KETIKA ALAM BERBICARA DAN KITA TAK MENDENGARNYA LAGI



 


UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLINK LINK VIDEO BERIKUT :


Sore itu yang terasa lebih muram dari biasanya. Langit rasanya ikut menunduk, dan hati kita rasanya ikut mengerut ketika melihat berita tentang saudara-saudara kita yang tertimpa bencana. Sedihnya bukan hanya karena air bah yang merendam rumah dan menenggelamkan harapan—tapi karena cerita seperti ini bukan lagi sesuatu yang jarang. Rasanya seperti menonton ulang film lama yang ending-nya selalu sama: tangis, kehilangan, dan janji-janji yang terdengar akrab tapi tak pernah tuntas.

 

Ketika Bumi Menangis, Kita Sibuk Berdebat

Di layar ponsel, berita bencana muncul seperti notifikasi yang tak ada hentinya. Tapi yang paling menyakitkan justru komentar-komentar setelahnya: saling menyalahkan, saling menghina, saling menunjukkan “siapa paling benar”. Medsos kita berubah seperti ruang gladiator modern—ramai, bising, penuh debat, tapi nihil solusi.

Bahkan lebih pedih lagi ketika ada kelompok kecil yang melihat bencana sebagai peluang “cuan cuan duit duit”. Semakin heboh, semakin cocok buat konten, semakin laris buat di-share. Ada yang edit video dengan AI biar lebih dramatis, lebih mencekam—seakan penderitaan orang lain adalah bahan bakar untuk algoritma.

Padahal Nabi ﷺ pernah mengingatkan dengan tegas:

"الْمُسْلِمُ أَخُو الْمُسْلِمِ، لَا يَظْلِمُهُ وَلَا يُسْلِمُهُ"
“Seorang Muslim adalah saudara bagi Muslim lainnya; ia tidak menzhaliminya dan tidak membiarkannya.”
(HR. Bukhari dan Muslim)

Kalau saudara sendiri sedang tenggelam kesedihan, apakah pantas kita berdiri di tepi sungai sambil live streaming?

 

Bencana: Ketika Alam Mengirim Surat Peringatan

Para ahli memperkirakan bencana yang terjadi disebabkan oleh kombinasi hujan ekstrem dan rusaknya ekosistem hutan di hulu DAS. Sebenarnya alam sudah lama sekali mengetuk pintu peringatan kita—tapi kita sibuk memasang headset masing-masing.

Al-Qur’an sudah mengingatkan dengan terang:

"ظَهَرَ الْفَسَادُ فِي الْبَرِّ وَالْبَحْرِ بِمَا كَسَبَتْ أَيْدِي النَّاسِ"
“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat ulah tangan manusia.”
(QS. Ar-Rum: 41)

Dan kita? Ah, kita sering pura-pura tidak lihat.

 

Pemerintah Bergerak, Tapi Hati Masyarakat Lebih Dulu Melompat

BNPB, pemerintah daerah, tim SAR—semua sedang berjibaku di lapangan. Logistik dikirim, personel dikerahkan, koordinasi dijalankan. Tapi masyarakat bertanya-tanya: “Kenapa belum juga ditetapkan sebagai bencana nasional?”

Mungkin ada pertimbangan. Mungkin ada proses.
Tapi rakyat kecil yang tidur di posko pengungsian biasanya tidak punya waktu untuk menunggu drama panjang kebijakan.

Yang terdengar hanyalah komentar sinis:
“Wacana kita kuat, eksekusinya lemah.”

Dan itu, mau tak mau, terasa benar. Negara ini masih jago merespons, tapi belum cukup jago mencegah.

Padahal Allah sudah memberi petunjuk tentang pentingnya ikhtiar dan persiapan:

"وَلَا تُلْقُوا بِأَيْدِيكُمْ إِلَى التَّهْلُكَةِ"
“Janganlah kamu mencampakkan dirimu ke dalam kebinasaan.”
(QS. Al-Baqarah: 195)

Artinya: jangan tunggu bencana datang baru sibuk berlarian.

 

Belajar dari Luka: Dari Krisis ke Manajemen Risiko

Jika kisah bencana ini seperti film lama, mungkin sudah waktunya kita ganti genre.

Dari manajemen krisis → ke manajemen risiko.
Dari panik → ke pencegahan.
Dari saling menyalahkan → ke saling bekerja sama.

Yang kita butuhkan sebenarnya bukan super hero, tapi tiga hal sederhana:

  1. Transparansi data, biar rakyat tahu apa yang sebenarnya terjadi.
  2. Keterlibatan masyarakat lokal, karena mereka yang paling paham tanah, hutan, sungai, dan cuaca di daerahnya.
  3. Penegakan hukum yang tegas, terutama kepada para perusak hutan yang selama ini bersembunyi di balik amplop, izin, atau jabatan.

Kalau tiga hal ini dilakukan, mungkin alam tidak perlu lagi berteriak lewat banjir bandang dan tanah longsor.

 

Di Tengah Derita, Masih Ada Hati yang Hidup

Di balik semua hiruk pikuk medsos dan kegaduhan politik, nyatanya masih banyak orang yang hatinya hidup. Ada relawan yang membawa selimut tanpa diminta. Ada ibu-ibu yang memasak di dapur umum sambil menahan tangis. Ada pemuda yang mengevakuasi warga lanjut usia—bahkan yang bukan keluarganya.

Bagi mereka, bencana bukan konten.
Bukan bahan debat.
Bukan sumber cuan.

Tapi pengingat.
Pengingat bahwa hidup ini rapuh.
Pengingat bahwa kita saling membutuhkan.
Pengingat bahwa dunia ini sementara.

 

Ketika Alam Bicara, Tugas Kita Mendengarkan

Mungkin ini saatnya kita benar-benar berhenti sebentar. Mendengarkan alam. Mendengarkan nurani. Mendengarkan firman Tuhan.

Karena kadang, bencana bukan hanya tentang alam yang rusak—tapi tentang hati manusia yang mengeras.

Semoga setiap musibah yang datang membawa kita kembali pada kesadaran, bukan kembali pada drama. Semoga setiap tangis menjadi doa, bukan bahan konten.

Dan semoga kita semua selalu berada dalam lindungan Allah, dijauhkan dari bencana, dan diberi kekuatan untuk menjadi bagian dari solusi.

Aamiin ya Rabbal ‘alamin.

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN