CERITA TENTANG ANAKKU – NAMIRA RABBANI KERTAPATI YANG MENGINJAK USIA 22 TAHUN















  UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
 






(Sebuah catatan cinta dari seorang ayah untuk putrinya yang beranjak dewasa)

 

Ada momen dalam hidup ketika segalanya terasa berhenti. Bukan karena hancur, tapi karena penuh.
Penuh haru.
Penuh rasa syukur.
Penuh cinta yang tak pernah kurasakan sebelumnya.

Itulah momen ketika aku menjadi seorang ayah.

Pagi itu, di kota Malang yang sejuk, di penghujung November 2003, angin bertiup lembut menyentuh dedaunan. Seolah alam pun tahu, ada sesuatu yang besar akan terjadi. Tanggal 28 November 2003 — hari yang akan selalu hidup dalam ingatanku. Hari lahirnya Namira Rabbani Kertapati, anakku. Sekaligus hari lahirku juga, bukan sebagai bayi, tapi sebagai manusia baru: seorang ayah.

Detik-detik itu…

Malam sebelumnya, suasana rumah sakit terasa tegang. Air ketuban Renny — istriku tercinta — pecah lebih awal dari perkiraan. Kami yang hanya berniat “kontrol rutin”, tiba-tiba harus menghadapi kenyataan bahwa waktu itu telah tiba.
Oom Tomo, kakak dari mama Renny yang juga dokter, berkata pelan tapi tegas,

“Kita harus segera operasi. Demi keselamatan ibu dan bayi.”

Jujur saja, aku tidak pernah merasa setegang itu dalam hidupku. Jantungku rasanya berdetak lebih cepat dari suara detak jarum jam di ruang tunggu. Aku menggenggam tangan Renny yang mulai dingin. Ia tersenyum, meski tubuhnya menggigil. Aku melihat keberanian di wajahnya — keberanian yang hanya dimiliki seorang ibu.

Dan di situ, aku merasa kecil. Tak berdaya. Tapi harus kuat.

Tangisan yang melahirkan segalanya

Pagi menjelang, sekitar pukul 10.30, suara itu terdengar.
Tangisan pertama Nara.
Tangisan suci yang membelah keheningan, lalu merobohkan seluruh benteng egoku sebagai laki-laki.

Tangisan itu seperti fajar yang menyapu gelap malam.
Aku menangis — bukan karena sedih, tapi karena rasa syukur yang tak bisa dijelaskan. Dengan suara tercekat, aku mengadzani anakku.
Azan itu bukan hanya panggilan kepada Tuhan, tapi juga panggilan untuk diriku sendiri:

“Hari ini, aku bukan lagi sekadar suami. Aku sudah jadi ayah.”

Dan sejak hari itu, suara tangisan Nara menjadi lagu paling indah dalam hidupku.

Sebuah nama, sebuah doa

Namira Rabbani Kertapati.
Nama itu kami pilih dengan penuh cinta dan makna.

  • Namira berarti sopan, elegan, dan berkelas — doa agar ia menjunjung akhlak.
  • Rabbani berarti berilmu dan beramal saleh — doa agar hidupnya membawa manfaat.
  • Kertapati adalah nama keluarga kami — identitas, sejarah, dan kebanggaan.

Kami memanggilnya Nara singkatan dari NAmira RAbbani — lembut, tapi bermakna dalam.
Dalam bahasa Sanskerta, Nara berarti manusia; makhluk berpikir dan berkesadaran. Dalam bahasa Jepang, Nara adalah kota tenang penuh sejarah. Dan bagi kami, Nara adalah simbol kehidupan baru — manusia kecil pembawa harapan besar.

Tahun-tahun pertama

Nara tumbuh jadi gadis kecil yang cerdas. TK pertamanya di Istana Balita Yayasan Cheng Ho Surabaya — sekolah Muslim yang dikelola oleh PITI etnis Tionghoa Muslim. Dari sana, ia belajar tiga bahasa sekaligus: Mandarin, Inggris, dan Indonesia. Kadang lidahnya belepotan campur aduk, tapi ekspresinya lucu sekali. Ia sering tampil di panggung-panggung kecil, dari tarian sampai lomba baca doa.

Ketika kami pindah ke Bali, Nara pun ikut pindah sekolah TK. Hidupnya kembali diwarnai budaya baru.
Sekarang teman-temannya banyak dari etnis Bali.
Dan aku bangga — di wajahnya tumbuh warna Indonesia sejati: keberagaman yang damai.

Luka yang membentuk ketangguhan

Namun, hidup tidak selalu tentang tawa.
Saat Nara kelas 4 SD, ia kehilangan kasih sayang sejatinya. Mamanya wafat.
Di usia sekecil itu, dunia tiba-tiba berubah sunyi. Tapi dari situ, aku melihat hal luar biasa — gadis kecilku tumbuh tangguh dan mandiri.

Ia tinggal bersama Eyang Kakung dan Eyang Putri, yang mencurahkan kasih sayang tanpa batas. Walau begitu, kelakuannya kadang bikin mereka geleng-geleng kepala.
Pernah suatu kali, Nara iseng menyetting HP Eyang Kakung sampai menunya berubah semua jadi huruf kecil, ringtone-nya musik dangdut, dan wallpaper-nya foto kucing pakai topi Santa.
Eyang marah? Tentu. Tapi di balik itu, aku tahu… ia hanya ingin menunjukkan kecerdasannya. Dan sedikit usilnya. Hahaha.

 Masa remaja: Tumbuh dan mencari jati diri

Masuk SMP hingga SMA, Nara semakin aktif. Ia ikut kursus renang, ikut lomba antar sekolah, dan beberapa kali menang. Tapi yang paling membuatku kagum adalah semangatnya. Ia tidak pernah setengah-setengah kalau sudah suka sesuatu.

Di SMA, ia mulai jatuh cinta pada dunia fotografi. Suatu hari ia bilang,

“Yah, aku mau punya kamera DSLR profesional.”
Aku jawab santai, “Ya, nabung dulu, dong.”
Dan hebatnya, dia benar-benar menabung. Sampai akhirnya bisa beli Sony Alpha Series dari hasil usahanya sendiri.

Aku tertegun. Anak ini bukan cuma pintar, tapi juga punya daya juang.

Selain itu, Nara mulai berjualan online. Barang-barang kecil, tapi ia lakukan sendiri: foto produk, kirim paket, hitung laba. Aku cuma bisa geleng kepala — wah, darah dagang ibunya muncul juga nih.

Terkadang aku merenung panjang di malam hari, sambil melihat foto-foto lamanya—dari bayi merah, bocah TK yang suka nari sambil lupa gerakan, sampai gadis SMA yang menatap lensa kameranya dengan mata penuh semangat.
Dan setiap kali kulihat senyum itu, aku tahu… semua perjuangan, kehilangan, dan air mata selama ini tak pernah sia-sia.

Anak ini tumbuh bukan hanya menjadi kebanggaanku, tapi juga guru kehidupanku.
Dari Nara, aku belajar apa itu arti sabar.
Dari Nara, aku belajar apa itu makna ikhlas.
Dan dari Nara, aku belajar bahwa cinta sejati bukan soal memiliki, tapi soal memberi dan mendoakan, bahkan ketika tangan sudah tak bisa lagi menggenggam.

Persimpangan pilihan

Saat memilih jurusan di SMA, Nara sempat membuatku bingung.
Tradisi keluarga kami itu eksakta garis keras — Fisika, Teknik, Radio, pokoknya yang bikin kepala berasap. Aku, adikku, sampai Eyang Kakung semuanya dari jurusan IPA.

Eh, tiba-tiba Nara bilang,

“Yah, aku mau ambil jurusan IPS.”

Aku sempat heran, tapi juga penasaran.
Lalu aku bilang pelan, “Ambil jurusan yang kamu yakini, tapi tanggung jawab, ya, atas pilihanmu.”
Dan dia menjawab mantap,

“Siap, Ayah.”

Ternyata pilihannya tepat.
Menjelang akhir SMA, Nara membuktikan tanggung jawabnya. Ia diterima jalur undangan di Universitas Airlangga (UNAIR), tanpa tes.
Aku bangga luar biasa.

“Ayah bangga, Nak. Kamu menembus tembok yang dulu bahkan ayah dan almarhum mamamu tidak bisa.”

Hidup mandiri di Surabaya

Kuliah di Surabaya bukan hal mudah. Ia kos di daerah Tambaksari — kamar kecil tanpa AC, di kota yang panasnya bisa bikin es teh berubah jadi teh anget dalam 5 menit. Tapi ia tetap semangat. Setiap hari naik motor 3–4 km ke kampus, belajar, mengatur waktu, dan mengurus diri sendiri.

Setiap kali kami berbicara lewat telepon, aku bisa mendengar semangat hidupnya memancar dari nada suaranya.
Kadang ia bercerita tentang tugas kuliah, tentang teman-teman kosnya yang suka rebutan kamar mandi pagi-pagi, atau tentang dosennya yang “killer tapi lucu kalau lagi salah ngomong grammar”.
Aku hanya tertawa mendengarnya, tapi di sisi lain, hati kecilku sering berkata,
“Ya Allah, betapa cepat waktu berjalan. Dulu aku yang menuntunnya jalan. Sekarang dia yang menuntun dirinya sendiri.”

Suatu hari, ia berkata,

“Yah, aku kangen Mama. Aku mau nyekar ke Mojokerto, naik motor berdua sama temanku.”

Aku sempat kaget. Tapi melihat ketulusan dan tekadnya, aku mengangguk.
“Pergilah, Nak. Tapi hati-hati.”
Perjalanan ziarah itu mungkin sederhana, tapi bagiku itu salah satu tanda kedewasaan paling indah.

Kini…

Waktu benar-benar punya cara lucu dalam bekerja.
Tiba-tiba saja, bocah mungil yang dulu kubopong dengan canggung di ruang bersalin itu kini sudah berdiri tegak—berani, mandiri, dan penuh ide-ide besar tentang dunia.

Aku masih ingat, dulu setiap kali Nara jatuh, ia akan menatapku dengan mata berkaca-kaca, menahan tangis sambil berkata, “Aku kuat kok, Yah.”
Dan sekarang, kalimat itu seperti doa yang hidup. Ia benar-benar tumbuh menjadi perempuan kuat yang tidak mudah menyerah pada apa pun.

Menginjak usia 22 tahun, Nara sudah hampir menuntaskan kuliahnya.
KKN di Banyuwangi, proposal skripsi selesai, dan kini bersiap menyongsong babak baru.

November ini — bulan kelahirannya, bulan yang penuh kenangan — aku menulis ini dengan hati yang basah oleh rasa syukur.

“Barakallah fii umrik, anakku sayang, NAMIRA RABBANI KERTAPATI.”

Ayah, almarhum Mama, Eyang Kakung, Eyang Putri, dan adikmu Dayana… semuanya bangga padamu.

Doa kami sederhana tapi tulus:
Semoga Allah selalu menjaga langkahmu, melapangkan rezekimu, menuntun hatimu dalam cahaya-Nya.
Jika nanti hidup membawamu pada kesedihan, semoga kau tetap kuat.
Jika jalan terasa sulit, semoga kau tidak lupa — Ayahmu selalu berdoa dari jauh.

Selamat ulang tahun, Kak Namira.
Teruslah menjadi manusia sejati — Nara — yang berpikir, berperasaan, dan membawa damai bagi dunia kecilmu.

CAIYOOOO, NAK.
Dari ayahmu, yang belajar menjadi dewasa bersamamu. ❤️

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN