BUKAN APA, TAPI MENGAPA
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Pernah nggak sih kamu ngerasa udah berbuat baik, tapi malah
disalahpahami?
Udah bantu teman, tapi dibilang sok pahlawan.
Udah kerja lembur, tapi dikira cari muka.
Udah senyum, malah dikira modus.
Kadang hidup tuh lucu ya. Niatnya tulus, hasilnya justru salah
tafsir. Dan yang paling bikin gemas, yang salah paham itu kadang orang yang
nggak tahu apa-apa — cuma lihat dari luar, terus langsung ngecap.
Tapi kalau dipikir-pikir, ya begitulah hidup. Dunia ini memang
lebih sering menilai dari tampilan luar, bukan dari isi dalam. Orang nggak cuma
melihat apa yang kita lakukan, tapi juga — bahkan lebih penting — mengapa
kita melakukannya.
Ada orang yang datang ke kantor paling pagi tiap hari. Orang-orang
kagum, “Wah, rajin banget tuh si Budi!” Tapi begitu tahu ternyata dia datang
pagi biar bisa dapet perhatian bos dan cepat naik jabatan, ya… langsung turun
pamor deh.
Sebaliknya, ada si Ani yang nggak pernah banyak ngomong, tapi tiap malam masih
di kantor sendirian, nyelesaikan kerjaan tim biar nggak ada yang keteteran.
Nggak ada yang tahu, nggak ada yang muji, tapi di situlah nilai sesungguhnya — kerja
karena tanggung jawab, bukan karena spotlight.
Begitu juga dalam hal kebaikan.
Kita bisa aja ngasih sedekah jutaan rupiah sambil difoto dan di-upload dengan
caption panjang: “Bukan mau riya, tapi semoga menginspirasi.”
Padahal, yang bener-bener menginspirasi justru kadang mereka yang nggak difoto,
yang diam-diam nyelipin uang ke kotak infak, tanpa tanda tangan, tanpa logo
lembaga, tanpa kamera. Cuma tangan kanan yang memberi, tangan kiri pun nggak
tahu.
Karena memang, apa yang kita lakukan itu gampang dilihat
manusia. Tapi mengapa kita melakukannya… cuma kita dan Tuhan yang tahu.
Dan lucunya, di zaman sekarang, justru yang paling banyak dilihat adalah yang
paling banyak tampil. Seolah-olah dunia ini panggung besar, dan kita semua
aktor yang berlomba tampil paling baik, paling suci, paling dermawan.
Padahal, penonton sejati itu bukan manusia. Tapi Dia — yang Maha Melihat isi
hati.
Masalahnya, kadang kita terlalu sibuk membuktikan diri. Sibuk
bikin kesan baik di mata orang, sampai lupa menjaga niat baik di hati sendiri.
Kita takut nggak dilihat, takut nggak dianggap, padahal Tuhan nggak pernah
buta. Dia tahu siapa yang tulus dan siapa yang cuma pakai topeng.
Saya jadi ingat satu kejadian kecil.
Waktu itu, di masjid, ada seorang bapak tua yang selalu datang paling awal.
Tapi bukan buat shalat tahajud atau baca Al-Qur’an — dia datang buat nyapu
halaman dan nyiapin sajadah buat jamaah lain. Diam aja, nggak pernah minta
dipuji.
Sampai suatu hari, ada yang nyeletuk, “Bapak itu cari muka kali ya, biar
dianggap pengurus masjid.”
Padahal bapak itu cuma senyum, jawabnya pelan, “Nggak apa-apa, Nak. Kalau
niatnya benar, Tuhan juga tahu.”
Dan kalimat itu menancap banget di hati saya.
Sederhana, tapi dalam.
Kadang kita terlalu cepat menilai orang, padahal belum tentu tahu mengapa
dia melakukan itu. Dan di sisi lain, kita juga terlalu mudah goyah hanya karena
salah paham orang lain terhadap niat kita.
Sejak itu saya belajar satu hal penting:
Nggak usah terlalu sibuk mikirin apa yang mau dilakukan biar terlihat
baik di mata orang.
Lebih penting tanya ke diri sendiri dulu, “Kenapa aku mau melakukan ini?”
Kalau jawabannya tulus — entah karena cinta, tanggung jawab, atau
sekadar ingin berbuat baik tanpa pamrih — maka langkahmu akan terasa ringan,
meski nggak ada yang bertepuk tangan. Karena nilai kebaikan itu bukan di mata
manusia, tapi di hati dan niatnya.
Pada akhirnya, hidup bukan soal seberapa banyak aksi yang kita
tunjukkan, tapi seberapa jernih alasan di baliknya.
Bukan soal “apa”, tapi “mengapa.”
Dan kadang, justru dalam keheningan niat yang tulus — yang nggak
disorot, nggak disanjung, nggak dipuji — di situlah letak keindahan manusia
yang sesungguhnya