PURBAYA YUDHI SADEWA: ANTARA ANGKA, NURANI, DAN HARAPAN DI TENGAH BADAI



 

Menarik melihat sosok Pak Purbaya Yudhi Sadewa — sang teknokrat yang meniti jalan dari dunia teknik ke panggung ekonomi nasional. Kini, ia memikul tanggung jawab besar sebagai penerus sekaligus pengganti sang begawan fiskal, Bu Sri Mulyani. Perpindahan tongkat estafet ini bukan sekadar pergantian jabatan, tapi juga ujian: mampukah seorang insinyur berpikir dengan presisi yang sama di medan penuh dinamika bernama fiskal negara?

Kalau ada satu hal yang menarik dari sosok Purbaya Yudhi Sadewa, mungkin itu adalah perpaduan antara dinginnya logika dan hangatnya hati. Di wajahnya, orang bisa melihat kombinasi yang jarang: seorang teknokrat yang tak kehilangan sisi manusianya, dan seorang pejabat publik yang bicara lugas tanpa kehilangan kesantunan. Ia bukan tipe politisi yang sibuk pencitraan, tapi juga bukan teknokrat kaku yang tenggelam di balik tabel dan rumus. Ia—dalam banyak hal—adalah jembatan antara dua dunia: dunia idealisme ekonomi dan dunia realita sosial.

Latar belakangnya memang membuatnya berbeda. Ia datang dari jalur multidisiplin—menguasai teknik dan ekonomi, pernah hidup di dua semesta: publik dan swasta. Jadi, jangan heran kalau dalam rapat ia bisa bicara tentang efisiensi anggaran dengan bahasa data, tapi di luar itu ia bisa menimpali obrolan santai wartawan dengan humor segar dan senyum yang tulus. “Kalau bisa disederhanakan, kenapa dibikin rumit?” katanya suatu kali—kalimat sederhana yang menggambarkan cara pikirnya yang praktis namun tajam.

 

Pemimpin yang Tidak Suka "Kejutan"

Ketika banyak pejabat baru ingin menandai era mereka dengan gebrakan, Purbaya justru memilih jalur yang tenang: melanjutkan yang sudah baik, memperbaiki yang belum sempurna. “Saya tidak akan ubah semua hal yang sudah berjalan,” katanya dalam wawancara. “Kita akan perkuat yang sudah ada.”

Sekilas, kedengarannya biasa. Tapi dalam dunia politik yang penuh ego dan ambisi, sikap itu justru langka. Ia seperti berkata: “Perubahan tidak harus gaduh.” Dan benar saja, di tengah gejolak publik dan pasar yang sensitif, langkahnya yang tenang justru membawa rasa stabil.

Namun tenang bukan berarti lembek. Ketika bicara soal integritas, nada suaranya berubah tegas. Ia memastikan “bersih-bersih” internal Kementerian Keuangan berjalan, termasuk aparat pajak dan bea cukai. “Kalau mau tumbuh, rumahnya harus bersih dulu,” ujarnya. Kalimat itu sederhana, tapi seperti tamparan halus bagi mereka yang terbiasa menutup mata terhadap penyimpangan kecil.

 

Teknokrat yang Berani Melawan Arus

Salah satu momen paling dikenang adalah ketika ia menanggapi lembaga internasional yang meremehkan proyeksi ekonomi Indonesia. “Jangan percaya IMF. Kalau mau tahu ekonomi kita, tanya saya,” katanya sambil tertawa kecil. Ucapan itu viral. Ada yang menganggapnya sombong, ada yang melihatnya sebagai bentuk kepercayaan diri nasionalis. Tapi bagi yang mengenalnya dekat, itu hanyalah cara Purbaya melindungi martabat negeri dengan gaya khasnya—santai tapi tajam.

Ia memang bukan tipe yang takut bersuara. Tapi di balik kelantangannya, ada logika yang kokoh. Ia selalu membawa argumen, bukan sekadar opini. Saat berbicara, nada suaranya bisa keras, tapi isinya tak pernah kosong. Ia memegang prinsip: kalau bicara, harus ada datanya.

 

Misi Berat, Langkah Realistis

Tugasnya kini tidak main-main. Ia mewarisi tanggung jawab besar dari figur yang nyaris legendaris di mata publik—Sri Mulyani Indrawati. Dan publik pun terbagi: sebagian percaya bahwa Purbaya bisa melanjutkan tongkat estafet dengan elegan, sebagian lagi skeptis.

Tantangannya bukan hanya soal menjaga stabilitas fiskal atau mengatur utang, tapi juga menjaga harapan rakyat agar tak padam. Target pertumbuhan 8% mungkin terdengar seperti mimpi besar, tapi Purbaya menanggapinya dengan kalem: “Kalau kita kerja sungguh-sungguh, itu bukan mimpi.”

Langkah-langkahnya terukur. Ia ingin memperkuat likuiditas sistem keuangan, memastikan dana pemerintah tidak menganggur di bank sentral, melainkan mengalir ke sektor produktif. Ia menolak kebijakan fiskal “aneh” atau berisiko tinggi yang bisa mengguncang pasar. Dalam kata lain: ia ingin ekonomi tumbuh tanpa membuat rakyat panik.

 

Manusia di Balik Jabatan

Namun yang menarik dari Purbaya bukan hanya kebijakannya, tapi caranya menghadapi tekanan. Ia diangkat di tengah situasi sosial yang bergolak, di saat kepercayaan publik terhadap pemerintah sedang menurun. Dalam kondisi seperti itu, banyak yang akan defensif. Tapi tidak dengan dia.

Dalam beberapa kesempatan, ia justru turun langsung berdialog, menanggapi kritik publik di media sosial. Kadang dengan jawaban serius, kadang dengan humor. “Saya tahu saya bukan superhero. Tapi kalau kita semua mau kerja bareng, ekonomi ini bisa jalan,” tulisnya di sebuah unggahan yang viral.

Kalimat itu menggambarkan sisi manusianya—sosok yang sadar bahwa kekuasaan bukan segalanya, dan keberhasilan ekonomi bukan hasil satu orang, melainkan gotong royong banyak hati dan kepala.

 

Antara Optimisme dan Realita

Publik masih menilai, pasar masih menunggu, dan sejarah masih menulis. Tapi satu hal yang sudah terlihat: Purbaya Yudhi Sadewa adalah tipe pemimpin yang tidak mencari sorotan, melainkan solusi. Ia bukan pengubah arah besar, tapi pengendara tenang yang tahu kapan harus menginjak gas dan kapan menekan rem.

Mungkin ia tidak akan dikenang sebagai “penyulut revolusi ekonomi”, tapi mungkin justru karena itulah ia akan diingat—sebagai pemimpin yang menjaga keseimbangan di tengah badai, dan membuktikan bahwa menjadi teguh tidak selalu berarti keras, dan menjadi tegas tidak harus kehilangan empati.


Purbaya bukan hanya bicara angka, tapi juga nurani. Ia tahu bahwa di balik setiap kebijakan fiskal ada wajah-wajah rakyat kecil yang berharap. Dan mungkin itulah yang membuatnya berbeda: di antara tumpukan laporan ekonomi, ia masih bisa melihat manusia.

Dan siapa tahu—di masa depan, ketika ekonomi kita tumbuh stabil dan kepercayaan publik kembali pulih—kita akan mengenangnya bukan sekadar sebagai Menteri Keuangan, tapi sebagai pemimpin yang membumi, yang pernah berkata dengan tenang:
“Jangan percaya ramalan. Percayalah pada kerja keras kita sendiri.”

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN