NOTHING’S GONNA STOP US NOW – PETUALANGAN PERTAMA MASA SMP DARI JAKARTA HINGGA MIMPI YANG KAMI BANGUN
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
(Sebuah kenangan yang tumbuh bersama mimpi dan tawa anak-anak Pulau Dewata di Ibukota)
Aku masih ingat betul malam itu—radio butut di pojok kamar kos yang cat temboknya mulai mengelupas, memutar lagu lawas yang seolah datang dari masa lalu tapi terasa begitu nyata:
“Lookin’ in your eyes I see a paradise...”
Entah kenapa, lagu itu selalu punya cara membuatku diam lama.
Mungkin karena di setiap baitnya, aku melihat bayangan wajahmu.
Ya, kamu—yang dulu hadir bukan dengan janji mewah, tapi dengan tawa sederhana
dan segelas kopi sachet di bawah hujan rintik.
Kita dulu bukan siapa-siapa. Dua anak muda yang mencoba bertahan
hidup di kota besar, dengan dompet yang sering lebih tipis dari tisu di warung.
Tapi entah kenapa, setiap kali aku melihatmu, dunia seolah berhenti sebentar.
Semua hiruk-pikuk, semua kekhawatiran, semua “bagaimana nanti” itu… lenyap.
Mungkin begini rasanya menemukan surga kecil di tengah dunia yang
sering tak ramah.
Sebuah kenangan yang tumbuh bersama mimpi dan tawa anak-anak Pulau Dewata di
ibu kota.
Buat sebagian orang, itu cuma study tour biasa. Tapi buatku, itu
semacam gerbang kehidupan—pertama kali meninggalkan rumah, pertama kali
melihat dunia yang lebih besar, dan pertama kali belajar tentang arti
keberanian.
Semua berawal ketika sekolah mengumumkan study tour ke Jakarta.
Bayangkan: ratusan anak dari Bali dengan seragam olahraga, koper lusuh, sandal
jepit, dan semangat membara, berangkat bersama menuju kota yang selama ini cuma
kami lihat di TVRI. Kalau dipikir sekarang, itu bukan rombongan, tapi ekspedisi
“anak kampung menaklukkan Jakarta.”
Kami berangkat naik kereta ekonomi—tanpa AC, tanpa tempat duduk
empuk. Tapi penuh tawa, nyanyian, dan aroma bekal nasi bungkus dari berbagai
rumah. Ada yang main kartu, ada yang nyanyi sampai serak, ada yang iseng
melempar kacang ke gerbong sebelah (dan langsung pura-pura tidur).
Tapi tak ada yang marah. Karena semua sedang bahagia.
Buat kami, suara gemuruh rel itu seperti irama petualangan. Kami
tahu, ini bukan sekadar perjalanan sekolah. Ini perjalanan menuju sesuatu yang
lebih besar dari diri kami sendiri.
Begitu sampai di Stasiun Gambir, kami semua langsung diam.
Tidak karena lelah, tapi karena terpukau.
Orang-orang berlari, mobil bersahut-sahutan, udara padat, dan—yah—“beraroma
perjuangan.” Tapi entah kenapa, aku suka. Ada sesuatu yang hidup di kota ini,
denyutnya cepat, seperti jantung yang terus berpacu.
Kami menginap di mess atlet Ragunan. Bagi kami, itu seperti hotel
bintang lima. “Bayangin, Bro! Ini tempat atlet nasional nginep sebelum
bertanding!” kata seorang teman dengan bangga.
Kamarnya sederhana, tapi cukup buat kami yang biasa tidur dengan bantal kapuk.
Rasanya luar biasa—seolah kami sedang jadi bagian kecil dari sejarah olahraga
Indonesia.
Hari-hari di Jakarta berjalan seperti mimpi yang tak ingin
berakhir.
Kami ke Keong Emas TMII, dan bioskop IMAX legendaris itu membuat kami semua
ternganga. Begitu filmnya dimulai, ada teman yang teriak panik, “Woy, itu
pesawatnya mau nabrak!” dan satu bioskop pun pecah oleh tawa.
Lalu kami naik ke puncak Monas. Dari atas sana, aku melihat lautan
gedung dan lampu yang seolah tak berujung.
Rasanya kecil sekali di tengah megahnya kota ini. Tapi di dalam hati, muncul
pikiran sederhana tapi dalam:
“Begitu banyak orang di dunia ini. Aku mungkin kecil, tapi aku
ingin punya arti di tengah semua ini.”
Dan tentu saja, ada momen paling lucu dan tak terlupakan: makan di
KFC Puncak.
Buat kami, anak-anak pantai yang baru pertama kali menjejak ibu kota, itu
seperti pesta kelas atas. Semua sibuk motret ayam goreng (pakai kamera analog
tentunya), menikmati setiap gigitan seperti bintang iklan.
Aku? Aku malah nggak beli. Bukan karena nggak punya uang, tapi karena bingung—gimana
cara makannya?
Kupikir di tempat semewah itu pasti harus pakai sendok garpu, jadi aku
bolak-balik ke wastafel cuci tangan tanpa benar-benar makan.
Tapi lucunya, aku tetap ikut tertawa, merasa jadi bagian dari
kebahagiaan yang sama.
Beberapa teman bahkan menyimpan tisu bertuliskan “KFC Jakarta” di dompet,
seolah itu tiket menuju masa depan.
Lucu, tapi jujur. Karena di balik semua kelucuan itu, ada rasa kagum dan syukur
yang tulus.
Seminggu terasa seperti sebulan. Ketika akhirnya kami harus
pulang, suasana kereta jauh lebih tenang.
Kami lelah, tapi damai.
Ada yang tertidur di bahu temannya, ada yang menatap keluar jendela, menatap
lampu-lampu Jakarta yang perlahan menghilang.
Dan aku tahu, di perjalanan itulah mimpi pertamaku lahir: aku ingin kembali ke
kota itu, bukan lagi sebagai anak SMP yang berwisata, tapi sebagai seseorang
yang bisa memberi arti.
Dan bertahun-tahun kemudian, aku benar-benar kembali.
Bukan lagi dengan seragam olahraga dan koper lusuh, tapi dengan tekad dan cinta
yang tumbuh pelan-pelan bersama seseorang yang kini duduk di sebelahku—kamu.
Kita datang ke Jakarta bukan untuk berlibur, tapi untuk bertahan.
Untuk membangun mimpi, dari nol.
Kamu dan aku, dua orang yang dulu ditertawakan karena terlalu berani bermimpi.
“Ah, kalian tuh mimpi terlalu tinggi.”
“Cinta doang nggak cukup buat hidup, bro.”
“Udah lah, nanti juga bubar pas ditabrak realita.”
Tapi kita tetap jalan.
Kita genggam tangan, saling bilang pelan, “Kalau jatuh, asal jatuhnya bareng,
aku nggak takut.”
Dan dari situ, semuanya dimulai.
Kita makan nasi jenggo dua bungkus berdua, nongkrong di taman
numpang Wi-Fi, dan pernah nyaris nggak punya uang sama sekali.
Tapi di balik semua itu, kita punya satu hal yang tidak pernah hilang:
keyakinan.
Keyakinan bahwa selama kita saling percaya, tidak ada yang bisa menghentikan
kita.
Sekarang, saat lagu Nothing’s Gonna Stop Us Now kembali
terdengar di radio mobil—mobil yang dulu cuma kita impikan—aku cuma bisa
tersenyum.
Karena semua baitnya kini bukan sekadar lirik, tapi cerita hidup kita sendiri.
“And we can build this dream together, standing strong forever...”
Kita benar-benar membangun mimpi itu. Bersama.
Bertahan.
Berdiri tegak, bahkan saat dunia seolah runtuh di sekitar.
Dan mungkin itulah makna cinta yang sesungguhnya—
bukan tentang siapa yang paling kuat, tapi tentang siapa yang tetap menggenggam
tanganmu, meski dunia bilang kalian gila.
Catatan Refleksi:
Berani melangkah ke tempat baru berarti berani menantang diri.
Setiap perjalanan adalah latihan untuk tumbuh, untuk memahami arti hidup, dan
untuk mencintai dengan cara yang lebih dewasa.
Jakarta mengajarkan keberanian, sementara kamu mengajarkan ketulusan.
Dan ketika dua hal itu bertemu—
di antara hujan rintik, kopi sachet, dan doa yang tak pernah putus—
aku tahu satu hal dengan pasti:
“Kalau hati saling percaya, nothing’s gonna stop us now.”