99% SIAP, 1% MILIK LANGIT
Kadang hidup itu rasanya mirip banget sama proses transaksi gede yang bikin jantung deg-deg-an. Semua kelihatan rapi dan meyakinkan. Dokumen sudah difotokopi sampai tintanya hampir habis, dana aman sentosa, tanda tangan tinggal satu coretan pena. Pembeli sudah senyum lebar, penjual sudah siap bilang, “Deal ya,” dan di kepala kita sudah muter caption medsos: “Akhirnyaaa… Alhamdulillah 🙏🥳”.
Pokoknya, 99% sukses. Tinggal hitungan detik.
Tapi hidup ini sering punya selera humor yang agak sadis. Entah kenapa, pas momen paling genting itu, tiba-tiba ada saja yang nyangkut. Sistem error. Rekening mendadak “maintenance”. Jaringan ilang kayak mantan. Atau orang yang dari tadi yakin malah bilang, “Boleh minta waktu mikir dulu?”
Nah loh. Tamat sudah harapan yang barusan mau kita posting.
Di situlah biasanya kita baru ngeh: ada 1% misterius yang nggak bisa kita kendalikan. Dan di situlah kita sadar, ternyata Allah masih pegang remote control kehidupan. Kita boleh pegang proposal, kalkulator, dan timeline, tapi tombol final decision tetap di tangan-Nya.
Allah sendiri sudah ngasih pengingat yang halus tapi tegas dalam Al-Qur’an:
وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ رَبُّ الْعَالَمِينَ
(Wa maa tasyaauuna illaa an yasyaaallaahu Rabbul ‘aalamiin)
“Dan kamu tidak dapat menghendaki (sesuatu) kecuali apabila Allah menghendakinya.”
(QS. At-Takwir: 29)
Kita ini sering lupa. Kalau semua sudah kelihatan sempurna, kita suka GR duluan. Ngerasa, “Udah fix ini, nggak mungkin gagal.” Padahal semesta belum tentu setuju. Tuhan kadang cuma senyum tipis, lalu bilang, “Eits… sabar. Aku masih punya hak veto.”
Dan veto Allah itu beda kelas.
Kita bisa negosiasi sama pembeli.
Bisa rayu atasan.
Bisa diskon, bonus, atau traktir kopi.
Tapi sama Allah? Nggak ada istilah nego harga.
Rasulullah ﷺ juga sudah ngingetin dengan cara yang lembut tapi nusuk ke hati:
لَوْ أَنَّكُمْ تَتَوَكَّلُونَ عَلَى اللَّهِ حَقَّ تَوَكُّلِهِ، لَرَزَقَكُمْ كَمَا يَرْزُقُ الطَّيْرَ
(Law annakum tatawakkaluuna ‘alallaahi haqqa tawakkulih, larazaqakum kamaa yarzuquth-thair)
“Seandainya kalian bertawakal kepada Allah dengan sebenar-benarnya tawakal, niscaya Dia akan memberi rezeki kepada kalian sebagaimana Dia memberi rezeki kepada burung.”
(HR. Tirmidzi)
Burung itu nggak bawa proposal, nggak punya tabungan, nggak update status. Pagi keluar sarang, sore pulang kenyang. Kita? Sudah kerja jungkir balik, masih saja deg-deg-an. Karena seringnya, kita sibuk di usaha tapi lupa bersandar.
Makanya wajar kalau pas rencana gagal, hati langsung panas. Kesel. Kecewa. Merasa hidup nggak adil. Kita bertanya dalam hati, “Kenapa sih, Ya Allah? Tinggal dikit lagi loh…”
Padahal, sering kali jawabannya baru muncul beberapa bulan atau bahkan beberapa tahun kemudian. Saat itu kita baru sadar sambil senyum kecil, “Oh… ternyata dulu itu bukan digagalin, tapi diselamatin.”
Allah sendiri sudah janji:
فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا
(Fa inna ma‘al ‘usri yusraa, inna ma‘al ‘usri yusraa)
“Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan ada kemudahan.”
(QS. Al-Insyirah: 5–6)
Perhatikan baik-baik. Allah nggak bilang “setelah” kesulitan, tapi “bersama” kesulitan. Artinya, di balik penundaan itu sudah ada hadiah, cuma kita belum dikasih lihat dulu.
Makanya, kalau suatu hari kamu merasa sudah 99% siap, jangan terlalu cepat bilang “aman.” Sisakan satu ruang kecil di hati. Ruang untuk berdoa. Ruang untuk pasrah. Ruang untuk mengakui bahwa kita ini cuma perencana, bukan penentu.
Karena seni hidup itu di situ:
kita gaspol di 99%,
tapi tetap percaya penuh di 1%.
Siapa tahu, dari 1% itulah Allah lagi ngajarin kita naik level. Bukan cuma level rezeki, tapi level iman, sabar, dan ikhlas. Karena jujur saja, iman paling mahal itu sering lahir bukan dari keberhasilan, tapi dari kegagalan yang akhirnya kita terima dengan lapang dada.
Jadi kalau suatu hari transaksi batal, rencana ambyar, atau peluang besar mendadak hilang, jangan langsung nyalahin langit. Coba tarik napas, lalu tanya pelan-pelan ke hati sendiri,
“Mungkin… ini cara Allah nyelamatin aku dari sesuatu yang aku belum siap hadapi sekarang.”
Karena kadang, yang kelihatannya rugi di dunia, ternyata sedang dicatat sebagai investasi besar di langit. Dan kelak, saat waktunya pas, kita akan bilang sambil tersenyum,
“Pantes dulu ditunda… ternyata ini hadiahnya.”
Komentar