KETIKA KEPO PERGI, DAMAI PUN DATANG
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Dulu, tanpa sadar, hidup kita sering terasa capek padahal badan tidak ke mana-mana. Capeknya bukan karena kerja berat, tapi karena pikiran keliling ke mana-mana—terutama ke kehidupan orang lain. Bangun tidur cek HP, lihat orang liburan. Siang hari scroll lagi, lihat teman naik jabatan. Malam mau tidur, malah kepikiran: “Kok hidup dia kelihatannya enak banget, ya?” Padahal kita sendiri belum tentu tahu, di balik foto senyum itu, ada cicilan yang senyap, ada doa yang tak terunggah, dan ada air mata yang diseka diam-diam.
Lama-lama, rasa ingin tahu yang berlebihan itu jadi seperti kebiasaan kecil yang kelihatannya sepele, tapi diam-diam menguras hati. Kita sibuk mengamati hidup orang lain, sampai lupa mengamati isi dada sendiri. Kita membandingkan pencapaian, rezeki, bahkan kebahagiaan, seolah hidup ini lomba lari dengan garis finis yang sama. Padahal tiap orang berangkat dari titik yang berbeda, membawa tas kehidupan yang isinya juga beda-beda. Ada yang ringan, ada yang penuh batu, tapi semuanya tetap disuruh jalan.
Sampai suatu hari, kita capek sendiri. Capek merasa kurang, capek merasa tertinggal, capek merasa hidup ini selalu soal “siapa lebih dulu”. Di titik itulah, pelan-pelan kita belajar satu hal yang sederhana tapi mahal nilainya: berhenti kepo. Bukan karena jadi cuek atau tidak peduli, tapi karena sadar, tidak semua hal perlu kita ketahui, dan tidak semua urusan pantas kita pikulkan di hati.
Aneh tapi nyata, sejak rasa ingin tahu yang berlebihan itu berkurang, ketenangan mulai datang tanpa diundang. Hati jadi lebih ringan, seperti habis menurunkan ransel berat yang ternyata isinya cuma perbandingan dan prasangka. Pikiran jadi lebih lapang, tidak lagi sesak oleh cerita hidup orang lain yang sebenarnya bukan jatah kita. Energi yang dulu habis untuk mengamati, menilai, dan membandingkan, kini bisa dipakai untuk bercermin—bukan bercermin pada hidup orang lain, tapi pada diri sendiri.
Kita mulai sibuk dengan hal-hal yang benar-benar bisa kita kendalikan: memperbaiki niat, merapikan ibadah, bekerja dengan jujur, dan belajar bersyukur tanpa harus menunggu hidup sempurna. Kita mulai paham, damai itu bukan soal tahu segalanya, tapi soal ikhlas menerima apa yang ada di genggaman. Damai itu bukan hasil dari ikut campur urusan orang lain, tapi buah dari fokus pada langkah sendiri.
Rasulullah ﷺ sudah lama mengingatkan hal ini, dengan kalimat yang singkat tapi menohok ke hati:
مِنْ حُسْنِ إِسْلاَمِ الْمَرْءِ تَرْكُهُ مَا لاَ يَعْنِيْهِ
“Di antara (tanda) baiknya keislaman seseorang adalah ia meninggalkan perkara yang tidak bermanfaat.”
(HR. at-Tirmidzi no. 2318, Ibnu Majah no. 3976)
Hadis ini seperti rem lembut di tengah jalan hidup yang sering kebablasan. Mengingatkan kita bahwa kualitas iman bukan hanya soal rajin ibadah, tapi juga soal kedewasaan hati—mampu menahan diri dari urusan yang tidak membawa manfaat. Karena ternyata, semakin sedikit kita mencampuri hidup orang lain, semakin banyak ruang yang tersedia untuk menumbuhkan kedamaian dalam diri.
Dan lucunya, ketika kita berhenti sibuk mengintip kehidupan orang lain, hidup kita sendiri justru terasa lebih hidup. Kita tertawa lebih tulus, bersyukur lebih dalam, dan berjalan lebih tenang. Bukan karena hidup tiba-tiba tanpa masalah, tapi karena kita tahu: tidak semua hal harus kita urusi, dan tidak semua cerita harus kita pahami.
Di situlah damai menemukan jalannya pulang—saat kepo pergi, dan hati memilih fokus pada diri sendiri.