PANGGUNG DEPAN, PANGGUNG BELAKANG: DRAMA SUNYI DI BALIK HIDUP KITA
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Pembuka yang
Mengalir dari Lagu ke Renungan Ada satu sore ketika lagu God Bless—“PANGGUNG
SANDIWARA”—tiba-tiba muter di kepala kayak notifikasi WhatsApp yang nggak
berhenti. “Dunia ini panggung sandiwara…” katanya. Dan entah kenapa, dari bait
sederhana itu, pikiran langsung ngelayang ke hal-hal yang lebih dalam daripada
kopi hitam di waktu begadang.
Kebetulan
banget sebelumnya aku baru baca tentang teori dramaturgi—sebuah pemikiran
sosiologi yang bilang bahwa kehidupan sosial itu mirip banget sama teater. Kita
semua aktor. Kita semua punya panggung. Dan yang paling penting, kita semua main
peran.
Mulai dari
situ, semuanya jadi masuk akal: kenapa kita capek, kenapa kita pura-pura kuat,
kenapa kita senyum padahal hati lagi ambyar kayak kaca kena peluru.
Teori
Dramaturgi: Ketika Ilmu Sosial Ngebongkar Kehidupan
Secara
akademis, Erving Goffman, sosiolog yang terkenal dengan teori dramaturginya,
menjelaskan bahwa:
- Front stage (panggung depan)
Adalah ruang tempat manusia menampilkan versi sosial yang “rapi dan sopan”. Di sini, ekspresi, bahasa tubuh, cara bicara, bahkan gaya pakaian semuanya diatur. Tujuannya? Mengontrol kesan. Membentuk citra. Menciptakan interpretasi ideal tentang diri. - Back stage (panggung belakang)
Adalah ruang ketika topeng dicopot. Tempat manusia pulang ke dirinya sendiri. Di sini nggak ada skrip. Nggak ada tuntutan. Nggak ada spotlight. Yang ada hanyalah kejujuran, kerapuhan, dan kenyataan yang kadang jauh dari yang ditampilkan.
Dalam
interaksi sosial, manusia mengatur ekspresi seolah-olah mereka sedang
“memerankan” sesuatu. Tapi ini bukan soal kepura-puraan, melainkan adaptasi.
Manusia ingin diterima, diakui, dan dicintai—dan panggung depan adalah cara
untuk bertahan di dunia sosial yang penuh norma.
Saat
Hidup Berasa Kayak Teater Tanpa Skrip
Terkadang
kita mikir, hidup ini tuh kayak nonton teater di malam minggu, tapi dengan
twist brutal:
kita bukan cuma penonton—kita juga aktor, sutradara, penata lampu, sekaligus
crew panggung yang panik kalau lampunya ngadat.
Dan lucunya?
Nggak ada yang pernah kasih naskah.
Kita
improvisasi setiap hari. Dengan peran yang berubah-ubah. Dengan ekspresi yang
kita tata sedemikian rupa biar nggak kelihatan berantakan.
Kisah Reza
Rahadhian: Dua Wajah dalam Satu Tubuh
Bayangin
seorang laki-laki—kita kasih nama Reza Rahadhian, biar terdengar keren
sekaligus relatable.
Di panggung
depan, Reza ini paket lengkap:
- jokes selalu on point,
- ketawa paling keras,
- bawa suasana jadi cair,
- terlihat paling stabil secara emosional.
Kalau
nongkrong, dia semacam “MC kehidupan.” Semua suka dia. Semua nyaman dekat dia.
Tapi begitu
pintu kosnya menutup… panggung berubah.
Di panggung
belakang:
- Reza menghela napas panjang,
- lepas sepatu yang bikin lecet,
- bengong di depan kipas angin yang bunyinya udah
kayak suara robot sekarat,
- dan tiba-tiba hati terasa kayak mie tek-tek:
panas, ramai, tapi tetap aja berantakan.
Setiap malam
Reza bertanya:
“Sampai
kapan gue harus kelihatan baik-baik aja? Apa gue nggak boleh jujur kalau gue
lagi nggak kuat?”
Semakin dia
sempurnakan peran di panggung depan, semakin sepi panggung belakangnya.
Kita Semua,
Pada Dasarnya, Reza
Ini bukan
soal Reza aja. Ini soal kita.
Kita beda
di:
- kantor
- rumah
- depan pasangan
- media sosial
- grup WhatsApp alumni
- bahkan di depan cermin pun kadang kita pasang
persona baru
Dan semua
itu bukan kebohongan.
Itu cara kita bertahan.
Karena
manusia butuh diterima. Dan penerimaan itu sering terasa bersyarat:
- harus kuat,
- harus sukses,
- harus terlihat bahagia,
- harus “nggak nyusahin orang”.
Padahal hati
kadang cuma ingin bilang:
“Hallo,
boleh nggak sekali aja aku jadi rapuh tanpa dihakimi?”
Ketika
Panggung Itu Akhirnya Retak
Ada satu
waktu ketika Reza nggak kuat lagi. Saat nongkrong, dia cuma diam. Jokes-nya
macet, senyumnya kusut.
Temannya
nanya:
“Bro, kok lo
beda?”
Dan malam
itu untuk pertama kalinya Reza jujur:
“Gue capek
pura-pura kuat.”
Yang
terjadi?
Bukan drama, bukan hujatan, bukan dijauhi.
Justru:
- ada pelukan,
- ada obrolan jujur,
- ada kedekatan yang selama ini tertutup oleh
peran.
Dari situ
Reza sadar:
ternyata sisi rapuh manusia justru yang bikin kita lebih dekat satu sama lain.
Pelajaran
Kehidupan yang Dalam tapi Sederhana
Dari
perspektif akademis, dramaturgi mengajarkan bahwa identitas bukan sesuatu yang
tunggal. Ia adalah kumpulan peran yang kita pertunjukkan sesuai dengan tuntutan
sosial.
Dari
perspektif kemanusiaan, kisah Reza mengajarkan bahwa:
- Panggung depan perlu, tapi panggung belakang
jangan diabaikan.
- Peran penting, tapi pemeran utama tetap diri
sendiri.
- Topeng boleh, tapi jangan sampai lupa wajah asli
kita.
- Kerapuhan bukan kelemahan—itu jembatan yang
memperdalam hubungan.
Dan justru
di ruang belakang itulah kesehatan mental kita dijaga.
Menghangatkan
Kalau hari
ini kamu lagi capek tampil di panggung depan… itu wajar.
Nggak harus kuat terus. Nggak harus sempurna. Nggak harus rapi setiap saat.
Coba lepas
sepatu, rebahan, dan kasih ruang buat hati kamu bernapas.
Dan kalau
suatu hari panggung depanmu retak, jangan panik.
Siapa tahu dari reruntuhan itu kamu ketemu orang-orang yang benar-benar
mencintai kamu tanpa syarat.
Karena
akhirnya, hidup bukan soal performa.
Bukan soal naskah.
Bukan soal tepuk tangan.
Hidup adalah
soal kejujuran hati, keberanian menjadi diri sendiri, dan kemampuan menerima
bahwa kita manusia—bukan aktor yang harus main tanpa henti.
Dan di
tengah segala peran yang kita mainkan, jangan lupa satu hal:
kita layak dicintai bahkan ketika layar panggung itu sudah turun.