KETIKA KESEMPURNAAN JADI PERANGKAP
Aku pernah punya teman kantor, sebut saja namanya Rudi.
Tugasnya waktu itu sederhana: bikin laporan penjualan bulanan.
Tapi entah kenapa, si Rudi ini bisa tiga hari lembur cuma buat ganti font dan
warna tabel Excel.
“Ini biar proporsional, biar sempurna,” katanya sambil
bangga.
Padahal, kalau ditanya bos, yang penting itu angka-angkanya bener dan bisa
dibaca — bukan warnanya cocok sama mood senja.
Di situ aku sadar, kesempurnaan kadang cuma kedok untuk
menunda selesai.
Kita merasa produktif, padahal cuma muter-muter di lingkaran kepuasan pribadi.
Lucunya, dari luar kelihatan sibuk — tapi sebenarnya nggak maju-maju.
Aku pernah punya teman kantor, sebut saja namanya Rudi
— pria yang kalau jalan ke pantry pun seolah lagi audisi iklan kopi: pelan,
elegan, penuh perhitungan.
Tugasnya waktu itu sederhana banget: bikin laporan
penjualan bulanan.
Tapi entah kenapa, laporan yang seharusnya selesai dalam satu hari, malah jadi
proyek tiga hari tiga malam tanpa jeda.
Setiap kali aku lewat mejanya, dia tampak serius, dengan
wajah tegang dan layar Excel yang penuh warna-warni.
Kukira dia lagi nyusun strategi keuangan internasional.
Eh ternyata... dia lagi ganti font dan warna tabel.
“Ini biar proporsional, biar sempurna,” katanya sambil
bangga.
Aku cuma bisa ngangguk sambil mikir: ini orang kerja buat
perusahaan atau buat pameran desain grafis ya?
Padahal kalau ditanya bos, yang penting cuma satu: angkanya
bener dan bisa dibaca.
Nggak peduli font-nya Calibri, Comic Sans, atau Times New Roman — yang penting
laba bulan ini naik, bukan margin warna tabelnya.
Dia nggak bisa tenang kalau masih ada satu sel yang warnanya kurang matching
dengan mood senja.
Bahkan dia sempat bilang, “Aku tuh nggak mau asal-asalan. Harus sempurna!”
Masalahnya, kesempurnaan yang dia kejar itu bukan buat
kualitas pekerjaan, tapi buat kepuasan pribadi.
Sampai-sampai, tim lain yang nunggu laporan itu jadi nggak bisa kerja lanjut.
Dan ujung-ujungnya, laporan “sempurna” itu malah datang terlambat.
kadang kita terjebak dalam ilusi kesempurnaan.
Kita merasa produktif karena sibuk memperbaiki hal-hal kecil, padahal intinya
belum beres.
Kita sibuk mengatur detail yang nggak menambah nilai, hanya demi rasa
“lega” di hati.
Kesempurnaan itu kayak jebakan halus —
dari luar kelihatan niat, tapi di dalamnya bisa menyandera langkah kita.
Lucunya, orang yang terlalu perfeksionis sering kelihatan
paling sibuk,
padahal yang paling sedikit hasilnya.
Kayak hamster di roda: capek muter, tapi tetap di tempat yang sama. 🐹
Kadang “cukup baik dan selesai” itu lebih bermanfaat daripada “sempurna
tapi tak pernah selesai.”
Karena dunia nggak butuh hasil sempurna — dunia butuh hasil yang nyata.
Dan, siapa tahu, kesempurnaan yang sebenarnya justru datang setelah
kita berani menyelesaikan, bukan sebelum.
Jadi kalau kamu lagi ngerasa nggak puas-puas sama hasil
kerja,
coba tanya diri sendiri:
“Ini aku lagi menyempurnakan, atau cuma menunda?”
Kalau jawabannya yang kedua, ya sudah... tekan tombol
“save,” kirim ke bos, lalu tidur tenang. 😄
Nilai hidupnya:
Kadang, mengejar kesempurnaan malah membuat kita kehilangan kemajuan.
Lebih baik berproses sambil memperbaiki, daripada berhenti karena takut belum
sempurna.
Karena hidup itu bukan tentang jadi tanpa cela — tapi tentang terus berjalan
sambil belajar.
Ketika Kemajuan Justru Membawa Makna
Setelah kerja bareng Rudi si “Font Excel Perfeksionis,” aku
mulai mikir…
jangan-jangan selama ini aku juga pernah jadi “Rudi kecil” dalam versi lain.
Bukan dalam hal Excel, tapi dalam hidup.
Contohnya, waktu aku mau mulai jogging pagi.
Hari pertama niatnya kuat banget — bahkan malam sebelumnya aku udah siapin
sepatu, botol minum, dan playlist semangat ala Rocky Balboa.
Tapi besok paginya, aku nunda-nunda.
Katanya, “Nanti aja deh, nunggu cuacanya pas.”
Pas cuacanya pas, “Eh, kaus olahraga belum kering.”
Pas kausnya kering, “Hmm, sepatunya belum matching sama celana.”
Dan akhirnya… ya nggak jadi jogging sama sekali.
Lucunya, semua itu alasannya masuk akal.
Tapi di balik logika itu, sebenarnya aku cuma takut memulai tanpa kesempurnaan.
Aku pengen semua sempurna dulu baru mulai —
padahal yang penting itu mulai dulu, baru sempurna sambil jalan.
Aku jadi ingat teman lain, namanya Dina.
Kalau Rudi itu perfeksionis sejati, Dina kebalikannya — si “jalan dulu aja.”
Waktu tim lagi bikin ide kampanye produk, Dina udah duluan
presentasi ke bos, padahal slide-nya masih polos banget.
Cuma ada satu kalimat besar:
“Kita mulai dulu, nanti sambil diperbaiki.”
Dan anehnya, justru ide Dina yang diterima!
Padahal, jujur aja, aku yang nyiapin 30 slide penuh efek transisi sampai laptop
nge-lag. 😅
Dari situ aku belajar sesuatu:
kemajuan itu bukan tentang siapa yang paling siap, tapi siapa yang paling
berani mulai.
Kemajuan itu sederhana.
Kadang cuma tentang melangkah satu kali lebih jauh daripada kemarin.
Bukan berarti kita nggak boleh punya standar tinggi, tapi jangan sampai standar
itu jadi tembok penghalang.
Aku pernah baca kutipan bagus:
“Orang sukses bukan karena mereka nggak pernah salah, tapi
karena mereka nggak berhenti memperbaiki.”
Itu artinya, kemajuan sejati lahir dari keberanian
mencoba, bukan dari ketakutan gagal.
Coba deh lihat anak kecil belajar jalan.
Mereka jatuh berkali-kali, tapi nggak pernah mikir,
“Waduh, langkahku tadi belum sempurna nih. Ulangi lagi dari teori keseimbangan
dulu.” 😂
Mereka cuma bangun lagi, tertawa, dan jalan terus.
Dan lihat hasilnya — akhirnya mereka bisa lari, bahkan tanpa sadar kapan mereka
berhenti belajar.
Nah, itu pelajaran hidup paling sederhana tapi paling jujur:
kita nggak butuh jadi sempurna buat maju.
Kita cuma butuh keberanian buat melangkah, lalu konsistensi buat terus
memperbaiki.
Kadang kemajuan nggak terlihat dari hal besar.
Bisa aja cuma hal kecil — kayak berani ngomong jujur,
berani bilang “nggak apa-apa” waktu salah,
atau berani mencoba hal baru walau belum yakin hasilnya.
Tapi percayalah, semua langkah kecil itu kalau dikumpulin,
bisa jadi perubahan besar dalam hidupmu.
Dan mungkin… justru di sanalah letak kesempurnaan yang sebenarnya:
bukan pada hasil tanpa cela, tapi pada niat yang terus tumbuh.
Nilai hidupnya:
Kesempurnaan sering membuat kita diam di tempat,
tapi kemajuan — sekecil apa pun — membawa kita lebih dekat pada makna.
Karena hidup bukan tentang menjadi yang terbaik hari ini,
tapi tentang menjadi lebih baik dari dirimu yang kemarin.
Mulai Dulu Aja — Dunia Nggak Nunggu Kamu Siap
Pernah nggak sih kamu nunda sesuatu dengan alasan “belum
siap”?
Padahal kalau dipikir-pikir, siap itu nggak pernah datang kayak tamu undangan
yang bilang, “Aku otw ya, lima menit lagi sampai.”
Siap itu seringnya datang setelah kamu berani mulai.
1. “Nanti Aja, Lagi Belum Matang”
Kalimat itu paling sering dipakai buat ngebela diri.
Padahal, kalau buah terus nunggu matang di pohon tapi takut jatuh, ya dia bakal
busuk di tempat.
Begitu juga dengan ide, impian, atau rencana hidupmu.
Kalau terus kamu tahan karena takut gagal, ya bakal busuk juga — bukan karena
nggak bisa, tapi karena nggak pernah dicoba.
Aku dulu juga begitu. Nunda nulis buku pertama karena
ngerasa belum sepintar penulis lain.
Nunda tampil di depan umum karena ngerasa belum sepede pembicara lain.
Nunda memulai proyek karena ngerasa timnya belum “sempurna”.
Tapi dunia nggak pernah nunggu aku siap.
Deadline datang, kesempatan lewat, dan orang lain yang berani melangkah justru
yang akhirnya dapet panggungnya.
2. “Kesiapan Itu Ilusi”
Lucunya, setelah akhirnya nekat mulai, aku sadar…
kesiapan itu ternyata hasil dari proses, bukan syarat.
Kayak kamu belajar berenang — nggak bisa nunggu kamu jago dulu baru nyebur.
Justru harus nyebur dulu biar tahu gimana caranya nggak tenggelam.
Sama halnya dengan hidup.
Kadang kamu harus nyemplung dulu, baru ngerti iramanya.
Harus gagal dulu, baru ngerti celahnya.
Harus jatuh dulu, baru tahu cara berdirinya.
3. “Mulai Kecil, Tapi Jalan”
Nggak semua langkah harus besar. Kadang malah yang kecil,
tapi konsisten, jauh lebih berpengaruh.
Mulai dari satu halaman tulisan sehari.
Mulai dari satu pelanggan pertama.
Mulai dari satu doa sebelum tidur.
Yang penting: mulai dulu aja.
Karena langkah kecil yang dilakukan hari ini jauh lebih bermakna daripada
rencana besar yang terus ditunda sampai besok.
4. “Kamu Nggak Perlu Sempurna, Cukup Berani”
Sempurna itu bukan tiket masuk ke sukses.
Berani — itu baru tiketnya.
Kamu bisa aja gugup, belum tahu semua hal, masih
ngeraba-raba.
Tapi kalau kamu mulai, kamu udah satu langkah lebih jauh daripada yang cuma
mikirin.
Jangan nunggu skill sempurna, alat lengkap, atau momen ideal.
Karena momen ideal itu mitos.
Yang nyata cuma sekarang.
5. “Langkah Pertama Itu Sakral”
Percaya deh, langkah pertama itu yang paling berat — tapi
juga paling sakral.
Dia yang membedakan antara mimpi dan kenyataan.
Antara wacana dan tindakan.
Antara ‘andai’ dan ‘akhirnya’.
Begitu kamu melangkah, dunia mulai bergerak bareng kamu.
Pintu yang tadinya tertutup pelan-pelan terbuka.
Orang-orang yang tadinya nggak peduli mulai melirik.
Kesempatan yang tadinya nggak kelihatan tiba-tiba muncul dari arah yang nggak
kamu sangka.
6. “Karena Dunia Emang Nggak Nunggu Kamu Siap”
Dunia terus muter.
Waktu terus jalan.
Dan kadang, kesempatan datang cuma sekali — bukan buat yang paling pintar, tapi
buat yang paling siap berani.
Jadi, kalau kamu masih nunggu momen yang sempurna, mungkin
kamu bakal nunggu selamanya.
Karena dunia nggak akan berhenti buat ngasih kamu waktu “siap”.
Dunia cuma nunggu satu hal: aksi pertamamu.
💬 Quote Penutup:
“Nggak ada kata ‘siap’ dalam kamus keberanian. Ada cuma dua
pilihan: mulai sekarang, atau disalip sama mereka yang udah berani lebih dulu.”