Sebuah Perjalanan Hidup

Masih aja teringat…
Ketika belum sekolah, masih piyik, rambut belum bisa diatur, dan hidup cuma diisi dua hal: tidur dan main pasir. Papa dan Mama sering ngajak jalan-jalan ke Pantai Kuta. Dulu pantainya masih sepi, belum banyak kafe, belum ada tukang sewa papan selancar tiap dua meter. Yang ada cuma ombak, pasir putih, dan suara tawa Papa yang menggoda Mama, “Ayo lomba siapa yang bisa tahan air paling lama!”—padahal ujung-ujungnya Papa yang batuk-batuk duluan.

Itu masa di mana dunia terasa sederhana. Nggak ada yang perlu dipikirin, selain apakah es lilin rasa kacang ijo masih ada di tukang yang lewat sore nanti.

Lalu, masih teringat juga, waktu mulai masuk TK. Dunia kecil saya mulai punya “lingkungan sosial.” Bahasa kerennya sih, belajar bersosialisasi. Tapi waktu itu, artinya cuma satu: belajar berebut mainan dan kadang nangis bareng. Dari situlah saya ngerti, kalau ternyata hidup itu soal ganti-gantian—kadang kita dapat giliran main, kadang harus ngalah. Sebuah pelajaran yang kedengarannya kecil, tapi ternyata jadi fondasi besar buat hidup dewasa nanti.

Terus naik kelas ke SD. Ah, masa SD itu lucu. Tiap pagi wajib senam “Kesegaran Jasmani Nasional.” Musiknya entah kenapa selalu itu-itu aja—semacam mars kebugaran yang bikin separuh anak malas gerak, tapi separuh lagi malah semangat karena setelah itu bisa jajan di kantin. Dari situ saya belajar satu hal: kadang semangat bukan datang dari motivasi besar, tapi dari hal-hal kecil seperti tahu isi atau donat gula pasir.

Masuk SMP, dunia mulai berubah. Setiap pagi saya naik bis sekolah—yang bunyinya lebih mirip kapal perang daripada kendaraan umum. Di dalamnya, campuran aroma solar dan minyak rambut dari anak-anak cowok. Tapi entah kenapa, di situlah banyak cerita lahir: tawa, cinta monyet, sampai pelajaran tentang pertemanan. Bahwa nggak semua teman itu harus sempurna—yang penting, mereka tahu cara bikin hari-harimu lebih ringan.

Lanjut SMA. Nah, ini masa paling berwarna. Masih aja teringat waktu satu kelas dihukum dijemur satu jam di lapangan karena ogah ikut pelajaran bahasa daerah. Panasnya luar biasa, tapi tawa kami lebih keras. Mungkin guru kami kesel, tapi di antara kami, ada rasa solidaritas yang tumbuh: kalau kena masalah, ya tanggung bareng. Dan dari situ saya paham, bahwa di balik kenakalan masa muda, ada nilai kebersamaan yang nggak bisa dibeli.

Kemudian datanglah masa kuliah—masa di mana idealisme sering kali kalah sama tanggal tua. Tapi juga masa di mana saya mulai ngerti arti tanggung jawab. Saat akhirnya bisa menyelesaikan kuliah, saya lihat senyum orang tua saya. Itu senyum yang nggak bisa digantikan apapun. Campuran lega, bangga, dan cinta yang diam-diam membuat saya sadar: semua perjalanan panjang ini bukan cuma tentang saya, tapi juga tentang mereka yang setia menuntun dari belakang.

Dan kini, lucunya, hidup seakan berputar. Sekarang giliran saya yang harus menggandeng tangan anak-anak, ngajarin mereka cara bersosialisasi, nungguin di depan sekolah, sampai ngingetin supaya jangan malas belajar bahasa daerah. Ternyata roda kehidupan memang bekerja begitu: dulu kita diantar, sekarang kita yang mengantar.

Sebuah perjalanan hidup yang sederhana, tapi penuh makna. Dari pasir Pantai Kuta sampai halaman sekolah anak sendiri, semuanya terjalin dalam satu benang merah: kasih, kesabaran, dan rasa syukur. Karena pada akhirnya, hidup bukan tentang seberapa cepat kita berlari, tapi tentang seberapa dalam kita bisa menghargai setiap langkah kecil yang pernah kita tapaki.

Dan kadang, saat duduk santai sambil ngopi sore-sore, saya cuma bisa tersenyum sendiri…
Masih aja teringat. Semua yang sederhana itu—ternyata, justru yang paling berharga.


Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN