PANGGUNG YANG KEMBALI MENYALA: CATATAN DARI SABTU PENUH HARAPAN
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Pagi itu, Sabtu 29 November 2025, Denpasar terasa lebih lembut dari biasanya. Angin sejuk seperti baru mandi, matahari muncul malu-malu dari balik mendung tipis, dan aku… berdiri di depan kaca, mengambil napas yang sedikit lebih panjang dari biasanya.
“Ya Allah, ini panggung pertamaku setelah stroke…” batinku.
Bukan panggung besar, bukan pula acara megah. Tapi bagiku, panggung ini adalah tanda bahwa Allah masih memberiku satu kesempatan lagi untuk menjadi manusia yang berguna.
Di saat sebagian besar saudara-saudaraku umat Hindu di Bali sedang mengenakan pakaian terbaik menuju Pura keluarga—merayakan Hari Raya Kuningan dengan khusyuk dan penuh kebahagiaan—aku melangkah ke tempat yang berbeda: Yayasan Kesejahteraan Ukhuwwah, Denpasar Barat.
Tempat kecil, tapi penuh nyawa. Penuh harapan.
Penuh jiwa-jiwa muda yang ingin belajar, tumbuh, dan melompat lebih jauh.
Hari itu aku tidak sendiri.
Aku ditemani seorang pendakwah muda cerdas—Gus Hasan.
Kami berdua akan mengisi sebuah pelatihan bertema Motivasi & Mindset Management bagi para guru muda dan staf PKBM Mirah Pemecutan Mandiri.
PKBM ini bukan hanya sekadar tempat belajar.
Di gang kecil bernama Gang Mirah, di Jl. Subur, berdiri rumah harapan:
di sini orang dewasa kembali duduk seperti anak sekolah, mengejar Paket A, B, C; di sini ibu-ibu kembali percaya bahwa hidupnya tak berhenti sampai dapur; di sini anak muda kembali punya arah setelah tersesat di jalan.
Semuanya dinaungi oleh Yayasan Kesejahteraan Ukhuwwah—sebuah lembaga yang bukan hanya mengajarkan ilmu, tapi menyalurkan zakat, menyebarkan nasi jinggo gratis, mengajak masyarakat tertib berkendara, bahkan melakukan sosialisasi bencana.
Di tempat seperti ini, manusia diajari bukan hanya cara hidup, tapi cara menjadi manusia.
Begitu memasuki aula kecil itu, aku terdiam.
Bukan karena gugup. Bukan karena takut gagal.
Tapi karena melihat wajah-wajah muda yang matanya seperti lampu LED 12 watt—terang, fokus, dan haus ilmu.
Ada Mas Adi, pemuda gagah yang setiap kali aku melemparkan materi, ia langsung menangkap seperti penjaga gawang profesional. Tapi gaya bicaranya tetap melankolis, khas orang yang terlalu peka pada kehidupan tapi berusaha tampil tangguh.
Ada para guru muda yang duduk tegak, siap menyerap apa pun yang kami sajikan.
Ada semangat yang nyaris bisa kurasakan dari udara:
semacam gemuruh halus dari jiwa-jiwa yang ingin berubah.
Dan di saat itulah, dadaku mendadak hangat.
Bukan karena bangga—tapi karena merasa Allah benar-benar Maha Baik.
Aku mulai materi dengan hal yang paling penting:
Panggung Dalam → Panggung Luar.
“Teman-teman,” kataku, “sebelum kalian melangkah keluar menata dunia, kalian harus lebih dulu menata dunia kecil di dalam diri. Karena panggung luar itu hanya cerminan dari panggung dalam. Kalau yang di dalam kacau… yang di luar pasti berantakan.”
Beberapa peserta mengangguk.
Mas Adi tampak langsung menulis cepat—entah menulis materi, atau menulis target hidup baru.
Aku lanjutkan.
“Juara itu bukan mereka yang tak pernah takut. Tapi mereka yang menang melawan rasa takut.”
Aku kisahkan proses panjangku…
Bagaimana dulu aku bocah kampung yang sering dianggap bodoh.
Bagaimana aku men-judge diriku sendiri sebagai orang yang tak akan jadi apa-apa.
Bagaimana hidup menamparku dengan stroke.
Dan bagaimana Allah menunjukkan bahwa aku masih punya kesempatan berdiri lagi di panggung—meski kali ini tidak sekuat dulu, tapi lebih sarat makna.
“Teman-teman…”
suara dalamku bergetar sedikit.
“Zona nyaman itu seperti kasur hotel. Empuk, wangi, bikin betah… tapi kalau kelamaan, kalian tidak akan mencapai apa-apa.”
Beberapa tertawa kecil.
Ya, sedikit humor memang membuat pelatihan pagi itu jauh lebih manusiawi.
Aku bicara soal:
Mengelola Emosi
Bertindak berdasarkan tujuan, bukan mood.
Gunakan logika ketika emosi mulai berisik.
Mengelola Fokus
Fokus pada hal high impact.
Prioritas > distraksi.
Menghancurkan Limiting Beliefs
“Saya tidak bisa” → “Saya belum bisa.”
Penting: menampar keyakinan palsu yang selama ini menahan kita.
Di dalam Al-Qur’an Allah berkata:
﴿ إِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّىٰ يُغَيِّرُوا مَا بِأَنْفُسِهِمْ ﴾
InnaLlaha laa yughayyiru maa biqoumin hatta yughayyiruu maa bi-anfusihim
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.” (QS. Ar-Ra’d: 11)
Dan juga hadits:
اِعْقِلْهَا وَتَوَكَّلْ
I'qilhā wa tawakkal
“Ikatlah untamu, lalu bertawakkallah.”
(HR. Tirmidzi)
Bahwa perubahan bukan hanya tentang doa—tapi juga tindakan.
Bukan hanya tentang tawakal—tapi juga usaha.
Pelatihan berlangsung penuh energi.
Gelak kecil.
Beberapa momen hening.
Beberapa wajah yang tiba-tiba sadar bahwa mereka selama ini hidup dibatasi oleh pikiran mereka sendiri.
Lalu di ujung acara, Gus Hasan menutup sesi dengan penilaian kepribadian.
MasyaAllah… aula kecil itu berubah menjadi ruang evaluasi diri.
Ada peserta yang tersenyum, ada yang mengangguk-angguk, ada yang tampak seperti baru saja menemukan dirinya yang hilang.
50-an anak muda ini tampak seperti mesin besar yang baru saja dinyalakan.
Aku yakin, hari itu bukan hanya pelatihan.
Itu adalah permulaan.
Ketika acara selesai, aku berjalan pelan ke luar aula.
Tanganku masih sering terasa berat setelah stroke, tapi langkahku terasa ringan.
Entah kenapa, di pagi yang sederhana itu, aku merasa menjadi manusia yang utuh kembali.
Allah memberiku panggung kecil ini.
Panggung yang mengajarkan bahwa nilai terbesar bukan pada seberapa besar sorakan yang kita terima…
tetapi seberapa banyak hati yang bisa kita sentuh.
Dan ketika aku berdiri di depan pintu gerbang PKBM itu, aku tersenyum pelan.
“Alhamdulillah…”
Bisikku pada diri sendiri.
“See you on the top, anak-anak muda. Semoga Allah jadikan kalian cahaya yang menggerakkan Yayasan Kesejahteraan Ukhuwwah ke masa depan yang lebih gemilang.”
Pagi itu, Denpasar tetap mendung tipis.
Tapi di dalam hatiku…
cahaya terasa jauh lebih terang.

