CATATAN SEORANG PENONTON YANG KINI DIMINTA BICARA
(Sebuah kisah masa pencaharian diri semasa kuliah di Malang)
Ada masa dalam hidup ketika aku lebih sering diam. Bukan
karena tak punya suara, tapi karena merasa—ya, buat apa juga bicara kalau toh
tak ada yang dengar? Di kampus, aku sering jadi penonton. Duduk di barisan
belakang, memperhatikan teman-teman yang tampak begitu yakin dengan arah hidup
mereka. Ada yang sibuk memimpin organisasi, ada yang tampil percaya diri di
depan kelas, ada pula yang entah kenapa selalu tahu harus ngomong apa saat
dosen nanya. Sementara aku? Sibuk sendiri dengan labirin pikiran yang penuh
tanda tanya: Aku ini siapa? Mau jadi apa? Dan kenapa hidup rasanya seperti
nonton film orang lain tanpa tahu kapan giliranku main di layar?
Malang waktu itu dingin. Tapi bukan udara yang menusuk,
melainkan rasa sepi di antara keramaian. Aku kuliah di kota yang katanya penuh
inspirasi dan cinta, tapi yang aku temukan justru pencarian panjang—bukan soal
nilai, tapi soal makna.
Dari Energi Pasif ke Energi Aktif
Aku dulu seperti baterai yang diisi tapi tak pernah
dipakai. Semua energiku terkumpul di dalam: berpikir, menganalisis,
berandai-andai, merasa. Serba internal. Kalau ada lomba berpikir berlebihan,
mungkin aku juara umum tiga kali berturut-turut. Aku lebih nyaman jadi
pengamat: melihat bagaimana orang lain memimpin rapat, berdebat, atau tampil di
depan umum. Tapi setiap kali aku ingin ikut bicara, lidahku seperti terkunci.
Ada rasa takut, canggung, dan suara kecil di kepala yang bilang, “Udah, kamu
nggak pantas bicara.”
Tapi kehidupan kampus itu lucu—kalau kamu diam terus,
lama-lama kamu nggak terlihat sama sekali. Aku sempat berpikir, mungkin memang
itu takdirku: jadi figuran dalam cerita orang lain. Sampai suatu hari, salah
satu temanku nyeletuk sambil setengah bercanda,
“Bro, kalau kamu diam terus, kamu bakal disangka patung di
pojokan kelas, lho.”
Aneh, tapi ucapan itu seperti tamparan halus. Sejak hari
itu aku mulai bergerak, pelan-pelan. Bukan langsung ikut debat mahasiswa atau
orasi di panggung, tentu tidak. Aku mulai dengan hal sederhana—ikut jadi
panitia acara kampus, bagian konsumsi. Karena kalau belum siap bicara, ya bantu
diam-diam dulu aja.
Dari situ aku belajar satu hal penting: bergerak itu
bukan soal berani dulu baru jalan, tapi jalan dulu, nanti keberanian ikut
datang.
Awalnya aku hanya menyusun kotak nasi, lalu membantu
menyusun kursi, lalu memberanikan diri jadi MC di acara internal jurusan (itu
pun dengan tangan gemetar dan suara patah-patah). Tapi tiap langkah kecil itu
menambah sedikit kepercayaan diri. Ternyata, dunia tidak semenakutkan yang
kubayangkan. Orang-orang tidak sekejam itu menertawakan kesalahan. Bahkan,
beberapa malah menepuk bahuku, “Lumayan, bro. Suaramu serak-serak basah gitu
malah keren.”
Malang, Kota yang Mengasuh dengan Cara Aneh
Malang mengajariku banyak hal. Tentang kopi yang bisa
menghangatkan malam, tentang teman kos yang setia berbagi nasi bungkus dua
ribu, dan tentang dosen killer yang diam-diam ternyata perhatian. Di kota itu,
aku belajar bahwa kedewasaan tidak lahir dari kemenangan, tapi dari kebiasaan
jatuh dan bangkit dengan kepala tegak.
Ada malam-malam panjang di mana aku duduk sendiri di kamar
kos, lampu redup, hanya ditemani bunyi motor lewat dan radio kecil. Aku menulis
catatan-catatan kecil—tentang rasa takut, tentang mimpi, tentang orang-orang
yang kucintai diam-diam. Dari sanalah aku mulai memahami: diamku ternyata bukan
kosong. Diamku adalah tempat refleksi tumbuh.
Kadang lucu juga kalau diingat. Pernah aku coba latihan
public speaking di depan kaca, tapi malah kelepasan ngomong, “Terima kasih atas
tepuk tangannya,” padahal cuma aku sendiri di kamar. Tapi dari momen-momen
konyol itulah tumbuh keberanian kecil yang dulu tak kumiliki.
Menemukan Jati Diri (yang Ternyata Bukan Sehebat di
Film-Film Motivasi)
Dulu aku kira “menemukan jati diri” berarti menemukan versi
terbaik dari diri sendiri—yang paling cerdas, paling keren, paling siap tampil
di panggung besar. Tapi hidup berkata lain. Ternyata, menemukan jati diri
adalah tentang berdamai dengan apa adanya diriku, bukan sibuk menjadi seperti
orang lain.
Aku belajar bahwa aku tak harus jadi si paling aktif untuk
punya arti. Aku tak harus memimpin untuk bisa memberi pengaruh. Kadang cukup
jadi pendengar yang tulus, pengamat yang jujur, atau teman yang hadir tanpa
banyak kata.
Aku tak menemukan jati diriku di seminar-seminar
pengembangan diri. Aku menemukannya di tengah malam yang sepi, di atas sajadah,
dalam sujud yang sunyi tapi menenangkan. Aku menemukannya di momen ditolak
cinta tapi tetap bisa tertawa, di pertemanan sederhana yang membuatku merasa
cukup.
Dan di situ aku paham—hidup ini bukan tentang siapa yang
paling cepat bersinar, tapi siapa yang tetap bertahan saat lampu-lampu padam.
Kini, setelah bertahun-tahun, aku menulis kisah ini bukan
karena sudah jadi orang hebat. Aku menulis karena sadar: ada begitu banyak
“penonton kehidupan” di luar sana—orang-orang yang diam bukan karena bodoh,
tapi karena masih mencari arah.
Aku ingin mereka tahu, tak apa merasa ragu. Tak apa
tersesat sebentar. Karena kadang, jalan menuju panggung hidup kita memang harus
dimulai dari kursi paling belakang.
Aku tahu rasanya jadi orang yang takut bicara. Tapi aku
juga tahu rasanya saat akhirnya kau berani membuka suara—meski bergetar, meski
belum sempurna. Di situlah titik baliknya.
Hidupku di Malang bukan kisah sukses besar. Tapi di kota
itulah aku belajar arti kecil dari keberanian, keindahan dari kegagalan, dan
kebahagiaan dari menjadi diriku sendiri.
Dan hari ini, kalau ada yang memintaku bicara, aku akan
tersenyum dan berkata:
“Baiklah, sekarang giliran saya.” So…….
Hidup bukan tentang seberapa cepat kau sampai, tapi
seberapa tulus kau berjalan.
Diam bukan kelemahan, tapi ruang untuk mendengar diri sendiri.
Dan keberanian bukan soal tidak takut, tapi soal tetap melangkah meski takut.