ME-MANAGE AMBISI
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kadang hidup itu kayak mobil sport: mesinnya kencang,
suaranya menggelegar, bikin semangat pengin ngebut. Tapi ya… kalau nggak tahu
kapan harus ngerem, bisa nabrak juga. Begitu pula dengan ambisi.
Ambisi itu penting, Bro.
Dia bahan bakar buat maju. Tapi kalau dibiarkan tanpa arah, bisa berubah jadi
api yang membakar, bukan menghangatkan.
Dan lucunya, kadang kita sendiri yang nyiram bensin ke apinya, sambil bilang,
“Pokoknya aku harus ini! Harus itu! Harus sukses, harus kaya, harus di atas!”
Eh, lupa nanya dulu sama diri sendiri: “Emang kuat, Ki?”
Banyak dari kita yang semangat banget di awal, tapi lupa
ngukur kemampuan. Maunya jadi yang tercepat, tapi nggak siap kalau harus
ngos-ngosan di tengah jalan.
Kadang malah jadi ngelakuin segala cara, yang penting sampai. Padahal, kalau
kita “sampai” tapi kehilangan arah, kehilangan teman, bahkan kehilangan diri
sendiri… itu bukan kemenangan, tapi kehilangan yang disamarkan.
Aku pernah ada di fase itu.
Fase di mana ambisiku meledak-ledak. Tiap bangun pagi rasanya kayak pengen
sprint ke depan. Targetnya tinggi banget: pokoknya harus jadi nomor satu!
Tapi seiring waktu berjalan, aku sadar — jadi nomor satu itu nggak selalu
berarti menginjak yang lain. Kadang justru lebih mulia kalau kita bisa jalan
bareng, bantu yang lain juga sampai.
Dan nggak apa-apa kok kalau kita jalannya pelan. Asal sampai dengan selamat dan
tenang. Karena percuma ngebut kalau ujung-ujungnya malah remuk di tikungan.
Mengelola ambisi itu kayak menata api di tungku.
Kalau apinya kecil, masakan nggak matang. Tapi kalau apinya kebesaran, malah
gosong. Nah, hidup juga gitu. Kalau ambisi nggak ada, kita jadi malas dan
kehilangan arah. Tapi kalau kebanyakan, bisa bikin kita stres dan kehilangan
makna.
Jadi gimana caranya biar api itu pas?
Ya, kita harus me-manage ambisi.
Biar tetap panas tapi nggak membakar.
Pertama, kenali dulu ambisimu buat apa dan untuk siapa.
Kalau cuma buat pembuktian, gengsi, atau sekadar pengakuan, biasanya cepat
habis dan bikin capek hati. Tapi kalau ambisimu untuk memberi manfaat, untuk
menebar kebaikan, untuk bikin hidup orang lain juga ikut bahagia — nah, itu
baru energi yang sehat.
Kedua, bikin jeda.
Ambisi tanpa jeda itu kayak lari maraton tanpa napas — ujungnya bukan podium,
tapi ambruk kehabisan tenaga. Kadang kita perlu berhenti sejenak, bukan buat
menyerah, tapi buat menata napas. Nikmatilah perjalanan. Karena proses
itulah yang bikin hasil punya rasa.
Ketiga, belajar ikhlas.
Yang ini bagian paling susah. Karena mengelola ambisi bukan berarti mematikan
mimpi, tapi menata hati. Kalau belum tercapai, bukan berarti gagal — mungkin
cuma belum waktunya. Allah punya cara dan waktu terbaik untuk menuntun langkah
kita.
Jadi, kalau hari ini kamu lagi semangat banget mengejar
sesuatu, bagus! Pertahankan. Tapi jangan lupa: atur kecepatannya, jaga
napasnya, rawat niatnya.
Ambisi itu seperti kuda liar — kalau kamu bisa kendalikan, dia akan membawa
kamu jauh. Tapi kalau kamu lepas kendali, dia bisa menyeretmu entah ke mana.
Sejatinya, pemenang sejati bukan yang paling cepat sampai,
tapi yang bisa tetap waras, bahagia, dan bermanfaat di setiap
langkahnya.
Karena hidup bukan soal siapa yang pertama sampai di garis akhir, tapi siapa
yang tetap punya hati di sepanjang perjalanan.
Jadi, atur napasmu.
Konsistenlah, tapi jangan memaksa.
Fokuslah, tapi jangan lupa istirahat.
Dan teruslah berjalan dengan niat yang lurus.
Karena pada akhirnya, me-manage ambisi bukan soal
memperlambat langkah, tapi tentang memastikan kita tidak kehilangan arah.