OVERTHINKING: DRAMA DI DALAM KEPALA SENDIRI
Pernah nggak sih, kamu duduk diam, tapi kepala rame kayak pasar malam? Badan tenang, tapi pikiran muter ke mana-mana—kayak kucing dikejar bayangan ekornya sendiri. Nah, itulah yang disebut overthinking. Sebuah aktivitas otak yang kelihatannya produktif, padahal sebenarnya cuma bikin stres tanpa hasil.
Aku pernah ngalamin fase itu. Tidur nggak nyenyak, makan
nggak lahap, tapi mikir jalan terus. Kadang cuma gara-gara satu chat yang
dibaca tapi belum dibalas. Otak langsung bikin film panjang:
“Dia marah ya?”
“Aku salah ngomong ya tadi?”
“Atau dia udah bosen sama aku?”
Padahal, kalau ditelusuri, alasan sebenarnya sederhana
banget: dia lagi mandi. Tapi ya namanya juga overthinking, logika sering
kalah sama skenario buatan otak sendiri.
Lucunya, overthinking tuh kayak nonton sinetron yang kita
tulis, sutradarai, dan mainkan sendiri. Bedanya, ending-nya selalu tragis,
karena kita terlalu sibuk bikin “bagaimana kalau” ketimbang menjalani “apa
adanya”.
Dulu, aku pikir dengan mikir lebih banyak, aku bisa nemuin
solusi lebih cepat. Tapi ternyata kebanyakan mikir justru bikin langkah
terhenti. Seolah-olah hidup tuh harus dipikirin dari A sampai Z sebelum mulai
dari A. Akhirnya, nggak mulai-mulai.
Padahal, kenyataannya begini: hidup nggak butuh semua
jawaban sekaligus. Kadang cukup satu langkah dulu, baru nanti ngerti
langkah selanjutnya. Seperti naik tangga di malam gelap—nggak usah kelihatan
semua, yang penting masih bisa lihat satu anak tangga ke depan.
Ada satu momen lucu tapi nyentil. Waktu itu aku bengong di
depan laptop, ngerasa hidup nggak jalan-jalan karena “masih banyak yang harus
kupikirin.” Lalu temenku nyeletuk, “Bro, kamu tuh nggak stuck karena masalahnya
berat. Kamu stuck karena kamu mikir terus, bukan jalan.”
Nah, itu kayak ditampar pakai sandal jepit—sakit, tapi menyadarkan.
Dari situ aku belajar, kadang kepala kita butuh libur
juga. Overthinking itu bukan tanda kita pintar, tapi tanda kita terlalu
takut salah. Dan lucunya, semakin takut salah, justru semakin sering kita
ngulang kesalahan yang sama: diam, mikir, tapi nggak jalan.
Sekarang kalau pikiran mulai kebanyakan drama, aku ingetin
diri sendiri:
“Kalau belum tentu terjadi, ngapain disedihkan dulu?”
“Kalau udah terjadi, ya hadapin aja.”
Sederhana, tapi efektif. Karena ternyata, kedamaian itu
bukan datang dari hidup tanpa masalah, tapi dari kemampuan untuk nggak
mempersulit yang sederhana.
Dan ya, kalau dipikir-pikir (tapi jangan over ya), hidup
ini terlalu singkat buat dihabiskan mikirin hal-hal yang belum tentu kejadian.
Lebih baik dijalani, ditertawakan, dan disyukuri. Karena kadang, yang kita
butuh bukan solusi cepat, tapi secangkir kopi dan keberanian untuk bilang ke
diri sendiri:
“Udah, cukup mikirnya. Ayo hidup lagi.”
Sore itu, aku duduk di warung kopi langganan. Di meja
sebelah, dua orang teman sedang asik ngobrol soal kerjaan, sementara aku cuma
bengong menatap gelas kopi yang sudah dingin. Tapi bukan karena lagi menikmati
momen “me time” — otakku sedang sibuk bikin film.
Awalnya cuma karena bos belum bales pesan.
“Jangan-jangan aku salah kirim laporan?”
“Atau dia nggak puas sama hasil kerjaanku?”
“Atau malah... aku bakal dipecat minggu depan?”
Dan dari satu dugaan itu, lahirlah skenario lengkap dalam
kepala: aku dipecat, nggak bisa bayar kontrakan, hidup di kosan sempit, makan
mi instan tiap hari, terus jadi bahan gosip teman lama. Tepuk tangan dulu
buat otak yang kreatif bikin naskah tanpa bayaran!
Padahal, satu jam kemudian bos bales:
“Maaf, tadi rapat. Laporanmu bagus, lanjutkan ya.”
Duar! Seketika semua drama hilang kayak asap rokok dihembus
angin. Aku cuma bisa ngakak sendiri. Gimana enggak, dari tadi aku stres karena
bayangan yang bahkan nggak nyata.
Dari situ aku sadar: overthinking itu kayak langganan
nonton film horor, tapi kita sendiri yang jadi hantu dan korban sekaligus.
Kita takut sama hal-hal yang kita ciptakan sendiri di kepala.
Kadang kita mikir terlalu jauh tentang hal-hal yang belum
tentu kejadian.
Kita takut gagal sebelum mulai, takut ditolak sebelum ngomong, takut salah
padahal belum nyoba. Akhirnya, kita berhenti melangkah, tapi lupa bahwa diam
juga bentuk kegagalan paling sunyi.
Lucunya, semakin kita berusaha menenangkan diri, otak malah
makin aktif.
“Tenang… jangan mikir yang aneh-aneh…”
Dan lima detik kemudian:
“Eh, tapi kalau beneran kejadian gimana?”
Lah, balik lagi!
Sampai akhirnya aku nemuin satu rumus sederhana:
Kalau nggak bisa dikontrol, ya lepaskan.
Kalau belum waktunya dipahami, ya sabar dulu.
Dan kalau semua terasa rumit, ya jangan dipaksa logika buat menjelaskan yang
memang cuma bisa dijalani.
Ada kalanya kita harus biarkan hidup berjalan tanpa terlalu
banyak diatur. Karena, percaya deh — semesta lebih jago mengatur waktu
daripada kita yang sibuk mikirin kapan sesuatu harus terjadi.
Sekarang, setiap kali overthinking mulai menyerang, aku
punya ritual kecil. Aku tarik napas dalam-dalam, terus bilang ke diri sendiri,
“Oke, cukup mikirnya. Sekarang waktunya ngelakuin.”
Kadang hasilnya nggak selalu sempurna, tapi setidaknya aku
bergerak. Karena ternyata, satu langkah nyata lebih berharga daripada seribu
pikiran yang nggak jadi apa-apa.
Dan tahu nggak, semakin sering aku mempraktikkan itu,
semakin sadar aku bahwa kedamaian bukan datang dari semua hal berjalan sesuai
rencana, tapi dari kemampuan kita buat berdamai dengan yang nggak bisa
dikendalikan.
Toh, hidup ini memang penuh kejutan. Kadang yang kita
takutkan nggak pernah terjadi, sementara yang nggak kita pikirin justru datang
membawa kebahagiaan. Jadi buat apa ngabisin energi mikirin hal-hal yang bahkan
belum tentu nyata?
Sekarang, kalau temen curhat bilang dia lagi overthinking,
aku cuma senyum dan bilang,
“Bro, kalau pikiranmu lagi kebanyakan drama, coba deh bikin
kopi, duduk sebentar, terus bilang ke otakmu: ‘Hei, jangan ribut dulu, aku lagi
pengin hidup.’”
Karena pada akhirnya, hidup bukan soal memikirkan semua
kemungkinan, tapi soal berani menjalaninya — meski dengan ketidakpastian,
tapi dengan hati yang tenang.
“KETIKA PIKIRAN BUTUH LIBUR”
Malam itu aku duduk di balkon, ditemani secangkir teh yang
udah mulai dingin. Angin lewat pelan, dan kota di kejauhan kelihatan
tenang—berbeda banget sama isi kepalaku yang kayak jalan tol pas jam pulang
kerja: macet, ramai, dan penuh klakson.
Aku sadar, selama ini aku hidup kayak orang yang terus
ngerem tapi nggak pernah berhenti. Setiap kali mau maju, ada aja yang
ditakutin. Mau mulai usaha, takut gagal. Mau ngomong jujur, takut
disalahpahami. Mau jatuh cinta, takut disakiti. Akhirnya cuma muter di tempat,
tapi capeknya kayak abis lari maraton.
Lucunya, semakin aku mikir, semakin aku sadar: hidup itu
nggak pernah jadi tenang karena semua hal terkendali. Hidup jadi tenang
justru saat kita bisa nerima kalau nggak semua hal harus dikontrol.
Kadang, jawaban datang bukan karena kita mikir keras, tapi karena kita berhenti
maksa dan biarin waktu bekerja.
Aku jadi inget ucapan temanku waktu nongkrong beberapa waktu
lalu, “Bro, kamu tuh bukan butuh solusi, tapi butuh tidur.”
Awalnya kupikir dia bercanda. Tapi setelah kupikir—eh, ya bener juga! Banyak
masalah sebenarnya bukan karena susah, tapi karena otak kita udah kebanyakan
mikir sampai lupa istirahat.
Sejak itu aku mulai belajar hal sederhana: membiarkan
hidup mengalir tanpa kehilangan arah.
Kalau lagi bingung, ya jalanin yang bisa dulu. Kalau lagi takut, ya peluk
takutnya, tapi tetap melangkah. Karena ternyata, ketenangan itu bukan datang
dari pikiran yang selalu benar, tapi dari hati yang mau berdamai sama
ketidakpastian.
Sekarang aku nggak malu bilang kalau aku masih suka
overthinking. Bedanya, kali ini aku tahu kapan harus berhenti.
Kalau kepala mulai penuh, aku tutup laptop, rebahan, atau sekadar dengerin
musik. Kadang aku bercanda sama diri sendiri:
“Udah, bro, otakmu tuh bukan hard disk 2 TB, jangan dipaksa
muat semua.”
Dan lucunya, ketika aku berhenti mikir berlebihan, justru
banyak hal baik datang sendiri — ide baru, solusi yang simpel, bahkan
ketenangan yang dulu rasanya mustahil.
Akhirnya aku paham: overthinking nggak bisa dihapus
sepenuhnya, tapi bisa dijinakkan. Caranya? Dengan belajar percaya.
Percaya sama proses, percaya sama waktu, dan yang paling penting — percaya sama
diri sendiri.
Karena hidup ini bukan tentang menghitung setiap
kemungkinan, tapi tentang berani menjalani satu langkah dalam kepercayaan bahwa
semua akan baik-baik saja.
Dan ketika malam terlalu bising oleh pikiran, aku cukup bilang ke diri sendiri
dengan nada santai:
“Udah, besok aja mikirnya. Hari ini waktunya hidup.”