BRAM SAUDARA TANPA DARAH, SAHABAT SEJATI
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Ada satu masa dalam hidup kita di mana nama seseorang
melekat seperti cap stempel di ingatan. Bukan karena dia selalu di samping kita
setiap jam, tetapi karena tanpa dia, ada bagian dari diri kita yang nggak
terbentuk.
Buatku, nama itu cuma satu: Bram.
Atau kalau lagi mau formal dikit: Brama Djatipatria, manusia
yang kalau dilihat sekilas tampak biasa saja… sampai kamu kenal lebih dalam dan
sadar, “Lho… kok orang ini rasanya kayak rumah?”
Bermula dari Sebuah Kebutuhan yang Jujur
Kami bersahabat bukan karena dipaksa keadaan. Bukan karena
satu geng, bukan karena satu les, dan bukan karena saling numpang PR. Itu mah
bonus.
Kami bertemu karena… kami sama-sama butuh seseorang untuk
belajar jadi manusia. Butuh teman yang bisa ngomong tanpa takut dihakimi, butuh
tempat untuk ketawa sampai perut keram, dan butuh bahu yang nggak nuntut
apa-apa.
Kadang aku bertanya ke diri sendiri: kenapa sih aku sedekat
itu sama Bram?
Jawabannya selalu sama:
Karena dia melengkapi lubang-lubang yang aku bahkan nggak sadar aku punya.
Keluarga Bram: Warna-warni dalam Bentuk Nyata
Pertama kali masuk rumah Bram, aku langsung ngerasa kayak
masuk dunia lain. Bukan dunia fancy ala film Hollywood, tapi dunia di mana
kehangatan itu menetes dari pintu depan sampai ke dapur.
Mbak Puri, kakak first-born mereka, seperti versi manusia
dari pengharum ruangan: lembut, menenangkan, dan bikin kamu betah di mana pun
dia berada.
Mas Bimo, kakak laki-lakinya, punya gaya bicara ala pelatih
pasukan elite, tapi sebenarnya hatinya kayak klepon—keras di luar, meleleh di
dalam.
“Nu, besok ikut futsal. Jangan ngumpet di perpustakaan!” katanya sekali.
Mana dia tahu aku ke perpustakaan bukan ngumpet, tapi ngejar AC.
Mbak Fitri adalah penyeimbang. Nggak ribut, tapi kalau dia
bicara, semua berhenti.
“Bim, itu gelas bukan tempat nyimpen baut.”
Seketika rumah kembali harmonis.
Dan di tengah semua kehebohan indah itu… ada Bram, sibungsu
yang selalu jadi semacam lilin kecil di sudut ruangan: sederhana, tapi
cahayanya terasa.
Oom Marko: Pahlawan yang Tidak Mengintimidasi
Ayahnya Bram, Oom Marko Kasiroedin, adalah legenda berjalan
dari TRIP Malang. Tapi yang bikin aku kagum, bukan cara beliau bercerita
tentang perjuangan bersenjata… melainkan perjuangan hatinya.
“Cinta itu bukan meluluhkan… tapi memperjuangkan,” katanya
sambil memegang cangkir teh. “Kayak Papa dulu ngejar Mama kamu tahu? Itu
pertempuran yang lebih menegangkan daripada melawan Belanda.”
Tante Popie hanya geleng-geleng di belakang.
“Jangan percaya semua versi ceritanya, Nak,” katanya sambil tersenyum lebar.
Tapi aku percaya. Cinta yang sudah bertahan puluhan tahun
itu pasti pernah diperjuangkan mati-matian.
Dan entah kenapa, tiap dengar cerita Oom Marko, aku merasa
jadi lebih manusia.
Perkot: Rumah Tanpa Pagar di Hati Kami
Perkot—nama kecil yang penuh kenangan.
Rumah-rumah tropis tersusun rapi, pohon flamboyan meneduhkan
jalan, anak-anak sore hari menggema tawa, dan suara sepeda berdecit seperti
musik pengiring masa remaja.
Di sinilah kami menata masa depan tanpa sadar.
Di sinilah kami belajar bahwa hidup itu nggak selalu soal menang atau hebat…
tapi soal punya tempat untuk pulang.
Tameng, Supir Pribadi, dan Komandan Misi Lapangan
Setiap kali aku mau pergi, Papa selalu tanya:
“Pergi sama siapa?”
“Bram.”
“Oh. Ya sudah.”
Cuma itu.
Itu aja udah cukup buat Papa percaya aku bakal pulang dengan selamat.
Lucunya, walaupun motornya motor Papa, yang nyetir selalu
Bram.
“Aku percaya kalau kamu nyetir, kita nggak sampai tujuan,” kata Bram santai.
“Wah, kurang ajar,” jawabku.
“Tapi fakta,” dia menambahkan.
Ya sudah, aku jadi penumpang tetap. Sementara Bram jadi
semacam pengemudi resmi plus pengarah hidup tidak resmi.
Belajar Tanpa Diajar
Bahasa Inggris di rumah Bram mengalir kayak air.
“Have you done your homework?” tanya Mbak Puri.
“Yes, yes,” jawab Bram.
Aku di sebelah cuma manggut-manggut pura-pura ngerti.
Bram ngelirik dan bisik, “Dia cuma nanya PR.”
“Ya aku tau lah!”
Padahal nggak tau.
Tapi yang aku ingat, Bram nggak pernah bikin aku merasa
bodoh.
Dia selalu menemukan cara untuk narik aku naik tanpa bikin aku merasa dituntun.
Teman kayak gini langka.
Tempat les pun kalah telak.
Tante Popie: Ibu dengan Jurus Nasi Goreng Cinta
Kalau ada lomba ibu paling perhatian, Tante Popie menang
telak.
Setiap kami mau keluar — mau kegiatan remaja, mau sekolah,
bahkan mau cari angin — beliau selalu bilang:
“Nih, bawa ini. Jangan jajan sembarangan.”
Isi bekalnya kadang risoles, kadang pisang goreng, kadang
roti isi, dan yang paling nendang: nasi goreng ala Tante Popie.
Aku pernah bilang ke Bram, “Andai semua masalah hidup bisa
selesai dengan nasi goreng, aku pasti tinggal di rumahmu tiap hari.”
Bram cuma mendengus, “Hidupmu memang aneh, Nuk.”
Lebih dari Sekadar Sahabat
Suatu sore, setelah berkeliling Perkot pakai motor Papa
yang—untuk kesekian kalinya—dikendarai Bram, aku bilang ke dia:
“Bram, kamu sadar nggak… kamu itu saudara paling aneh yang
pernah aku punya.”
“Lho. Saudara kok aneh?”
“Ya kamu itu bukan saudara kandung… tapi rasanya lebih dari
itu. Kayak… ada di otak, di hati, di langkah.”
Bram diam sebentar.
“Maksudnya kamu sayang sama aku gitu?”
“Ya, semacam itu…”
“Jijik banget bahasanya, Nu.”
“Tapi kamu ngerti kan?”
Dia mengangguk kecil. “Iya.”
Lalu dia memutar gas motor.
“Udah, ah. Kita cari angin. Omongan kamu berat.”
Tapi aku tahu dia senang.
Aku juga.
Karena ada orang-orang yang hadir bukan untuk mengajarkan
sesuatu…
tapi untuk menjadi bagian dari siapa kita kelak.
Dan Bram adalah itu bagiku.
Tanpa darah, tanpa garis keturunan, tanpa sumpah-sumpah formal.
Hanya rasa.
Dan rasa itu cukup untuk menyebutnya:
saudara.
