6 TAHUN INDAHNYA OMBAK KEHIDUPAN
Pagi Minggu
ini—30 November 2025—udara terasa lebih sejuk dari biasanya. Setelah basuhan
air wudhu menyentuh wajahku, ada sesuatu yang berbeda. Ada energi yang muncul
dari kedalaman hati, semacam semangat yang sudah lama tertidur. Usai sujud
terakhir dalam sholat Subuh, ingatanku tiba-tiba melayang jauh… kembali enam
tahun ke belakang.
Enam tahun
lalu, aku memulai perjalanan yang tak pernah kubayangkan: sebuah ujian hidup
yang diam-diam ternyata adalah pintu menuju anugerah.
Mengapa kusebut
“ujian”?
Karena aku percaya, ketika Allah mencintai seorang hamba, Ia akan mengujinya.
Sebagaimana Rasulullah ﷺ bersabda:
“إِذَا أَحَبَّ
اللَّهُ قَوْمًا ابْتَلَاهُمْ”
Idza ahabballāhu qawman ibtalāhum —
“Jika Allah mencintai suatu kaum, Dia akan menguji mereka.” (HR. Tirmidzi)
Tulisan ini,
pagi ini, adalah bentuk sujud syukurku yang paling jujur. Syukur atas takdir,
atas luka, atas cinta, atas pertemuan—bahkan atas perpisahan yang mendewasakan.
Ketika Cinta
Datang Tanpa Rencana
Kadang cinta
datang seperti hujan di tengah kemarau: tiba-tiba, tanpa aba-aba, tanpa
rencana, tanpa permisi.
Aku sudah lama
hidup sebagai duda. Menata hati antara kenangan dan tanggung jawab bukan hal
mudah. Sampai suatu hari, Allah mempertemukanku kembali dengan seseorang dari
masa lalu:
Anak Agung
Mayun Trisna Wulandari.
Wulan—adik kelasku dulu, sekaligus teman kuliah almarhumah istriku, Renny.
Wulan bukan
hanya nama. Ia adalah perempuan Bali berdarah biru dari Puri Kawan, Klungkung.
Berwibawa namun lembut, elegan namun hangat, mandiri namun penuh kelembutan.
Kami bertemu
lagi di sebuah reuni kampus. Awalnya hanya sapa singkat. Tapi entah bagaimana,
ada yang bergerak di hatiku ketika menatapnya—bukan karena parasnya, tapi
karena ketenangan yang terpancar dari matanya. Mungkin juga karena dulu, di
masa sulit Renny, Wulan pernah hadir sebagai teman yang setia.
Dan aku tahu…
rasa yang muncul ini bukan karena masa lalu. Ia datang dari tempat yang lebih
tinggi—dari Allah.
Allah
mengingatkanku melalui firman-Nya:
“وَعَسَىٰ أَنْ
تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ”
Wa ‘asā an takrahū shay’an wa huwa khayrun lakum
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu.”
(QS. Al-Baqarah: 216)
Restu yang
Turun Lewat Air Mata Seorang Anak
Sebelum
melangkah jauh, ada satu hati kecil yang harus kutatap dulu: Namira,
putri tunggalku.
Malam itu, kami
duduk berdua. Suasana rumah yang dulu ramai kini terasa lengang, penuh kenangan
Renny. Dengan hati bergetar aku berkata:
“Nak… Ayah
sudah lama sendiri. Kalau Ayah ingin punya teman hidup lagi… apakah kamu
mengizinkan?”
Namira diam
lama. Matanya berkaca.
Lalu ia memelukku erat dan berbisik pelan:
“Gak
apa-apa, Yah. Asal Ayah bahagia… Namira ikhlas.”
Pelukan itu
pecah menjadi tangis.
Tangis yang tak lagi menyakitkan—tapi menguatkan.
Malam itu aku yakin: Allah sedang memeluk kami berdua.
Tentang
Wulan, Tentang Islam, dan Tentang Takdir
Ketika aku
menyampaikan niat baik kepada Wulan, aku tahu jalan ini tidak mudah. Aku pria
Jawa-Madura berakar Solo, ia perempuan Bali dari keluarga bangsawan. Dua dunia,
dua budaya, dua warna kehidupan.
Tapi siapa
sangka, tanpa sepengetahuanku, Allah sudah lebih dulu menyiapkan jalannya.
Beberapa bulan
sebelumnya, Wulan memeluk Islam—dengan air mata, keikhlasan, dan
keindahan hidayah.
Hatiku
bergetar.
“Ya Allah… Engkau telah memudahkan sesuatu yang bahkan tak pernah berani
kupinta.”
Pertemuan
Mengejutkan Tapi Menghangatkan
Selanjutnya aku
bertemu anak-anak Wulan—Kak Amel dan Kak Dea.
Dengan
hati-hati aku berkata:
“Aku tidak ingin menggantikan siapa pun. Aku hanya ingin berjalan bersama
kalian.”
Kak Dea
tersenyum dan menjawab,
“Yang penting Mama bahagia.”
Sederhana. Tapi
cukup untuk melelehkan seluruh kegelisahan yang kupendam.
Lamaran di
Puri Kawan: Antara Tegang dan Takut Salah Ucap
Hari lamaran
tiba.
Menghadap keluarga besar di Puri Kawan adalah pengalaman yang sulit kulupakan.
Megah, penuh adat, penuh wibawa.
Dalam hatiku
sempat bergurau:
“Ya Allah… ini lamaran apa sidang skripsi adat?”
Tapi keluarga
menyambut dengan hangat.
Ketika aku berkata dengan penuh hormat:
“Saya datang
bukan untuk mengubah siapa pun, tapi untuk memuliakan putri panjenengan dengan
jalan yang diridhai Allah.”
Hening.
Lalu perlahan,
senyum muncul.
Restu itu diberikan.
Dan dunia terasa lebih ringan.
Enam Tahun
yang Tak Selalu Tenang
Hari berganti
bulan, bulan berganti tahun.
Enam tahun perjalanan… penuh tawa dan airmata.
Tidak semuanya
indah.
Tidak semuanya mudah.
Aku sakit stroke,
badai paling besar dalam hidup.
Kadang aku tidak dipahami, bahkan oleh orang-orang yang menurutku seharusnya
mengerti. Ada buih-buih kecil ombak yang tak peka, ada luka-luka kecil yang
terabaikan.
Tapi kami tetap
berdiri.
Seperti karang yang meski dihantam ombak, tetap kokoh menatap laut.
Kami belajar
bahwa cinta itu bukan hanya pelukan hangat…
Tapi juga dua hati yang memilih tetap tinggal meski badai datang.
Rasulullah ﷺ
berkata:
“خَيْرُكُمْ خَيْرُكُمْ
لِأَهْلِهِ”
Khairukum khairukum li ahlihi
“Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik kepada keluarganya.”
(HR. Tirmidzi)
Dan kami masih
belajar ke arah itu.
Maaf untuk
Orang Tua yang Sering Tersakiti Diam-diam
Kami punya satu
penyesalan:
Seringkali masalah kami ikut membuat Papa, Mama, Bapak, dan Ibu sedih tanpa
suara.
Mereka
tersenyum, tapi hatinya ikut lelah.
Mereka diam, tapi doanya tak pernah berhenti.
Lalu Allah
mengingatkanku:
“وَقُلْ رَبِّ
ارْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا”
Wa qul rabbi irhamhumā kamā rabbayānī shaghīrā
“Ya Allah, sayangilah mereka sebagaimana mereka menyayangiku sejak kecil.”
(QS. Al-Isra: 24)
Untuk semua
orang tua kami…
Maafkan kami yang belum mampu membalas cinta kalian seutuhnya.
Enam Tahun:
Waktu yang Pendek untuk Belajar, Tapi Cukup untuk Memahami
Kami sedang
belajar:
Agree to disagree.
Berbeda bukan berarti bermusuhan.
Pernikahan
bukan menemukan yang sempurna,
tapi menjadi sempurna bersama dalam ketidaksempurnaan.
Doaku di
Ujung Subuh Ini
“Ya Allah…
Satukan hati kami dalam ridha-Mu.
Jadikan perbedaan kami sebagai alasan untuk saling melengkapi.
Ajarkan kami mencintai bukan karena kesempurnaan,
tapi karena Engkau.
Dan apapun ketetapan-Mu,
aku ikhlas… aku pasrah… aku bersyukur.”
Untuk
Anak-Anakku
Maafkan Ayah
dan Mama yang belum sempurna.
Hidup kalian masih panjang.
Bangun masa depan kalian.
Kejar cita-cita kalian.
Semoga Allah selalu menjaga kalian di setiap langkah.
Enam tahun ini
mengajarkanku satu hal:
Kadang, ombak paling besar justru membawa kapal kita lebih dekat ke tujuan.
Dan hari ini,
kami melangkah lagi—pelan, tapi mantap—menuju masa depan yang hanya Allah yang
tahu alurnya.
Aamiin ya
Rabbal ‘Alamin.
Berpikir
positif ketika kenyataan jauh dari ekspektasi adalah seni menerima hidup apa
adanya—bukan dengan menyerah, tetapi dengan hati yang lapang, senyum yang tetap
terjaga, serta keyakinan bahwa setiap perbedaan antara harapan dan realita
adalah cara Allah mengajarkan kita makna sabar, syukur, dan bahwa rencana-Nya
selalu lebih indah daripada rencana kecil yang kita susun sendiri.

