiba seluruh anak
bersorak. Ada yang tepuk tangan, ada yang berteriak “hore!” dan ada juga yang
kecewa karena berharap bakal ada adegan dramatis. Tapi sore itu, Taman Gunungan
jadi saksi sesuatu yang lebih berharga daripada adu jotos: pelajaran tentang
keberanian dan kejujuran.
Keberanian bukan cuma soal siapa
yang paling kuat, tapi siapa yang berani menghadapi masalah tanpa lari, tanpa
dendam, dan berani mengulurkan tangan lebih dulu. Dari situlah persahabatanku
dengan Harris benar-benar dimulai.
Sejak hari itu, kami jadi lebih
dekat. Main bola bareng, jajan di kantin bareng, kadang satu sepeda berdua.
Lucunya, setiap kali lewat Taman Gunungan, kami selalu saling pandang dan
ngakak, seolah berkata tanpa kata, “Kita pernah gila di sini ya?”
Waktu terus berjalan. Kami
tumbuh, beranjak remaja, lalu dewasa. Ada yang merantau, ada yang menetap, tapi
cerita itu nggak pernah benar-benar hilang.
Setiap kali reuni, selalu ada yang nyeletuk, “Eh, inget nggak, Nucky bakbukbak
di Taman Gunungan?”
Dan kami semua akan tertawa sampai perut sakit—bukan karena lucunya perkelahian
itu, tapi karena di sanalah kami merasa hidup begitu sederhana.
Masa di mana marah bisa
disembuhkan dengan jabat tangan.
Masa di mana luka hati cukup diobati dengan sepotong gorengan.
Masa di mana persahabatan tumbuh bukan karena kepentingan, tapi karena
ketulusan.
Kini, duduk di depan rumah
bersama segelas es cokelat dan dua sahabat masa kecilku, aku menyadari satu
hal: hidup ternyata selalu memberi kita kesempatan untuk mengingat siapa kita
dulu—supaya kita tidak lupa bagaimana cara menjadi manusia yang sederhana dan
tulus.
Karena dari “bakbukbak” kecil di
Taman Gunungan itulah aku belajar arti keberanian.
Bahwa keberanian sejati bukan tentang menang atau kalah, tapi tentang berani
menghadapi konflik dengan hati terbuka, berani memaafkan, dan berani mencintai
lagi setelah sempat saling melukai.
Kadang, musuh terkuat kita justru
bisa jadi sahabat terbaik—asal kita cukup berani untuk berdamai.
Dan sore itu, di bawah pohon rindang Taman Gunungan, dua anak kecil bernama
Nucky dan Harris telah membuktikannya.