KEBAHAGIAAN YANG DIAM-DIAM: FILOSOFI KOPI, HUJAN, DAN KUCING NAKAL
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Sore itu, aku duduk di teras rumah, menyeruput kopi panas yang
masih beruap, sambil menatap jalan kecil yang basah karena hujan baru reda.
Aroma tanah basah menyatu dengan udara sore, bikin paru-paru lega, tapi juga
bikin pikiran melayang ke hal-hal absurd. Aku tersenyum sendiri sambil mikir, “Apa
benar kebahagiaan itu harus punya rumah megah atau gaji selangit? Atau cukup
duduk di teras sambil nonton kucing nyolong roti?”
Ya, si kucing gendut berbulu abu-abu yang baru saja mencoba
nyolong roti dari meja luar. Aku cuma bisa geleng kepala sambil senyum tipis.
Filosofi bilang, Aristoteles bakal nyebut ini eudaimonia: hidup yang
selaras dengan kebajikan dan keseimbangan. Stoik kayak Epictetus bakal nyengir
sambil bilang, “Nucky, kamu nggak bisa kontrol hujan, nggak bisa kontrol kucing
itu, tapi senyummu? Itu bisa, bro.”
Aku ketawa sendiri. Sumpah, hidup ini penuh paradoks. Kita sering
mikir kebahagiaan harus dramatis—jalan-jalan ke Paris, makan malam mewah,
selfie di pantai. Padahal, kadang kebahagiaan muncul diam-diam, seperti Wi-Fi
yang tiba-tiba nyambung sendiri saat kamu lagi lupa password.
Aku tarik napas panjang. Syukur. Banyak hal kecil yang sering kita
anggap remeh, tapi kalau dicatat, bisa lebih panjang dari daftar belanjaan
mingguan. Bisa makan, bisa bernapas, bisa melihat teman tersenyum—itu semua
nikmat. Al-Qur’an bilang, “Jika kalian bersyukur, pasti Aku akan menambah
nikmat bagi kalian” (QS. Ibrahim: 7). Aku tersenyum lagi, merasa bodoh
karena dulu sering lupa ngitung nikmat itu. Terkadang hati manusia bisa kering
kayak roti tawar tanpa mentega.
Hidup nggak selalu adem ayem. Kadang kayak ujian matematika: bikin
pusing, stres, pengen lempar kertas ke tembok, atau sekadar ngumpet di kamar
sambil ngomong sendiri, “Ya Allah, kenapa gue begini?” Camus bilang, absurditas
itu bagian hidup, tapi di situlah kita bisa menemukan makna. Frankl bilang,
penderitaan yang dijalani dengan sadar dan bermakna, bikin hati lebih kuat.
Jadi pas pacar tiba-tiba mutusin atau email salah kirim ke bos, aku tarik
napas, senyum setengah paksa, terus bilang ke diri sendiri: “Oke, ini bagian
proses, Nucky.”
Aku menyesap kopi lagi, mataku tertumbuk ke anak-anak tetangga
yang masih main meski jalanan basah. Ada yang terjatuh, ada yang ketawa ngakak,
ada yang hampir nyemplung ke genangan air. Aku tersenyum lagi, ikut
senyum-senyum sendiri. Di situlah aku sadar: kebahagiaan itu muncul di momen
paling sederhana, yang kadang kita lupakan karena terlalu sibuk mikirin masa
depan atau galau sama masa lalu.
Si kucing… akhirnya ketahuan. Aku teriak setengah bercanda, “Hei!
Balikin rotinya!” Si gendut cuma menatap dengan tatapan seolah bilang, “Santai,
Nucky. Hidup itu lucu.” Anak-anak tetangga ikut ketawa, dan aku tertawa,
tapi sambil batin: “Lihat, kadang yang bikin bahagia itu cuma drama kecil
yang nggak kita rencanain.”
Aku masih duduk di teras, kopi hampir habis, hujan mulai berhenti,
tapi udara tetap segar. Tetangga sebelah datang, bawa beberapa daun kering dan
bilang, “Nucky, lihat deh, daun ini bagus buat mainan anak-anak.” Aku cuma
geleng kepala sambil senyum, tapi di batin aku mikir: “Hidup ini penuh kejutan
kecil yang bikin hati hangat, ya.”
Sambil menatap jalan, aku tersadar lagi: kebahagiaan itu bukan
target, bukan garis finish, tapi proses. Dia muncul di detik-detik kecil, di
hati yang sadar, di pikiran yang mampu bersyukur, dan di senyum yang
tulus—meski dunia kadang absurd.
Aku meneguk kopi terakhir, dan kucing itu sekarang duduk santai di
sisi kursi, seolah menunggu ampun. Aku ketawa pelan, tarik napas panjang, dan
bilang ke diri sendiri: “Hidup, ya, begini aja cukup kok.”
Dan di saat itu, aku merasa cukup. Sederhana. Hangat. Bermakna.
Seperti filsafat hidup yang diam-diam hadir, lewat hujan, kopi, anak-anak, dan
kucing nakal.