INDONESIA RUMAH YANG KITA RUSAK SENDIRI PELAN-PELAN SECARA SADAR
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Aku menulis ini bukan sebagai orang suci, bukan juga sebagai aktivis paling benar. Aku menulis sebagai manusia biasa. Yang kadang masih buang sampah sembarangan kalau lagi capek. Yang masih naik kendaraan bermotor walau tahu polusinya bikin dada bumi sesak. Yang masih duduk manis di kursi kayu, ngetik di meja kayu, sambil sok marah-marah melihat berita hutan gundul di layar ponsel.
Makanya, tulisan ini bukan untuk menyalahkan “mereka”. Ini refleksi buat kita semua. Buat bangs ini—termasuk aku, termasuk kamu.
Sadarkah kita, betapa sering kita sibuk menunjuk jari?
“Korporasi jahat.”
“Pemerintah lalai.”
“Penambang rakus.”
Semua benar. Tapi sering kita lupa bercermin.
Coba cek pelan-pelan, bro. Kursi di rumahmu, mejamu, lemari bajumu—kayu dari mana? Jangan-jangan ia pernah berdiri gagah sebagai pohon tua, sebelum roboh oleh gergaji.
Cincin di jarimu, emas di lehermu—indah berkilau, tapi bisa jadi berasal dari perut bumi yang dikoyak, dari sungai yang tak lagi bisa diminum anak-anak.
Motor, mobil, pesawat yang kita banggakan—asapnya ikut numpang tinggal di langit yang sama dengan paru-paru kita.
Kita mungkin tidak memegang alat berat. Tapi kita ikut menikmati hasilnya.
Dan itu membuat kita—suka atau tidak—ikut berkontribusi.
Indonesia itu sebenarnya seperti rumah yang kelewat kaya.
Lantainya emas.
Dindingnya hutan.
Atapnya langit biru.
Halamannya laut tak bertepi.
Ironisnya, di rumah sekaya ini, bencana kemanusiaan tumbuh pelan-pelan. Bukan seperti ledakan—tapi seperti rayap. Diam-diam. Menggerogoti.
Hutan hujan tropis terbesar ketiga di dunia. Harusnya jadi paru-paru, jadi penyangga hidup. Tapi yang datang justru banjir bandang, longsor, asap, dan pengungsian tahunan. Bukan karena hujan semata—hujan itu sunnatullah—tapi karena hutan diperas sampai lupa caranya menahan air.
Tambang emas, nikel, batubara, tembaga. Kita disebut raja nikel dunia. Keren di presentasi. Tapi di lapangan, air minum tercemar, tanah adat hilang, nelayan kehilangan laut, warga kehilangan kesehatan—dan sering kali kehilangan suara. Yang kaya makin jauh, yang lemah makin sunyi.
Laut kita adalah pusat biodiversitas planet. Tapi reklamasi, limbah, dan penangkapan berlebih membuat nelayan kecil terpinggirkan. Ikan pergi. Manusia menyusul.
Tanah kita subur sepanjang khatulistiwa. Tapi petani justru hidup paling rapuh, terjebak konflik agraria dan alih fungsi lahan.
Ini tragedinya:
bukan kekurangan sumber daya,
tapi ketimpangan pengelolaan dan keserakahan.
Lalu kita bertanya: “Apakah ini perlawanan alam?”
Mungkin bukan. Alam tidak marah. Alam tidak demo. Alam tidak teriak.
Alam itu akuntan yang jujur. Ia menghitung dengan rapi.
Hutan dibabat → banjir datang.
Gunung dikoyak → longsor menyapa.
Laut diracuni → nelayan tumbang.
Tanah dirampas → manusia saling berkonflik.
Yang sering kita sebut “bencana alam”, sejatinya adalah bencana kebijakan, bencana kerakusan, bencana lupa diri. Alam hanya cermin. Ia memantulkan keputusan kita tanpa filter, tanpa editan, tanpa sensor.
Dan yang paling menyedihkan bukan banjirnya.
Bukan panasnya.
Bukan longsornya.
Tapi saat warga harus memilih: kerja berbahaya atau lapar.
Saat anak-anak tumbuh di tanah kaya, tapi masa depannya miskin.
Saat masyarakat adat dianggap penghalang pembangunan.
Saat suara kecil kalah oleh izin besar.
Itu bukan bencana alam.
Itu bencana moral.
Allah sudah mengingatkan jauh sebelum berita banjir dan longsor jadi rutinitas:
﴿ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ﴾
Zhaharal-fasādu fil-barri wal-bahri bimā kasabat aydin-nās
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan oleh perbuatan tangan manusia…”
(QS. Ar-Rum: 41)
Bukan karena Allah lalai. Tapi karena manusia sering lupa adab.
Rasulullah ﷺ bahkan mengingatkan hal yang kelihatannya sepele, tapi dalam:
لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Lā ḍarar wa lā ḍirār
“Tidak boleh membahayakan diri sendiri dan tidak boleh membahayakan orang lain.”
(HR. Ibnu Mājah)
Merusak alam, meracuni air, menghilangkan mata pencaharian—itu bukan sekadar salah kebijakan. Itu pelanggaran adab. Itu menyakiti manusia lain. Itu menyakiti generasi yang belum lahir.
Kalau alam hari ini seolah “berbicara” pada Indonesia, mungkin pesannya sederhana:
“Aku sudah memberimu segalanya. Tapi kau lupa satu hal: rasa cukup.”
Indonesia tidak kekurangan kekayaan.
Indonesia kekurangan keadilan, empati, dan keberanian untuk berkata: cukup.
Dan mungkin, kalau kita mau mendengar lebih pelan—
alam tidak sedang menghukum,
ia sedang memanggil kita pulang.
Pulang ke akal sehat.
Pulang ke adab.
Pulang ke kemanusiaan.
Karena sejatinya, yang paling terluka hari ini bukan hanya bumi.
Tapi manusia Indonesia sendiri.