KETIKA GENERASI BERGANTI, KETIKA BUDAYA DIUJI: CATATAN DARI SEORANG ANAK PENDATANG YANG TUMBUH DI BALI
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kadang aku suka
merenung sendiri—dunia ini berubah, tapi perubahan yang paling terasa justru
ada di halaman rumah sendiri. Bali, pulau tempat aku lahir dan tumbuh, kini
berdiri di antara dua arus besar: tradisi yang dijaga begitu ketat oleh
leluhur, dan generasi baru yang hidup dengan satu kaki di dunia nyata dan satu
kaki di dunia digital.
Dan anehnya, di
tengah semua itu, aku selalu ingat masa kecilku.
Anak
Pendatang yang Diajak Pulang ke Budaya Bali
Orang tuaku
datang ke Bali sebagai perantau. Pendatang. Tetapi sejak kecil, mereka percaya
bahwa tempat berpijak itu harus dihormati seperti rumah sendiri. Maka merekalah
yang pertama kali mendorongku belajar budaya Bali. Bukan sekadar formalitas,
tapi sebagai cara untuk mencintai tanah kelahiranku.
Aku masih
ingat—jelas sekali—bagaimana aku diajak belajar tari sakral tari baris.
Rambut masih potong mangkok, kaki gemetar, tapi hatiku entah kenapa selalu
hangat. Ada momen-momen di mana aku merasa seolah-olah tangan-tangan tak
terlihat memegang pundakku dan bilang pelan, “Nak, kamu bagian dari ini
juga.”
Lalu aku
belajar tari janger, bersama teman-teman sebaya. Dari panggung-panggung
kecil di banjar sampai pentas akhir tahun sekolah. Rasanya seperti dunia
membentang luas di depan mata, tapi kaki tetap tertanam di bumi Bali.
Dan guru tari
itu—Pak Kadek. Ah, lelaki sabar yang entah bagaimana caranya bisa membuat anak
kecil sepertiku menghafal gerakan rumit tanpa marah sedikit pun. Dialah yang
membuka mataku bahwa budaya itu bukan benda beku. Ia hidup. Ia bernapas. Ia
menular.
Tidak berhenti
di situ. Aku juga belajar membuat gebogan, belajar mejejahitan, belajar
bahwa budaya Bali itu bukan sekadar upacara, tapi ritme hidup yang mengalir
dari generasi ke generasi.
Lingkunganku
waktu itu… rasanya adem. Kondusif. Komunal. Semua orang saling dukung, walau
beda agama, beda asal, beda cerita hidup. Dan karena itulah, meski aku tumbuh
sebagai seorang muslim yang tetap ngaji tiap hari di musholla, aku juga sangat
paham karakter budaya Bali—karena aku hidup di dalamnya.
Sayangnya, apa
yang dulu aku lihat… sekarang perlahan mulai memudar pada generasi yang lebih
baru.
Ketika
Generasi Baru Tumbuh dengan Ritme yang Berbeda
Bali hari ini
bukanlah Bali di masa kecilku.
Komposisi penduduknya berubah drastis. Data bilang:
- Gen Z: 27,94%
- Milenial: 25,87%
- Gen X: 21,88%
- Baby Boomers: 11,56%
- Pre-Boomers: 1,87%
Nama-nama
generasi itu seperti pelangi; warnanya beda-beda, tapi semuanya punya peran di
langit yang sama. Namun dinamika sosialnya benar-benar berubah.
Gen X
Merekalah
pemegang kendali hari ini—pejabat, tokoh adat, pemimpin institusi. Mereka
adalah jembatan antara tradisi lama dan dunia modern. Karakter mereka kokoh,
konservatif, penuh struktur. Mereka menjaga budaya seperti menjaga pusaka
keluarga.
Milenial
Generasi yang
mulai naik ke posisi strategis. Adaptif, kreatif, dan tech-savvy. Mereka
membawa budaya Bali ke TikTok, YouTube, dan startup. Tradisi dibungkus ulang
agar relevan. Kadang berhasil, kadang terlalu jauh dari pakem.
Gen Z
Anak-anak
digital native. Lahir dari perut internet. Untuk mereka, dunia adalah layar 6
inci. Informasi cepat, inspirasi global, referensi visual tanpa batas.
Dan di sinilah
tantangannya muncul:
ketika budaya global masuk lebih cepat daripada budaya lokal bisa
diwariskan.
Pergeseran
Itu Nyata. Sangat Nyata.
Dulu, anak-anak
belajar menari karena itu bagian dari ritme hidup.
Sekarang, banyak yang belajar jika…
ya, kalau viral.
Dulu, bahasa
Bali hidup dari mulut ke mulut di rumah, di warung, di banjar.
Sekarang, lebih banyak yang nyaman pakai Bahasa Indonesia atau Inggris.
Dulu, gotong
royong adalah identitas.
Sekarang, fleksibilitas dan privasi jadi prioritas.
Ini bukan salah
siapa-siapa.
Memang dunia bergeser.
Teknologi merombak kebiasaan.
Globalisasi mengubah selera.
Migrasi memperkaya sekaligus menantang identitas lokal.
Dan entah
kenapa, aku sering berpikir:
“Jika
aku—anak pendatang—justru dibesarkan dengan pemahaman budaya Bali yang kuat,
mengapa banyak anak asli Bali justru tidak mendapatkan pengalaman yang sama
hari ini?”
Jawabannya
berat, tapi nyata:
karena lingkungan sosial yang dulu kondusif, kini mulai terkikis.
Pemerintah
Sudah Berbuat Banyak… Tapi Ada yang Kurang Terlihat
Program seperti
Ajeg Bali, pendidikan berbasis budaya, digitalisasi budaya, hingga
pemberdayaan Pasikian Yowana adalah langkah besar.
Bali masih
punya identitas kuat, itu fakta.
Upacara adat masih ramai.
PKB tiap tahun makin megah.
Konten budaya Bali viral di media sosial.
Tapi ada celah
kecil—yang sebenarnya sangat besar—yang sering terlewat:
pendekatan humanis dari hati ke hati.
Pemerintah bisa
mengatur kurikulum.
Desa adat bisa membuat awig-awig.
Festival bisa diperbesar.
Gedung budaya bisa dibangun.
Tapi…
Siapa yang
mengajari anak-anak mencintai budaya seperti Pak Kadek mengajari aku dulu?
Siapa yang
duduk dengan anak-anak, mengenalkan makna filosofis, bukan hanya bentuk
kegiatan?
Siapa yang
membuat banjar kembali jadi ruang aman untuk tumbuh kembang anak-anak, bukan
sekadar tempat rapat?
Siapa yang
memastikan generasi muda ikut merasa memiliki, bukan sekadar
menjalankan?
Itulah yang
hilang.
Yang seharusnya hidup, malah tenggelam di antara kesibukan pembangunan,
pariwisata, dan tuntutan modernitas.
Ancaman
Sebenernya Bukan Globalisasi… Tapi Ketidakseimbangan
Generasi muda
penuh potensi.
Milenial bisa mendigitalisasi budaya.
Gen Z bisa membuat Bali mendunia.
Tapi tanpa
pondasi nilai lokal,
mereka bisa tumbuh seperti pohon tinggi tanpa akar—membuang bayang-bayang
sendiri saat badai datang.
Allah SWT
memberikan peringatan lembut dalam Al-Qur’an:
“Allah tidak
akan mengubah nasib suatu kaum hingga mereka mengubah apa yang ada pada diri
mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Dan Rasulullah
SAW mengingatkan:
“Setiap
kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas
yang dipimpinnya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Budaya Bali dan
budaya asal kita masing-masing adalah amanah.
Akar yang harus dijaga sebelum pohonnya tumbuh terlalu tinggi.
Karena Itu
Aku Bersyukur Pernah Mengalami Masa Kecil yang Lengkap
Aku belajar
tari baris.
Aku menari janger di panggung kecil.
Aku diajari Pak Kadek dengan cinta.
Aku membuat gebogan dengan tangan gemetar.
Aku ngaji tiap ba’da maghrib di musholla kecil.
Aku tumbuh
sebagai perantau sekaligus anak Bali.
Aku membawa Solo dan Madura dalam darahku,
tapi membawa Bali dalam jiwaku.
Dan inilah yang
sering aku rindukan pada generasi hari ini—
bukan sekadar kegiatan budaya, tapi pengalaman hidup budaya.
Akhirnya…
Semua Kembali ke Ruang Paling Kecil: Keluarga
Pemda bisa mengatur.
Desa adat bisa menjaga.
Sekolah bisa mengajarkan.
Tapi keluarga…
keluarga adalah akar.
Jika keluarga
menghidupkan budaya,
anak-anak tidak akan tercerabut dari identitasnya.
Jika keluarga
membangun jembatan,
anak-anak tidak akan hanyut oleh gelombang globalisasi.
Jika keluarga
menanamkan rasa syukur—
anak-anak akan tumbuh mencintai tanah tempat mereka berpijak.
Dan mungkin
suatu hari nanti, Bali akan menemukan lagi momentumnya—
di tangan generasi baru yang tidak hanya cerdas secara digital,
tapi juga kuat dalam karakter,
dan lembut dalam jiwa.