CINTA ITU SEARAH, MESKI TAK SELANGKAH
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO
BERIKUT :
— Ketika Cinta Belajar Tunduk kepada Allah
Aku pernah mengira cinta itu soal tatapan. Tentang dua pasang mata yang saling menemukan, lalu dunia mendadak sunyi, seperti adegan film yang diperlambat. Hujan turun rapi, musik sendu mengalun, dan hidup terasa selesai di situ. Padahal kenyataannya, setelah tatapan pertama, hidup justru baru dimulai. Tagihan datang tanpa permisi, pekerjaan menumpuk seperti cucian seminggu, mimpi-mimpi minta diperjuangkan, dan ego—ah, ego—datang paling awal dan pulang paling akhir.
Suatu malam, entah dari buku siapa atau unggahan siapa, aku membaca kalimat ini:
“Cinta bukan saling memandang, tapi melihat ke arah yang sama.”
Awalnya terdengar klise. Kalimat yang cocok dipajang di dinding kafe, ditemani kopi pahit dan Wi-Fi gratis. Tapi semakin kupikirkan, semakin terasa dalam. Karena cinta memang bukan soal memastikan wajah siapa yang kita lihat setiap hari, melainkan ke mana kaki ini melangkah bersama. Bukan soal seberapa sering bilang “aku cinta kamu”, tapi seberapa kuat bertahan saat jalan hidup menanjak dan angin datang dari depan.
Namun dalam Islam, cinta punya akar yang lebih dalam. Cinta tidak berdiri sendiri. Ia tidak hidup dari perasaan semata. Cinta, kalau tidak diikat oleh Allah, mudah rapuh. Mudah lelah. Mudah berubah jadi tuntutan.
Allah mengingatkan kita dalam Al-Qur’an:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
(Wa min āyātihī an khalaqa lakum min anfusikum azwājan litaskunū ilaiha wa ja‘ala bainakum mawaddatan wa raḥmah)
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya, Dia menciptakan untukmu pasangan dari jenismu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang.” (QS. Ar-Rum: 21)
Perhatikan baik-baik. Allah tidak hanya menyebut cinta (mawaddah), tapi juga kasih sayang (rahmah). Karena cinta saja tidak cukup. Cinta bisa panas di awal, tapi rahmahlah yang membuatnya bertahan saat dingin datang.
Aku teringat sepasang sepatu lama di rak rumah. Tidak pernah benar-benar kembar. Yang kanan lebih aus di tumit, yang kiri penuh goresan. Tapi setiap pagi, keduanya tetap berangkat bersama, menuju tujuan yang sama. Begitulah cinta. Kadang satu lelah duluan, kadang satu tertinggal. Tapi selama arah masih sama—selama Allah masih jadi tujuan—perjalanan bisa dilanjutkan.
Dalam cinta yang dewasa, ego tidak lagi berdiri di depan sambil teriak paling benar. Ego belajar duduk di bangku belakang. Masih mengomel, iya. Tapi tidak lagi memegang setir. Yang memegang kemudi adalah komitmen, dan yang menjadi peta adalah nilai-nilai dari Allah. Karena tanpa itu, cinta mudah tersesat.
Rasulullah ﷺ bersabda:
إِذَا أَحَبَّ أَحَدُكُمْ صَاحِبَهُ فَلْيُعْلِمْهُ أَنَّهُ يُحِبُّهُ
(Idzā aḥabba aḥadukum ṣāḥibahu fal yu‘limhu annahu yuḥibbuh)
“Jika salah seorang di antara kalian mencintai saudaranya, maka hendaklah ia memberitahukan bahwa ia mencintainya.” (HR. Abu Dawud)
Tapi cinta dalam Islam tidak berhenti di kata-kata. Ia dibuktikan dengan akhlak. Dengan kesabaran. Dengan kesediaan mengalah tanpa merasa kalah.
Ada hari-hari ketika cinta tidak romantis sama sekali. Tidak ada bunga. Tidak ada kata-kata manis. Yang ada hanya dua orang lelah, saling diam, lalu salah satunya berkata, “Makan dulu, nanti tambah pusing.” Dan entah kenapa, itu terasa sangat mencintai. Karena cinta sering bersembunyi di hal-hal kecil. Di perhatian sederhana. Di doa diam-diam setelah shalat.
Kami pernah hampir lupa arah itu.
Hari-hari berjalan terlalu cepat. Terlalu sibuk mengejar dunia sampai lupa duduk dan saling mendengar. Cinta yang dulu hangat berubah seperti kopi yang kelamaan di meja—masih ada, tapi dingin. Bukan karena tak sayang. Hanya karena sama-sama lelah. Dan lelah, sayangnya, sering disangka bosan.
Suatu malam kami duduk bersebelahan, tapi terasa berjauhan. Televisi menyala, tapi tak ada yang benar-benar menonton. Ponsel lebih sering disentuh daripada tangan. Aku sempat berpikir, “Apa ini akhir?” Tapi cinta yang dewasa jarang berakhir dengan ledakan. Ia hampir selesai pelan-pelan. Seperti lilin yang padam bukan karena angin, tapi karena lupa dijaga.
Lalu kami tertawa. Hal sepele. Salah dengar. Salah paham. Dan tawa itu—kecil, canggung, tapi jujur—membuka pintu. Kami bicara tentang capek. Tentang takut gagal. Tentang mimpi yang tertunda. Malam itu masalah tidak selesai. Tapi arah kembali jelas. Dan dalam cinta, itu sudah cukup.
Islam mengajarkan, cinta yang benar adalah cinta yang saling menolong menuju Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
رَجُلَانِ تَحَابَّا فِي اللَّهِ اجْتَمَعَا عَلَيْهِ وَتَفَرَّقَا عَلَيْهِ
(Rajulāni taḥābbā fillāh ijtama‘ā ‘alaihi wa tafarraqā ‘alaihi)
“Dua orang yang saling mencintai karena Allah, mereka berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Cinta seperti ini tidak ribut soal siapa paling benar. Ia sibuk bertanya: apakah kita masih saling mendekatkan pada Allah? Karena jika tidak, maka cinta itu kehilangan maknanya.
Ada kalanya langkah kami tidak sinkron. Aku ingin berlari, dia ingin berjalan. Aku ingin cepat sampai, dia ingin menikmati jalan. Dulu itu bahan pertengkaran. Sekarang kami paham: tujuan yang sama tidak menuntut kecepatan yang sama. Yang penting, arah tidak berubah.
Cinta mengajarkan bahwa bahagia bukan soal selalu tertawa. Tapi bertahan di hari-hari biasa. Hari tanpa kabar baik. Hari ketika satu-satunya pencapaian adalah, “Alhamdulillah, kita masih di sini.” Dan ternyata, itu bukan prestasi kecil.
Aku akhirnya mengerti: cinta tidak bermakna apa-apa jika bukan karena Allah. Tanpa Allah, cinta mudah berubah jadi tuntutan. Dengan Allah, cinta berubah jadi ibadah. Saling menasihati. Saling mendoakan. Saling memaafkan.
Jika suatu hari rambut memutih, punggung membungkuk, dan langkah melambat, aku berharap kami masih berjalan ke arah yang sama. Meski sambil mengeluh lutut sakit, sambil lupa naruh kunci, sambil tertawa kecil. Karena cinta yang bertahan bukan yang paling romantis di awal, tapi yang paling setia di perjalanan—menuju Allah.
Dan jika ada yang bertanya apa rahasia cinta yang panjang, jawabannya sederhana: arah yang sama, tujuan yang sama, dan Tuhan yang sama.
Karena pada akhirnya, cinta bukan tentang siapa yang paling sering menoleh ke belakang. Tapi tentang keberanian menatap ke depan—sambil percaya, ada seseorang di sampingmu, berjalan searah, meski tak selalu selangkah, menuju ridha Allah.