KETIKA JEMPOL JADI HAKIM: CERITA TENTANG CANCEL CULTURE DAN KEMANUSIAAN DI ERA DIGITAL
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Malam itu, angin Bali berhembus lembut lewat jendela ruang tamu. Di luar, suara jangkrik seperti sedang berdiskusi dengan semilir pohon kamboja di halaman. Aku baru saja menyalakan lampu meja ketika telepon dari Surabaya masuk — suara Namira, anakku, terdengar riang di seberang sana.
“Yah, aku lagi ngerjain bab tiga nih, tapi kepikiran buat diskusi
sama Ayah. Pernah dengar cancel culture nggak?” tanyanya dengan nada
penasaran.
Aku sempat diam sebentar, mencoba menebak-nebak. “Cancel culture?
Hmm… itu kayak kalau Ayah mau pesan sate kambing tapi tiba-tiba batal karena
ingat kolesterol?” tanyaku polos.
Namira langsung tertawa lepas. “Bukan, Yah! Ini bukan soal sate
atau kolesterol. Ini tentang dunia digital.”
Obrolan itu berlanjut hampir satu jam. Tapi jujur saja… setelah
ditutup, aku tetap gagal paham. Aku bengong, menatap ponsel yang mulai redup.
“Cancel culture… jempol jadi hakim?” gumamku. Lalu aku buka laptop, mulai
mencari tahu, dan perlahan-lahan… aku paham. Paham mengapa topik itu begitu
serius — dan begitu manusiawi sekaligus menakutkan.
Ternyata cancel culture itu semacam “pengadilan sosial
digital.”
Fenomena di mana seseorang dikucilkan, diboikot, atau dihujat massal karena
dianggap berbuat salah — kadang memang benar salah, tapi kadang juga cuma salah
paham.
Lucunya, ini bukan lewat ruang sidang, tapi lewat jempol-jempol
manusia yang sedang marah.
Di zaman dulu, kalau seseorang ngomong yang nggak pantas, paling-paling
dimarahi guru, ditegur tetangga, atau disindir halus di warung kopi. Sekarang?
Satu komentar salah di dunia maya bisa bikin hidup ambyar: karier hancur,
reputasi rusak, dan rasa percaya diri ikut raib entah ke mana.
Itulah era digital — dunia di mana kesalahan kecil bisa jadi
headline besar, dan kebenaran sering datang terlambat, kalah cepat dari trending
topic.
Awalnya tampak sederhana: ada artis atau influencer yang
keceplosan ngomong sesuatu yang dianggap menyinggung.
Lalu seseorang screenshot, disebar, dan... boom!
Dalam hitungan jam, media sosial mendidih.
Judul berita pun bermunculan: “Netizen Murka! Figur Publik Diboikot karena
Komentar Tak Pantas!”
Ribuan orang ikut bereaksi.
Ada yang memang peduli moral, ada yang ingin terlihat peduli, dan ada juga yang
ikut-ikutan biar nggak ketinggalan drama online. Semua merasa sedang
berjuang demi kebaikan. Padahal sebagian hanya sedang melempar batu sambil
sembunyi tangan — atau sembunyi di balik nama akun palsu.
Kalau dipikir-pikir, cancel culture ini lahir dari niat
baik: menjaga nilai, menegakkan tanggung jawab sosial, dan melawan perilaku
yang dianggap salah. Tapi di tangan manusia yang terburu-buru, niat baik itu
sering berubah jadi amuk massa digital.
Kalau dulu masyarakat menegur dengan cara santun — lewat nasihat,
musyawarah, atau pertemuan warga — sekarang teguran datang dalam bentuk meme
sarkas, comment war, dan tagar yang menyayat hati.
Teknologi membuat kita cepat bereaksi, tapi sering lupa berhenti untuk
berpikir.
Dalam Al-Qur’an, Allah berfirman:
“Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan
takwa, dan jangan tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.”
(QS. Al-Ma’idah: 2)
Ayat ini sederhana tapi luar biasa relevan.
Ia mengingatkan bahwa kebaikan bukan diukur dari seberapa keras kita menegur,
tapi seberapa lembut niat kita memperbaiki.
Aku sempat membaca satu kasus: seorang artis muda dihujat
habis-habisan karena komentarnya di TikTok tentang aktor K-Drama favorit
netizen. Padahal komentarnya cuma bercanda ringan — tanpa niat buruk. Tapi
karena videonya disebar tanpa konteks, dunia maya pun meledak.
Ia dituduh sombong, tidak sopan, bahkan ada yang mendoakan hal-hal buruk.
Aku cuma bisa geleng-geleng kepala. “Ya Allah… kalau semua orang
diadili karena keceplosan ngomong, mungkin separuh penduduk dunia ini sudah di-cancel.”
Karena jujur saja, siapa sih yang nggak pernah salah ngomong? Bedanya, ucapan
kita nggak direkam dan disebar ke jutaan orang.
Dari situ aku sadar: mungkin cancel culture itu wajah baru
dari kontrol sosial, tapi tanpa hati.
Kalau dulu ada “menegur dengan kasih,” sekarang yang ada “menghukum demi
eksposur.”
Manusia berlomba menunjukkan moralitas, tapi lupa menunjukkan kemanusiaan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Barang siapa menutupi aib seorang Muslim, maka Allah akan
menutupi aibnya di dunia dan akhirat.”
(HR. Muslim)
Hadis ini seperti oase di tengah panasnya dunia digital.
Menutupi bukan berarti membenarkan, tapi memberi ruang bagi seseorang untuk
memperbaiki.
Menegur boleh — bahkan wajib — tapi dengan niat membantu.
Bukan demi likes, bukan demi views, bukan demi sensasi, tapi
karena ingin melihat orang lain tumbuh jadi lebih baik.
Bayangkan kalau kita semua berpegang pada prinsip itu.
Dunia maya mungkin tetap bising, tapi tak lagi kejam.
Kita bisa mengingatkan tanpa menghancurkan.
Kita bisa peduli tanpa menyakiti.
Dari hasil penelitian yang sempat aku baca, fenomena cancel
culture di Indonesia memang baru berkembang pesat beberapa tahun terakhir.
Tapi dampaknya luar biasa besar. Selebritas sering jadi korban, tapi siapa pun
bisa kena: teman, tetangga, bahkan diri kita sendiri.
Satu status salah tulis, satu video tanpa konteks, satu tweet
di masa lalu — dan hidup bisa berbalik arah.
Aku membayangkan, seandainya suatu hari aku sendiri salah ngomong di dunia
maya, apa yang akan terjadi?
Mungkin aku akan mencoba menjelaskan, tapi komentar netizen lebih cepat dari
klarifikasi.
Dan mungkin saat itu baru aku benar-benar sadar: empati adalah barang langka di
dunia yang terlalu cepat menilai.
Sama seperti lidah, jempol pun punya kuasa. Ia bisa menyebarkan
kasih, tapi juga bisa menebar luka.
Sejak hari itu, aku jadi lebih berhati-hati sebelum mengetik
komentar atau menekan tombol share.
Aku belajar menunda reaksi, menimbang perasaan, dan mengingat bahwa di balik
setiap akun, ada manusia — dengan hati, dengan luka, dengan cerita yang belum
tentu kita tahu.
Dan mungkin… itulah pelajaran terbesar dari era digital ini:
Bahwa sekalipun dunia kini tanpa batas, hati manusia tetap punya ruang yang
harus dijaga.
Jempol boleh cepat, tapi nurani harus lebih dulu berjalan.
Karena di tengah hiruk-pikuk cancel culture, semoga kita
tidak lupa satu hal —
menjadi manusia.
Manusia yang tahu bedanya antara menegur untuk memperbaiki…
dan menghancurkan dengan dalih peduli.
To Anakku Namira, selamat berjuang ya, semoga pandangan ringan ini bisa memperkaya Skripsimu, Caai yooo Semangat