STROKE ITU PENYAKIT YANG KOMPLEK & INTEGRATED



Stroke. Satu kata yang dulu cuma kudengar dari berita kesehatan di televisi, kini jadi bagian dari hidupku sendiri. Satu malam, hidupku berubah total. Dari seorang pria aktif, sibuk kerja, banyak rencana, tiba-tiba semua berhenti begitu saja. Seperti seseorang menekan tombol “pause” dalam hidupku — hanya saja, aku tak tahu kapan atau apakah tombol “play”-nya akan ditekan lagi.

Banyak orang mengira stroke itu cuma soal tubuh yang lumpuh. Padahal tidak sesederhana itu. Stroke menyerang otak — pusat kendali segalanya. Di sanalah semua perintah dikirim: untuk berjalan, berbicara, bahkan untuk sekadar tersenyum. Ketika aliran darah ke otak terganggu, bukan cuma tubuh yang berhenti bekerja, tapi juga sebagian dari dirimu ikut “mati” untuk sementara. Fisiknya lumpuh, tapi yang lebih berat justru di bagian yang tak terlihat: pikiran, perasaan, dan keyakinan.

Di hari-hari awal setelah serangan itu, aku seperti kehilangan peta hidup. Tiba-tiba aku tak bisa menggerakkan jari, tak bisa menulis, bahkan kadang tak bisa mengucapkan kata yang ingin kukatakan. Bayangkan, di dalam kepala, kau tahu persis apa yang ingin kau sampaikan, tapi lidahmu seperti terikat. Kau ingin menjelaskan perasaanmu, tapi tubuhmu menolak bekerja sama. Itu bukan sekadar frustasi — itu menyakitkan.

Mereka bilang tiga bulan pertama adalah “Golden Moment” — masa emas bagi penyintas stroke untuk pulih. Tapi di masa itu, aku justru sibuk berperang dengan diriku sendiri. Aku bukan cuma sakit, tapi juga bingung, takut, dan merasa bersalah. Aku masih berpikir tentang pekerjaan, tentang tanggung jawabku sebagai ayah, tentang sekolah anak, dan tentang bagaimana aku bisa tetap menjadi kepala keluarga sementara aku bahkan sulit berdiri sendiri.

Sementara itu, rumahku yang dulu jadi tempat paling nyaman, berubah jadi medan perang kecil. Aku merasa tidak dimengerti, sementara keluarga merasa aku berubah. Istriku kadang lelah, orang tuaku kebingungan, anakku ketakutan melihat ayahnya yang dulu kuat kini tak berdaya. Mis-komunikasi jadi hal sehari-hari. Aku butuh seseorang untuk menerjemahkan gerak tubuhku, tapi sering kali mereka salah mengartikan maksudku. Akhirnya, aku marah. Mereka pun balik marah. Lalu kami semua lelah — bukan karena tak sayang, tapi karena sama-sama tak tahu bagaimana harus bersikap.

Sampai suatu malam, di tengah keheningan rumah sakit, aku berbicara dengan diriku sendiri. Aku menatap langit-langit putih, dan untuk pertama kalinya, aku bertanya pelan, “Kenapa harus aku?” Tapi tak ada jawaban. Yang ada hanya hening dan rasa sesak di dada. Aku menangis dalam diam.

Beberapa hari kemudian, aku coba menghubungi sahabat lamaku, Arief. Aku ceritakan semuanya — tentang rasa sakit, tentang kebingungan, tentang kemarahanku pada dunia. Dia hanya tertawa kecil dan berkata pelan,
“Bro, lo tau teori balon nggak? Semakin lo tiup, dia makin besar. Tapi kalau lo taruh aja, lama-lama kempes sendiri. Gitu juga masalah. Jangan terus ditiup. Taruh dulu. Fokus ke penyembuhan lo.”

Kalimatnya sederhana, tapi entah kenapa langsung menembus jantungku. Aku sadar, selama ini aku terus meniup balon masalah itu. Aku marah, aku kecewa, aku menuntut — dan semuanya hanya membuatku makin sesak.

Lalu datang lagi seorang teman kerja menjenguk. Ia menatapku lama dan berkata, “Bro, ini waktunya lo istirahat. Nikmat yang udah lo dapat selama ini, mungkin udah waktunya lo berhenti sejenak dan sadar — betapa banyak yang udah dikasih ke lo.”

Ucapan itu menamparku dengan lembut. Iya juga. Selama ini aku sibuk mengejar banyak hal, lupa menikmati apa yang sudah kupunya.

Beberapa hari kemudian, guruku datang menjenguk. Ia hanya berkata satu kalimat yang singkat tapi berat,
“Mas, pasrahlah. Jangan dilawan.”

Tiga kalimat dari tiga orang berbeda. Tapi ketiganya seperti potongan puzzle yang akhirnya membentuk gambar utuh di kepalaku.

Aku mulai mencoba hal yang sederhana: ikhlas, bersyukur, dan pasrah.
Ikhlas menerima bahwa tubuhku sedang lemah. Bersyukur karena masih diberi kesempatan untuk memperbaiki diri. Dan pasrah, bukan berarti menyerah, tapi membiarkan takdir bekerja sesuai waktunya.

Dan entah bagaimana, setelah aku mulai menerima semuanya, hal-hal ajaib mulai terjadi. Bulan keempat, aku bisa berjalan lagi — meski dengan tongkat. Bulan kelima, jari jempol dan telunjukku mulai bisa bergerak. Bulan ketujuh, kakiku mulai kuat menopang tubuhku. Setiap kemajuan kecil terasa seperti keajaiban besar. Aku menangis setiap kali berhasil melakukan sesuatu yang dulu terasa sepele: menggenggam sendok, menulis satu huruf, atau berdiri tanpa bantuan.

Perlahan, emosiku pun mulai stabil. Hubunganku dengan keluarga membaik. Mereka mulai memahami caraku berjuang, dan aku pun belajar memahami ketidaktahuan mereka. Kami sama-sama belajar — tentang sabar, tentang cinta, dan tentang arti “mendampingi” yang sebenarnya.

Sekarang aku sadar, stroke bukan cuma penyakit fisik. Ia adalah ujian yang menguji seluruh dirimu: tubuhmu, pikiranmu, hatimu, bahkan hubunganmu dengan orang-orang di sekitarmu.

Dan aku juga belajar satu hal penting: penyintas stroke itu tidak butuh dikasihani, mereka hanya ingin dimengerti. Karena kadang, kata “semangat ya” tak sekuat genggaman tangan dan tatapan yang berkata, “aku di sini buat kamu.”

Sakit bukan akhir dari segalanya. Justru dari sanalah aku belajar disiplin, belajar menghargai setiap detik, belajar menerima, dan belajar percaya bahwa doa dan semangat bisa lebih kuat dari rasa sakit itu sendiri.

Kini, ketika aku bisa melangkah lagi, meski perlahan, aku tahu satu hal: aku tidak sedang melangkah mundur. Aku justru sedang berjalan ke arah yang lebih benar — menuju versi terbaik dari diriku yang baru.

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN