SETAHUN SETELAH RETAK, AKU KINI BELAJAR UTUH
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
18 Desember 2025. Tanggal itu
bukan sekadar penanda di kalender, tapi sebuah garis tebal dalam hidupku. Tepat
satu tahun lalu, stroke hemoragik—dengan kategori terberat—datang tanpa
permisi, seperti tamu gelap yang mematikan lampu di rumah yang selama ini
kukira aman. Dalam satu kejadian, segalanya berubah. Tubuhku, ritme hidupku,
caraku memandang dunia, dan yang paling sunyi tapi paling dalam: caraku
memandang Allah Yang Maha Esa. Lima puluh tahun aku hidup, berjalan cepat,
sibuk mengejar ini-itu, merasa kuat, merasa tahu arah. Tapi justru ketika Allah
menunjukkan kuasa-Nya dengan cara yang paling keras, aku baru sadar betapa
hidupku perlu direnovasi total—bukan sekadar dicat ulang, tapi dibongkar dari
pondasi. Di ranjang rumah sakit, di antara suara mesin dan doa-doa lirih,
muncul pertanyaan yang menohok: “Kok baru sekarang?” Kok baru sekarang aku
belajar pelan, belajar berserah, belajar jujur pada diri sendiri? Apakah aku
hancur dan menyerah? Tidak. Anehnya, di tengah rapuh itu, aku justru menemukan
syukur. Alhamdulillah. Allah tidak meninggalkanku; Dia menarikku kembali ke
jalur-Nya dengan cara yang tegas tapi penuh cinta. Di peristiwa ini, Allah
membuka tirai kehidupan nyata: siapa yang benar-benar sahabat, siapa yang
sekadar teman singgah, siapa yang tulus mendoakan tanpa pamrih, dan siapa yang
hadir karena butuh sesuatu dariku. Satu tahun bukan waktu yang singkat, tapi
cukup untuk memahami di mana aku harus berdiri—tenang, jujur, dan sadar arah.
Celaan masa lalu, bisik-bisik hari ini, bahkan kemungkinan luka di masa depan,
tak lagi jadi pusat hidupku. Tujuanku tinggal satu: Allah SWT. Kini kesibukanku
berbeda—lebih sunyi tapi bermakna, lebih lambat tapi tepat. Aku belajar
menghargai napas, menata niat, merawat hubungan, dan memeluk hidup apa adanya.
Terima kasih, ya Allah, atas kesempurnaan yang Kau titipkan lewat ujian. Jika
setahun lalu aku retak, hari ini aku belajar utuh—bukan karena kuat, tapi
karena Kau pegang tanganku dan menunjukkan jalan pulang.
Dan dari hari ke hari setelah
itu, aku belajar satu hal sederhana yang dulu terasa remeh: hidup bukan soal
seberapa cepat kita berlari, tapi seberapa sadar kita melangkah. Dulu aku
bangga dengan jadwal padat, rapat beruntun, ponsel yang tak pernah sepi, seolah
sibuk adalah tanda penting. Sekarang, justru jeda yang mengajarkanku makna. Aku
belajar menikmati pagi tanpa tergesa, mendengar detak jantung dengan rasa
syukur, dan mengucap doa tanpa target selain didengar oleh-Nya. Ada hari-hari
ketika tubuhku masih mengingat luka—lemah, gemetar, tidak kooperatif—tapi
jiwaku justru lebih tegak. Aku belajar meminta maaf, memaafkan, dan yang paling
sulit: memaafkan diri sendiri atas kesombongan masa lalu. Aku juga belajar
bahwa kekuatan tidak selalu berwujud otot atau suara lantang; kadang ia hadir
dalam air mata yang jatuh saat sujud, dalam sabar yang tak diumumkan, dalam
keputusan untuk berkata “cukup” pada hal-hal yang menjauhkan dari Allah.
Lingkar hidupku menyempit, tapi hangat. Yang tersisa bukan keramaian, melainkan
keikhlasan. Aku tak lagi mengejar pengakuan; aku mengejar ridha. Dan setiap
kali ragu datang, aku mengingat satu tahun yang mengubah segalanya—bukan untuk
mengasihani diri, tapi untuk menguatkan langkah. Jika esok masih diberi napas,
aku ingin menjalaninya dengan rendah hati. Jika hari ini harus berhenti
sejenak, aku siap bersabar. Karena kini aku tahu: hidup bukan milikku, tubuh
ini titipan, dan arah pulang sudah jelas. Selama Allah menjadi tujuan, apa pun
yang tersisa akan selalu cukup.
Pelan-pelan aku juga belajar
berdamai dengan sunyi. Sunyi yang dulu kutakuti karena dianggap tidak
produktif, kini justru menjadi ruang paling jujur untuk bercakap dengan diri
sendiri dan dengan Allah. Di sana aku menemukan keberanian untuk mengakui: aku
pernah lalai, pernah merasa paling mampu, pernah menaruh harap pada manusia
lebih tinggi daripada pada Sang Pemberi hidup. Stroke itu bukan sekadar
peristiwa medis; ia seperti ayat panjang yang diturunkan khusus untukku—dibaca
dengan rasa sakit, tapi dipahami dengan cahaya. Aku melihat kembali wajah-wajah
yang dulu hadir dan kini menghilang, tanpa marah, tanpa dendam. Mungkin memang
begitu cara Allah mengajari: mengurangi keramaian agar hati punya ruang
bernapas. Aku mulai memilih kata-kata dengan lebih hati-hati, memilih pergaulan
dengan lebih bijak, dan memilih tujuan dengan lebih sederhana. Tak perlu semua
orang mengerti langkahku; cukup Allah yang tahu niatku. Ada hari ketika aku
tersenyum sendiri karena hal-hal kecil—bisa berjalan lebih stabil, bisa tertawa
tanpa rasa takut, bisa menutup hari dengan doa yang utuh. Di titik ini aku
paham, hidup bukan tentang kembali seperti dulu, tapi menjadi versi baru yang
lebih sadar. Versi yang tidak lagi menunda kebaikan, tidak menawar taubat, dan
tidak menunda bersyukur. Jika ajal nanti datang, aku ingin ia menemukan aku
sedang berusaha taat, bukan sedang sibuk membuktikan apa-apa. Karena setahun
yang lalu, aku hampir kehilangan segalanya, dan justru di sanalah aku menemukan
segalanya.
Kini aku melangkah tanpa janji
besar pada dunia, tapi dengan komitmen kecil yang konsisten pada hati. Aku tak
lagi sibuk menjelaskan diriku, karena hidup tak butuh pembelaan—ia butuh
kejujuran. Ada waktu-waktu ketika kenangan lama datang mengetuk, mengajak
membandingkan siapa aku dulu dan siapa aku sekarang. Dulu mungkin aku lebih
kuat secara fisik, lebih lantang bicara, lebih mudah diandalkan. Tapi sekarang,
aku lebih hadir. Aku mendengar lebih dalam, memahami lebih pelan, dan berani
mengatakan tidak pada hal-hal yang menggerus iman. Aku belajar bahwa kehilangan
bukan selalu hukuman; sering kali ia adalah cara Allah menyelamatkan kita dari
arah yang keliru. Setiap batasan tubuh menjadi pengingat bahwa aku manusia,
bukan mesin. Setiap keterbatasan menjadi undangan untuk berserah. Aku juga
belajar mensyukuri orang-orang yang masih setia—yang tidak menuntut aku kembali
seperti dulu, yang menerima aku apa adanya hari ini. Mereka adalah doa yang
berjalan, bukti bahwa kasih Allah tak pernah datang sendirian. Dan bila suatu
hari aku terlihat lebih diam, itu bukan karena aku menyerah, tapi karena aku
sedang mendengarkan—pada hidup, pada luka, pada pesan yang Allah titipkan di
setiap detik. Setahun yang lalu aku diuji untuk berhenti; hari ini aku memilih
berjalan dengan arah yang jelas. Selama langkah ini menghadap kepada-Nya, aku
tak takut lambat, tak gentar sendirian, dan tak lagi rindu pada hidup lama yang
ternyata menjauhkan aku dari rumah.
Dan pada akhirnya, aku mengerti
satu rahasia kecil yang dulu tak pernah sempat kupelajari: hidup tidak menunggu
kita siap untuk berubah, ia berubah agar kita siap untuk pulang. Aku tak tahu
berapa sisa waktu yang Allah titipkan, tapi kini aku tak lagi sibuk
menghitungnya—aku mengisinya. Dengan niat yang lebih lurus, dengan langkah yang
lebih hati-hati, dengan hati yang tak lagi ingin menang sendiri. Jika dulu aku
bertanya “kenapa aku?”, sekarang pertanyaanku berubah menjadi “apa yang harus
aku pelajari?”. Dan jawabannya hadir pelan-pelan, lewat sabar, lewat syukur,
lewat keikhlasan yang tidak selalu terlihat gagah. Aku tak menyesali masa lalu,
karena tanpanya aku takkan sampai di titik ini. Aku juga tak menakuti masa
depan, karena ia milik Allah sepenuhnya. Tugasku hanya satu: menjaga arah.
Menjaga agar setiap niat kembali kepada-Nya, setiap lelah bernilai ibadah,
setiap nafas menjadi tasbih yang tak terdengar. Jika suatu hari aku jatuh lagi,
aku ingin jatuh dalam keadaan bersandar pada-Nya. Dan jika suatu hari aku
dipanggil, aku ingin pulang dengan hati yang berkata lirih namun jujur: Ya
Allah, aku mungkin terlambat belajar, tapi aku bersyukur Kau masih memberiku
waktu untuk memahami.



