EVERY MINUTE COUNT
Kalau sebelumnya aku banyak bercerita tentang bagaimana aku melewati badai stroke—tentang perjuangan, rasa sakit, dan proses bangkitnya—kali ini aku ingin sedikit mundur. Bukan untuk menyesali, tapi untuk memahami: kenapa semua ini bisa terjadi?
Stroke, kata dokter, terjadi karena aliran darah ke otak
terganggu. Bisa karena tersumbat (iskemik), atau karena pembuluh darah pecah
(hemoragik). Tapi aku bukan mau bicara pakai istilah medis yang rumit. Aku cuma
mau cerita versi orang awam, versi manusia biasa yang sempat lalai menjaga
tubuhnya sendiri.
Kalau dibilang penyebabnya hipertensi, obesitas, atau gaya
hidup tidak sehat—ya, semuanya benar. Tapi buatku pribadi, akar dari semuanya
adalah gaya hidup itu sendiri. Bukan satu hal besar yang langsung
menjatuhkan, tapi hal-hal kecil yang kita biarkan terus menumpuk.
Aku dulu pencinta kuliner sejati. Ironisnya, bisnisku pun di
bidang kuliner—Black Canyon Coffee. Bayangin, setiap hari dikelilingi
makanan enak, minuman manis, dan aroma kopi yang menggoda. Awalnya cuma
“sekali-sekali” mencicipi, tapi lama-lama semua jadi kebiasaan.
Aku makan kapan pun aku mau. Nggak mikir apa yang masuk ke
tubuh—nasi bertumpuk, karbo berlebih, gorengan, cake, martabak, bakso, roti,
semua tumpah ruah jadi santapan tanpa batas. Rasanya hidupku waktu itu cuma
berputar di dua hal: kerja dan makan. Aktivitas fisik? Minim. Olahraga? Kadang.
Tapi yang paling bahaya bukan cuma makanan, melainkan stres
dan kurang tidur. Hari-hariku diisi dengan deadline, rapat, dan
keputusan-keputusan berat. Pulang ke rumah pun sudah larut malam, kadang dini
hari baru bisa rebahan. Tubuh ini terus kupaksa berlari tanpa sempat
benar-benar istirahat. Dan ketika lelah datang, aku mencari pelarian lewat
minuman manis, soda, atau makanan berat. Rasanya menenangkan, tapi ternyata
perlahan-lahan justru merusak dari dalam.
Tubuh kita sebenarnya luar biasa. Ia sudah dilengkapi alarm
yang canggih. Tekanan darah mulai naik, tubuh sering pusing, cepat lelah, susah
tidur—semuanya sebenarnya sinyal bahaya. Tapi waktu itu aku menyepelekannya.
Aku pikir, “Ah, aku masih kuat, aku kan juga olahraga. Masih main badminton
kok.”
Padahal tubuh ini bukan mesin yang bisa dipaksa terus tanpa
perawatan. Setiap makanan berlemak yang kumakan, setiap jam tidur yang
kupangkas, setiap stres yang kutelan sendiri—semuanya menumpuk pelan-pelan,
seperti bom waktu yang diam menunggu meledak.
Dan benar, bom itu akhirnya meledak. Hari itu datang tanpa
aba-aba. Tubuh yang selama ini kupaksa diam-diam memberontak. Semua penyesalan
tiba-tiba muncul di kepala: kenapa nggak dari dulu aku lebih sayang sama tubuh
sendiri?
Sekarang, setelah melewati semuanya, aku baru benar-benar
paham. Penyakit seperti stroke bukan sekadar masalah medis, tapi cerminan
dari bagaimana kita memperlakukan diri sendiri. Tubuh ini sebenarnya sudah
berteriak lama, tapi aku terlalu sibuk mengejar hal lain yang kukira
penting—padahal yang paling penting justru sedang perlahan rusak di dalam
diriku sendiri.
Hidup sehat itu bukan teori yang rumit. Sederhana saja:
makan dengan seimbang, tidur cukup, kelola stres, bergerak aktif, dan jangan
merokok. Hal-hal yang mungkin sering kita dengar tapi jarang benar-benar kita
lakukan. Karena kita selalu berpikir “masih nanti saja,” sampai akhirnya
terlambat.
Sekarang aku tahu… setiap menit itu berarti.
Bukan cuma untuk hidup lebih lama, tapi untuk hidup lebih sadar.
Setiap menit adalah kesempatan untuk memperbaiki diri, untuk
menghargai tubuh, untuk mencintai hidup dengan cara yang benar.
Jadi, kalau boleh aku bertanya…
Will you?
Will you start listening to your body, before it starts screaming for help?
Because, trust me—every minute truly counts.