MENGAPA MUSLIM HARUS MENGAJI?
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
(Sebuah Renungan tentang Bahasa, Jiwa, dan Makna)
Kadang kita lupa, bahwa mengaji bukan cuma soal ritual. Bukan sekadar duduk bersila di atas sajadah, membuka mushaf, lalu melantunkan ayat-ayat dengan suara lirih di antara dengung kipas angin masjid yang berdecit lembut. Tidak. Mengaji, kalau kita mau jujur, jauh lebih dalam dari itu. Ia adalah perjalanan menjaga makna, rasa, dan jiwa dari sebuah bahasa yang suci—bahasa yang dengannya Allah berbicara kepada manusia.
Saya mulai benar-benar menyadari hal itu ketika belajar tahsin, memperbaiki bacaan Al-Qur’an. Di situlah saya baru paham betapa rumit tapi indahnya bahasa Arab. Panjang-pendek satu huruf saja bisa mengubah arti seluruh ayat. Kadang, saya salah baca satu harakat, dan ustadz Suhadi—guru ngaji saya yang sabar luar biasa—hanya tersenyum sambil berkata pelan,
“Hati-hati, Pak… yang Bapak baca tadi bukan rahmat, tapi malah laknat.”
Kami tertawa, tapi di balik tawa itu, saya merasa seperti disentil halus oleh langit. Satu getaran suara bisa mengubah makna. Satu kesalahan kecil bisa menyesatkan pesan yang Ilahi. Tapi anehnya, justru di situlah saya menemukan kebesaran Allah: bahwa Ia menilai dari hati, bukan dari bunyi. Meskipun lidah saya sering bergetar salah, Allah tahu bahwa hati saya sedang berusaha untuk mendekat.
Nabi ﷺ pernah bersabda dalam sebuah hadits riwayat Bukhari:
“Orang yang membaca Al-Qur’an dengan terbata-bata dan kesulitan, maka ia mendapat dua pahala: satu karena bacaannya, dan satu lagi karena usahanya.”
Kalimat itu seperti menenangkan seluruh kegugupan saya. Bahwa meski bacaan saya belum fasih, Allah tetap menghitung perjuangan kecil saya sebagai cinta yang besar. Karena sesungguhnya, mengaji bukanlah lomba lisan, tapi perjalanan jiwa.
Kalau kita lihat dari sisi kemanusiaan dan linguistik, bahasa Arab—tempat Al-Qur’an diturunkan—bukan sekadar alat komunikasi. Ia adalah wadah makna yang hidup. Setiap huruf membawa rasa, sejarah, bahkan roh peradaban. Satu kata bisa punya banyak arti, tergantung harakat dan konteksnya. Maka, ketika kita membaca Al-Qur’an, sebenarnya kita sedang menyentuh bunyi yang sama seperti yang dahulu keluar dari bibir Rasulullah ﷺ. Kita sedang menghidupkan kembali suara wahyu yang pernah mengguncang padang pasir Arabia lebih dari 1400 tahun lalu.
Bukankah Allah berfirman dalam Al-Qur’an:
“Dan bacalah Al-Qur’an itu dengan tartil.”
(QS. Al-Muzzammil: 4)
Ayat itu sederhana tapi dalam. Allah tidak hanya memerintahkan kita membaca, tapi membaca dengan tartil—pelan, penuh makna, dan berjiwa. Karena dalam setiap huruf yang kita lafalkan, ada pancaran cahaya, ada vibrasi yang menenangkan jiwa.
Saya sering berpikir, bagaimana jika Al-Qur’an diterjemahkan bebas tanpa kita menjaga bacaan aslinya? Dalam seratus tahun saja, mungkin maknanya sudah bercabang jadi ribuan versi. Itulah kenapa mengaji bukan hanya ibadah, tapi bentuk preservasi spiritual. Usaha manusia menjaga keaslian wahyu dari gangguan waktu dan tafsir yang terlalu liar.
Kalau kita menengok pada kehidupan sehari-hari, kita bisa lihat betapa bahasa punya kekuatan yang luar biasa. Setiap bahasa membawa budaya dan cara pandang dunia. Orang Eskimo, misalnya, punya belasan kata untuk “salju.” Kenapa? Karena salju bagi mereka bukan sekadar benda putih dingin—itu bagian hidup. Sama halnya dengan bahasa daerah kita. Coba dengar logat Jawa, Makassar, dan Betawi. Sama-sama bilang “tidak apa-apa”, tapi rasanya berbeda. Ada yang lembut, ada yang tegas, ada yang lucu.
Lucunya lagi, ada kata yang maknanya berubah karena sejarah dan konteks. Misalnya kata “Jancuk”. Dulu katanya berasal dari seruan “Jan Cox!” — nama seorang pelukis Belanda yang tertulis di tank musuh. Dari “Jan Cox” lama-lama berubah jadi “Jancok”, lalu “Jancuk”. Dari tanda bahaya berubah jadi kata makian khas Surabaya. Aneh ya, tapi begitulah bahasa. Ia hidup, berubah, berevolusi.
Dari situ saya belajar: tidak semua kata bisa diterjemahkan dengan sempurna. Ada rasa, ada jiwa yang tak bisa dipindahkan begitu saja. Dalam ilmu linguistik, itu disebut untranslatability. Dan karena itu, mengaji bukan cuma membaca, tapi memeluk makna dalam bentuk aslinya. Kita tidak sekadar melafalkan, tapi sedang berdialog dengan bunyi-bunyi surgawi.
Bahkan secara ilmiah, banyak penelitian menunjukkan bacaan Al-Qur’an bisa menurunkan stres, menstabilkan detak jantung, dan menenangkan gelombang otak. Subhanallah, artinya, mengaji bukan hanya ibadah, tapi juga terapi jiwa paling kuno yang pernah dikenal manusia. Suara ayat suci yang bergetar di udara, memantul di dinding masjid, dan menyelinap ke hati kita—itulah obat yang tidak bisa dijual di apotek mana pun.
Kadang, kalau saya duduk di pojok masjid sehabis maghrib, membaca pelan ayat demi ayat, saya merasa seolah sedang berbicara dengan Allah. Suara saya bergetar kecil, udara ikut bergetar, bahkan daun-daun di halaman masjid seperti ikut menunduk. Mungkin memang benar, semesta sedang ikut mendengarkan. Ada percakapan halus antara jiwa manusia dan Penciptanya yang tidak perlu diterjemahkan dalam kata.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Al-Qur’an dan mengajarkannya.”
(HR. Bukhari)
Hadits ini bukan hanya tentang ilmu, tapi tentang cinta. Karena siapa pun yang mau belajar Al-Qur’an berarti sedang jatuh cinta pada sumber cahaya. Ia sedang berusaha menjaga hubungan antara kata dan makna, antara bunyi dan jiwa.
Mengaji, pada akhirnya, bukan hanya soal pahala. Ia soal cinta.
Cinta pada bahasa wahyu.
Cinta pada keindahan bunyinya.
Cinta pada ketenangan yang hadir tanpa harus diminta.
Dan mungkin, di saat kita membuka mushaf dan mulai membaca, kita sebenarnya tidak hanya sedang membaca ayat. Kita sedang menenun kembali hubungan antara hati dan makna yang pernah nyaris hilang. Kita sedang mendengarkan suara Tuhan, dan di saat yang sama, membiarkan hati kita menjawab dalam diam.
Bukankah itu esensi dari semua ibadah?
Dialog sunyi antara manusia dan Tuhannya—dalam bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh jiwa yang tenang
Dan di situlah letak keajaiban yang sering kita lupakan — bahwa setiap huruf yang kita lantunkan dari Al-Qur’an bukan sekadar bunyi, tapi cahaya. Rasulullah ﷺ bersabda,
“Barang siapa membaca satu huruf dari Kitab Allah, maka baginya satu kebaikan. Dan satu kebaikan dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan Alif Lam Mim satu huruf, tetapi Alif satu huruf, Lam satu huruf, dan Mim satu huruf.”
(HR. Tirmidzi)
Bayangkan... satu huruf saja dari Al-Qur’an bernilai sepuluh kebaikan. Kalau kita mengaji satu halaman saja dengan hati yang hadir, berapa banyak kebaikan yang sedang mengalir tanpa kita sadari? Tapi bukan itu saja—setiap huruf yang keluar dari lisan kita sebenarnya juga sedang membersihkan hati, seperti tetesan air wudhu yang membasuh dosa kecil tanpa kita hitung.
Saya pernah mendengar seorang guru berkata dengan lembut,
“Mengaji itu seperti menyiram taman di hati. Kalau kau terus siram, bunga makna akan tumbuh, tapi kalau dibiarkan kering, rumput ego dan lalang dunia akan mengambil alih.”
Dan memang benar. Kadang, ketika saya membaca Al-Qur’an di malam yang sepi, tanpa musik, tanpa distraksi, hanya ada suara jangkrik dan detak jam dinding, ada rasa yang sulit dijelaskan. Seolah ayat-ayat itu tidak hanya dibaca, tapi juga membaca balik diri saya. Ia membuka kenangan, menenangkan resah, menegur dengan lembut, dan kadang membuat mata basah tanpa tahu kenapa.
Rasanya seperti Allah sedang berbicara langsung melalui kata-kata yang begitu indah, padat, tapi menembus hati. Sebagaimana firman-Nya:
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang apabila disebut nama Allah, gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya, bertambahlah iman mereka (karena itu), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakal.”
(QS. Al-Anfal: 2)
Ayat ini mengingatkan bahwa mengaji bukan cuma soal bacaan, tapi soal getaran hati. Kalau hati bergetar, berarti masih hidup. Kalau tidak... mungkin kita sedang butuh “disentuh” kembali oleh makna-makna suci itu.
Kadang lucu juga kalau dipikir—kita bisa hafal lirik lagu-lagu cinta dari 90-an sampai K-pop terbaru, tapi saat disuruh hafal surat pendek, malah tiba-tiba ingat urusan cucian di rumah. 😅
Namun di balik kelucuan itu, ada cermin: apa yang sering kita ulang, itulah yang paling melekat di hati. Maka kalau Al-Qur’an jarang kita baca, bagaimana mungkin maknanya bisa hidup dalam keseharian kita?
Rasulullah ﷺ juga pernah bersabda,
“Perumpamaan orang yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkannya adalah seperti buah utrujjah; rasanya enak dan baunya harum. Dan perumpamaan orang mukmin yang tidak membaca Al-Qur’an seperti buah kurma; rasanya manis tapi tidak berbau harum.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Artinya, membaca Al-Qur’an bukan hanya mengubah diri dari dalam, tapi juga memancarkan keharuman spiritual yang bisa dirasakan orang lain. Orang yang rajin mengaji biasanya wajahnya lebih teduh, tutur katanya lebih halus, dan hatinya lebih lapang. Karena getaran ayat-ayat itu, pelan tapi pasti, membentuk karakter.
Dan kalau kita renungkan lebih jauh lagi, mengaji juga mengajarkan kesabaran. Bayangkan saja: kita harus belajar makhraj huruf, tajwid, panjang pendek harakat, dan itu semua tidak bisa instan. Sama seperti hidup. Kita belajar dari kesalahan, kita ulangi, kita perbaiki, kita tumbuh. Setiap kali salah baca, ustadz kita menegur dengan senyum, dan kita belajar untuk tidak menyerah. Bukankah begitu juga Allah mendidik kita lewat kehidupan sehari-hari?
Mengaji juga menumbuhkan rendah hati. Karena semakin banyak kita membaca, semakin kita sadar betapa sedikitnya kita tahu. Betapa luasnya hikmah Allah yang tersimpan dalam kalimat yang tampak sederhana. Seperti kalimat “Bismillahirrahmanirrahim” — kalau direnungkan, di situ ada kasih, cinta, dan ampunan yang tiada batas. Itu sebabnya setiap perbuatan baik disarankan dimulai dengan basmalah, agar kita selalu sadar bahwa segalanya berasal dari dan kembali kepada kasih sayang-Nya.
Dan mungkin, di antara semua alasan yang paling manusiawi mengapa kita harus mengaji adalah ini: karena manusia mudah lupa.
Al-Qur’an adalah pengingat yang lembut tapi tegas. Ia mengingatkan kita saat sombong, menenangkan saat gelisah, dan memeluk saat merasa sendiri.
Seorang sahabat Nabi pernah berkata,
“Jika kamu ingin berbicara dengan Allah, berdoalah. Tapi jika kamu ingin Allah berbicara denganmu, bacalah Al-Qur’an.”
Jadi, mengaji itu bukan tugas, tapi kesempatan—kesempatan untuk mendengar langsung pesan cinta dari Pencipta. Kadang hanya lewat satu ayat saja, Allah bisa menenangkan hati yang sudah lama remuk. Kadang lewat satu huruf, Allah bisa menumbuhkan harapan yang sempat hilang.
Maka, kalau suatu hari kamu merasa hidupmu penuh beban, cobalah buka mushaf. Bacalah perlahan. Tak perlu khawatir salah, tak perlu takut lupa. Karena setiap getar suara yang keluar dari hatimu adalah doa yang sedang naik ke langit.
Dan siapa tahu, di antara lantunan ayat itu, ada satu momen kecil—di mana Tuhan tersenyum, dan berkata lembut dalam hati kita:
“Aku mendengar, Aku tahu, dan Aku dekat.”
Itulah mengapa Muslim harus mengaji.
Bukan hanya karena kewajiban, tapi karena di balik setiap huruf yang kita baca, ada jalan pulang menuju ketenangan.
Sebuah perjalanan kembali kepada-Nya — lewat bahasa, jiwa, dan makna.