GAZZY: SI SINGO EDAN DAN PERSAHABATAN YANG TAK TERDUGA



Kalau hidup ini ibarat film, maka pertemuanku dengan Gazzy jelas bukan film drama romantis. Lebih tepatnya film action dengan adegan kejar-kejaran di awal, tawa di tengah, dan pelukan persaudaraan di akhir. Bedanya, gak ada kamera, gak ada sutradara—semuanya real, terjadi di lorong Fakultas Ekonomi Universitas tempatku kuliah dulu, di kota Malang yang dinginnya sering menampar lembut tapi menyimpan hangatnya kenangan.

Aku waktu itu masih mahasiswa semester tiga. Masih culun, rambut belah pinggir, kemeja flanel kotak-kotak yang entah kenapa tiap difoto warnanya selalu norak, dan sandal jepit kampus yang udah mulai botak di tumit. Hari itu, niatku cuma sederhana: numpang lewat, numpang lihat, numpang penasaran. Tapi ternyata, hidup kadang suka bercanda dengan niat baik.

Di depan kesekretariatan Senat Mahasiswa Ekonomi, sekumpulan senior sedang nongkrong. Suasananya seperti markas “penguasa kampus.” Tawa mereka keras, posisi duduknya santai tapi penuh wibawa, seolah dunia perkuliahan ini berputar di sekitar meja itu saja. Dan di tengah keramaian itu, ada satu sosok yang langsung mencuri perhatian: Gazzy.

Anak AREMA sejati berdarah Madura. Singo Edan asli Malang. Rambutnya cepak tapi cool, matanya tajam namun santai, dan senyumnya—ya ampun, senyum orang yang tahu persis dia disukai banyak orang. Katanya, dia jago bergaul, jago bikin acara, dan—ini versi gosip kampus—punya “koleksi cinta” lintas fakultas. Satu kalimat keluar dari bibirnya aja, semua orang langsung menunduk patuh.

Aku yang cuma mau lewat langsung merasa kayak anak kos salah kostum di pesta pejabat.

“Heh, kamu!” tiba-tiba salah satu senior bentak.

Deg! Aku hampir menjatuhkan mapku. “Saya cuma lewat, Kak. Maaf.”

Gazzy menoleh dengan nada datar tapi mantap, “Iya, kalau gak ada urusan, jangan mondar-mandir. Kamu anak baru, ya?”

“Nggak, Kak. Saya semester tiga.”

“Oh, bukan toh? Yaudah, lewat.”

Selesai. Singkat, nyebelin, tapi menancap dalam hati. Saat itu aku berjanji dalam diam, Oke, Gazzy. Suatu hari kamu bakal tahu siapa aku.

Gengsi mahasiswa itu memang lucu. Kadang cuma karena satu tatapan dingin dari senior, kita bisa terpacu untuk membuktikan bahwa kita bukan siapa-siapa yang bisa diremehkan. Tapi ya, begitulah. Dari gengsi itulah, semangat kecil mulai tumbuh jadi bara.

 

Dunia Berputar, Peran Berganti

Waktu berjalan, dan seperti biasa, semesta punya selera humor yang tinggi. Aku yang dulu cuma “mahasiswa culun yang numpang lewat” tiba-tiba dipercaya jadi Ketua Senat Mahasiswa. Ironi yang manis, bukan?

Saat menyusun kepengurusan, aku butuh sosok yang kreatif, visioner, punya banyak kenalan, dan bisa bikin ide-ide gila jadi kenyataan. Dan entah kenapa, nama Gazzy langsung muncul di kepala.

Kupanggil dia. Awalnya aku agak canggung. Tapi begitu ketemu, dia langsung nyengir lebar, “Wah, Ketua Senat sekarang ngajak kerja bareng? Gokil, bro! Gaskeun!”

Dan sejak itu, segalanya berubah.

Gazzy ternyata bukan cuma jago ngomong, tapi juga pemikir yang tajam. Idenya liar tapi logis, eksekusinya niat, dan semangatnya menular. Kalau kami bikin event, hasilnya selalu beda. Kemasannya niat, konsepnya matang, dan suasananya hidup.

Lewat Gazzy, aku masuk ke dunia musik kampus Malang—dunia anak-anak kreatif, idealis, dan penuh solidaritas. Saat itu era-nya Dewa 19 baru naik daun, dan di setiap acara kampus, lagu Kirana atau Kangen pasti jadi anthem wajib.

Gazzy kenal semua orang. Dari pemain band, MC, panitia, bahkan sampai pedagang bakso depan kampus yang hafal siapa pacaran sama siapa. Lewat dia juga aku kenal Wahyu dan Zahrul—dua vokalis band kampus yang kalau nyanyi bikin suasana pecah, bahkan dosen pun bisa ikut geleng-geleng kepala.

 

Antara Sahabat dan “Bahaya Tikungan Tajam”

Tapi ya, hidup mana pernah datar. Di balik keasyikan kerja bareng, aku mulai sadar satu hal: Gazzy ini idola cewek-cewek kampus. Dari Fakultas Hukum sampai Sastra, banyak yang nyebut namanya dengan nada mendayu.

Dan yang bikin jantungku berdebar nggak karuan, ternyata pacarku, Renny, juga sering cerita soal dia.

Waduh.

Aku percaya sama Gazzy, tapi ya tetap aja waspada. Laki-laki itu, kadang bisa goyah kalau terlalu sering diapit pujian dan kesempatan. Apalagi kalau punya charisma level dewa dan gaya bicara yang entah kenapa selalu bikin orang nyaman.

Tapi ternyata aku salah menilai. Gazzy justru jaga banget batas itu. Dia gak pernah main di area abu-abu. Malah sering ngeledek kami di depan umum, “Wih, pasangan ideal kampus nih! Ketua Senat dan si Renny yang paling sabar!”

Gara-gara itu aku malah tambah percaya. Ternyata di balik keluwesan dan gaya sok santainya, Gazzy punya integritas dan loyalitas yang jarang.

 

Dari Lawan Jadi Saudara

Satu malam seusai rapat panjang, kami duduk di depan sekretariat, makan gorengan, minum kopi sachet tiga kali isi ulang, dan ngobrol ngalor-ngidul. Dari situ aku baru tahu, ternyata ayahnya Gazzy berdarah Madura.

Aku langsung nyengir, “Serius? Ayahku juga, bro.”

Dia ketawa, “Wah, bisa jadi satu kampung, nih. Pantes sama-sama keras kepala tapi gampang luluh.”

Kami tertawa. Tapi di balik tawa itu, ada rasa hangat yang gak bisa dijelaskan. Seolah hidup memberi petunjuk kecil bahwa kami memang ditakdirkan bertemu bukan untuk saling menilai, tapi untuk saling melengkapi.

Sejak malam itu, hubungan kami berubah. Dari dua orang yang dulu saling melirik sinis di lorong kampus, jadi dua sahabat yang saling jaga di jalan perjuangan mahasiswa yang penuh idealisme. Kami kerja bareng, ketawa bareng, debat bareng, bahkan berantem juga pernah. Tapi ujung-ujungnya selalu ketawa lagi. Karena ya, di balik semua perbedaan cara dan gaya, kami punya semangat yang sama: membangun dan menjaga.

 

Singo Edan dan Jiwa yang Lembut

Kalau aku flashback ke pertemuan pertama itu, aku cuma bisa senyum kecil. Kadang hidup memang lucu. Orang yang dulu bikin kamu kesel bisa berubah jadi orang yang paling kamu percaya.

Dari Gazzy aku belajar, jangan buru-buru menilai seseorang. Di balik gaya slengekan dan tawa kerasnya, kadang tersimpan hati yang setia dan tulus luar biasa.

Seperti kata Aristoteles,

“What is a friend? A single soul dwelling in two bodies.”

Dan mungkin benar, aku dan Gazzy memang dua tubuh yang diisi satu semangat: semangat membangun, berkarya, dan menjaga satu sama lain.

Persahabatan itu aneh. Kadang lahir dari benturan, tumbuh dari kerja sama, dan bertahan karena saling percaya. Aku bersyukur pernah “diserempet” Gazzy di lorong kampus hari itu. Karena dari situ, aku belajar bahwa orang yang terlihat paling berisik, kadang justru yang paling tulus.

Dan ya, meskipun dia tetap berbahaya kalau kamu lengah jaga pacar, aku tetap bersyukur punya sahabat seperti Gazzy—
Si Singo Edan berdarah Madura, keras di luar tapi lembut di hati.



Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN