347 LANGKAH MENUJU PULANG: LIBURAN YANG DIAM-DIAM MENGUBAH HIDUP
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Liburan semester selalu datang dengan rasa yang sama: dada terasa longgar, kepala agak kosong, dan hati seperti baru lolos dari medan perang bernama ujian. Soal-soal yang kemarin rasanya dibuat bukan untuk menguji kecerdasan, tapi keikhlasan dan iman. Begitu bel terakhir berbunyi, aku dan Bram saling pandang—pandangan dua prajurit yang baru keluar dari bunker, wajah kusam tapi mata berbinar.
“Gas liburan?” tanyaku sok santai.
“Wajib,” jawab Bram, dengan ekspresi kalem yang gagal menutupi otaknya yang muter kayak kipas angin Miyako.
Tanpa diskusi panjang, tujuan itu muncul dari kenangan lama: Solo. Lebih spesifik lagi, rumah Mas Anin—atlet renang nasional, badan kekar, hati lembut, tinggal di komplek TNI AU Adi Soemarmo. Tempat yang aneh tapi hangat: keras kayak aba-aba baris-berbaris, tapi ramah kayak sayur lodeh nenek di sore hujan.
“Gratis seminggu nginep,” kataku.
Bram langsung berdiri, “Berangkat. Biar aspal Bali gosong, Solo tetap kita datangi.”
Kami naik Bus Malam Bali Express kelas VIP. AC-nya dingin kayak kulkas hotel, kursinya empuk, lampunya redup—kami merasa seperti anak diplomat yang lagi mudik ke negara tetangga. Di tengah perjalanan, Bram nyeletuk, “Kalau besok kita nyasar gimana?”
“Kita kan jago survive,” jawabku, dengan kepercayaan diri yang bahkan diriku sendiri ragu.
Dan hidup, seperti biasa, langsung menepuk pundakku sambil senyum tipis: kami nyasar.
Kami turun bukan di Patung Manahan, tapi di entah-mana. Pinggiran kota, lampu remang, suasananya kayak adegan pembuka film detektif. Tanpa HP, tanpa GPS—modal kami cuma nyali, tas ransel, dan wajah polos yang berharap orang iba. Tanya becak, malah makin jauh. Sampai akhirnya Mas Anin datang dengan motor, ditemani dua sahabatnya. Begitu lihat wajahnya, rasanya kayak melihat malaikat yang baru selesai olahraga sore.
“Dik… kalian salah turun. Jauh banget pula,” katanya sambil ketawa.
Bram garuk kepala, “Kadang arah salah itu bikin cerita lebih seru, Mas.”
Dan entah kenapa, malam itu kalimat itu terdengar bijak sekali.
Rumah Mas Anin adalah markas militer berhati Disney. Ayahnya—Wakil Komandan—menyambut dengan senyum yang bikin punggung kami refleks lurus. Di sana ada Mas Bavo yang cerewet tapi bikin hidup, Mas Fathur yang pendiam tapi senyumnya menenangkan, dan Anita alias Nyit Nyit—pacarnya Mas Anin—cerewetnya level “speaker masjid subuh”. Tapi justru dari semua itu, rumah itu terasa… pulang.
Hari paling legendaris adalah Tawangmangu. Menuju Grojogan Sewu, anak tangganya seperti tak ada ujung. Baru belasan langkah, Bram sudah menghela napas kayak sapi habis membajak sawah.
“Berapa?” tanyanya tiap sepuluh langkah.
Sampai akhirnya, dengan betis yang rasanya sebesar paha ayam goreng KFC, ia berhenti dan berteriak,
“TIGA RATUS EMPAT PULUH TUJUH, BROOO! INI BUKAN LIBURAN, INI LATIHAN KOMANDO!”
Sejak itu, 347 jadi angka sakral kami. Angka yang dicapai sambil setengah mati. Angka yang selalu bikin ketawa. Angka yang anehnya terasa hangat. Di sana aku teringat satu kalimat: kita semua berjalan dalam gelap, dan masing-masing harus menyalakan cahayanya sendiri. Hari itu, meski capek, kami merasa lebih terang. Lebih hidup.
Malam-malam di Solo terasa magis. Mas Anin sering mengambil gitar dan menyanyikan “Masih Ada” dari 2D. Suaranya lembut, matanya menerawang. Kami diam—bukan karena tak punya kata, tapi karena hati kami ikut duduk. Suatu malam ia berkata pelan,
“Hidup itu bukan soal siapa paling cepat, Dik… tapi siapa yang tetap ada.”
Beberapa tahun kemudian, Mas Anin pergi untuk selamanya. Meninggalkan kami. Meninggalkan Anita. Meninggalkan seorang bayi kecil yang belum hafal wajah ayahnya. Yang tersisa kenangan, dan secarik kertas di plastik bekal: “Yang paling mahal itu… persahabatan.”
Ada juga episode memalukan: kami masuk club malam bernama Legend. Lampu kelap-kelip, musik jedag-jedug, orang goyang seperti ombak. Kami berdiri dekat pintu, kaku kayak dua anak kampung nyasar ke dunia lain. Lima menit kemudian Bram berbisik,
“Bro… lebih enak dengerin Mas Anin nyanyi 2D.”
Kami keluar sambil ngakak. Dunia itu terlalu cepat untuk hati kami yang masih setia pada teh manis hangat.
Saat pulang, langit pagi gelap tapi damai.
“Apa yang kita bawa dari Solo?” tanya Bram.
“347,” jawabku.
Di bus Cakrawala, kami banyak diam. Tapi kepala kami ramai: becak, tawa, air terjun, lagu 2D, senyum orang-orang. Kami sadar ini bukan liburan. Ini proses tumbuh. Ini pertemanan. Ini… hidup.
Setelahnya, 347 jadi bahasa rahasia. Putus cinta? “Tenang, 347.” Ulangan susah? “347, Coy.” Guru killer masuk kelas? “Siap mental 347.” Teman-teman tak paham, tapi percaya—karena kami mengucapkannya dengan hati yang pernah naik 347 langkah. Kaos impian bertuliskan “Tawangmangu Warrior – 347 Steps Survivor” gagal terwujud. Duit cuma cukup buat spidol.
Tahun berlalu. Seragam jadi jas kampus, lalu ID card kantor, lalu hidup yang lebih rumit dari soal fisika. Dan setiap kali hidup terasa berat, aku menulis 347 di sudut agenda. Seketika semuanya kembali: suara becak, tawa Mas Bavo, cerewetnya Nyit Nyit, dan suara Mas Anin menyanyikan “Masih Ada”. Kadang sambil minum teh hangat, aku sadar: sebagian diriku masih di sana—di Solo, di Grojogan Sewu, di angka 347.
Karena sejatinya, ini bukan tentang jalan-jalan. Ini tentang bagaimana kenangan kecil membangun jiwa besar. Tentang angka sepele yang jadi simbol perjalanan hati. Tentang remaja yang menemukan dirinya dalam lelah, tawa, salah turun bus, dan lagu sederhana di ruang tamu rumah sederhana. 347 bukan sekadar hitungan tangga. Ia adalah umur sebuah kenangan—yang tak pernah benar-benar tua.
Dan kelak, saat aku dan Bram sudah berambut putih, duduk di pos ronda sambil ngeteh, aku yakin kami akan saling melirik.
“Inget nggak, Bro?”
“347, Bro…”
Lalu kami tertawa lagi—tawa yang lahir di Solo, dan tak pernah benar-benar pergi dari hidup kami.