Sukses Merupakan Pilihan
Ada satu ayat Al-Qur’an yang sering terdengar sederhana tapi kalau direnungi rasanya bisa bikin dada hangat sekaligus deg-degan: “Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya” (Q.S. An-Najm: 39). Ayat ini seperti cermin jujur—kadang bikin senyum bangga, kadang bikin kita pura-pura sibuk biar nggak menatapnya terlalu lama. Karena ayat ini tidak sedang menyalahkan keadaan, orang lain, atau nasib, tapi dengan santai menunjuk ke arah kita sambil berkata, “Hei, ini tentang pilihan dan usahamu.” Lalu kita mulai bertanya, sebenarnya apa sih yang disebut sukses itu? Ada yang bilang sukses itu banyak uang, ada yang bilang jabatan tinggi, ada juga yang bilang bisa ngopi santai tanpa mikirin cicilan sudah termasuk sukses kecil yang patut disyukuri. Memang tidak ada standar baku, tapi satu hal pasti: sukses adalah keberhasilan mencapai sesuatu yang kita targetkan, dengan cara yang benar dan bermakna. Allah menciptakan manusia berbeda dari makhluk lain—kita diberi akal, hati, dan kebebasan memilih. Kita boleh memilih jalan sukses atau jalan gagal, dan jujur saja, tidak ada manusia yang bercita-cita gagal. Kalau gagal terjadi, sering kali bukan karena Allah tidak sayang, tapi karena kita kurang serius mengolah potensi yang sudah diberikan, atau terlalu sering menunda dengan alasan “nanti saja” yang entah kapan datangnya.
Dalam kacamata iman, sukses sejati bukan hanya soal dunia yang terlihat, tapi juga akhirat yang kelak kita tuju. Ukuran paling mahal dari sukses adalah ketika seseorang menutup mata dalam keadaan baik, mampu mengucapkan “Laa ilaha illallah”, dan pulang menghadap Allah dengan hati yang tenang. Itulah sukses yang tidak bisa dibeli, tidak bisa dipamerkan, tapi nilainya abadi. Al-Qur’an bahkan membagi manusia ke dalam dua tipe: mereka yang hanya mengejar sukses dunia saja, dan mereka yang berdoa agar diberi kebaikan di dunia, kebaikan di akhirat, serta diselamatkan dari api neraka (Q.S. Al-Baqarah: 200–201). Pilihannya ada di tangan kita. Sukses sejatinya milik semua orang, hanya saja tidak semua orang mau belajar bagaimana cara meraihnya. Kita sering sibuk mencari siapa yang bisa membuat kita sukses—mentor, atasan, pasangan, atau bahkan “orang dalam”—padahal jawabannya sederhana dan agak menohok: tidak ada yang bisa membuat kita sukses selain diri kita sendiri, tentu dengan izin dan ketentuan Allah SWT.
Allah sudah menegaskan dengan sangat jelas, bahwa Dia tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka sendiri mengubah apa yang ada dalam diri mereka (Q.S. Al-Anfal: 53 dan Q.S. Ar-Ra’d: 11). Hidup kita hari ini adalah hasil akumulasi dari pilihan, keputusan, dan tindakan kita kemarin. Kalau sekarang kita berada di titik tertentu, itu bukan kebetulan, melainkan hasil dari jalan yang kita pilih—atau jalan yang kita hindari. Kabar baiknya, masa depan masih bisa diedit. Kita bisa menciptakan masa depan yang berbeda dengan mengubah perilaku hari ini, membuat pilihan baru yang lebih selaras dengan sosok diri yang kita impikan. Dan semua itu berawal dari satu hal yang sering diremehkan: keyakinan.
Keyakinan punya kekuatan yang luar biasa. Orang sukses adalah orang yang berharap sukses dan yakin bahwa kesuksesan itu mungkin, bahkan pantas ia dapatkan. Rasulullah ﷺ menyampaikan firman Allah, “Aku tergantung kepada prasangka hamba-Ku kepada-Ku” (H.R. Bukhari dan Muslim). Artinya, apa yang kita yakini dengan sungguh-sungguh akan membentuk cara kita melihat dunia dan bertindak di dalamnya. Pikiran kita ibarat kacamata—kalau lensanya gelap, dunia terlihat suram; kalau lensanya jernih, masalah pun tampak sebagai tantangan, bukan akhir segalanya. Yang paling berbahaya justru keyakinan yang membatasi diri: merasa tidak mampu, merasa tidak pantas, merasa “aku memang dari sananya begini.” Keyakinan semacam ini pelan-pelan membuat kita mengecilkan diri sendiri, mudah menyerah, bahkan rajin menceritakan kekurangan kita kepada orang lain, seolah itu prestasi.
Padahal keyakinan bisa dipelajari, dan apa pun yang dipelajari bisa diubah. Ketika kita mulai membayangkan bahwa kita tidak punya batas selain yang kita pasang sendiri, otak kita akan mencari jalan, bukan alasan. Di sinilah hukum daya tarik bekerja—bukan sebagai sihir instan, tapi sebagai hukum sebab-akibat yang halus. Pikiran yang dipenuhi emosi positif menciptakan energi positif, menarik orang, ide, dan situasi yang selaras. Pikiran negatif pun sama rajinnya menarik hal-hal yang negatif. Dunia di sekitar kita sering kali hanya cermin dari apa yang kita pikirkan. Kita bergerak ke arah pikiran yang paling dominan dalam kepala kita, entah itu optimisme atau pesimisme.
Maka pada akhirnya, pertanyaannya sederhana tapi dalam: apa pilihan kita? Apakah kita ingin sukses dunia saja, atau sukses dunia sekaligus akhirat? Pilihan itu akan menentukan cara kita berpikir, bersikap, dan bertindak setiap hari. Sukses bukan warisan, bukan hadiah, tapi keputusan yang diperjuangkan dengan usaha, keyakinan, dan doa. Dan ketika kita jatuh, kita bangkit lagi—mungkin sambil tertawa kecil menertawakan diri sendiri—lalu melangkah lagi. Karena selama kita masih mau berusaha, Allah tidak pernah menutup pintu sukses itu. Salam Sukses.
Komentar