KETIKA PROFESIONALISME DISERET KE MEJA HIJAU: KISAH YANG MEMBUAT ORANG BAIK TAKUT PULANG
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Ada kalanya hidup memberikan tamparan
yang tidak kita duga—tamparan yang tidak berbunyi plak, tetapi berbunyi jauh
lebih pedih: “Oh, jadi begini nasib orang baik di negeri sendiri?”
Itu bukan tamparan yang merusak kulit, tapi merobek keyakinan pelan-pelan. Kala
kita tumbuh besar dengan mimpi mulia: sekolah tinggi, bekerja profesional,
kembali ke negeri dan berbuat sesuatu… ternyata kini mimpi semacam itu mulai
terasa seperti permainan petak umpet di malam gelap—kita tidak tahu apa yang
akan menunggu di tikungan.
Dan di tengah kabut kebingungan itu,
muncul kisah yang mengguncang: vonis untuk Ira Puspadewi, eks Direktur Utama PT
ASDP Indonesia Ferry.
Kisah yang membuat banyak profesional
Indonesia yang sedang tenang bekerja di luar negeri mendadak kirim pesan ke
grup WhatsApp alumni:
“Bro, kalau mau pulang… pikir 100 kali dulu.”
Kalimat yang terdengar bercanda, tapi getirnya lebih pekat daripada kopi hitam
tanpa gula.
Ketika Pengalaman Tidak Lagi
Menjadi Pelindung
Siapa Ira Puspadewi?
Bukan tokoh film, bukan selebritas, bukan pesohor. Ia hanya—atau mungkin
“justru”—seorang profesional tulen.
17 tahun bekerja di GAP Inc.,
perusahaan global asal Amerika.
Membawahi tujuh negara sebagai Direktur Global Initiative Regional Asia.
Lulusan magister dari Asian Institute of Management, salah satu institusi
terbaik di Asia.
Singkatnya: tipe anak bangsa yang
biasanya kita pamer-pamerkan di acara TV sebagai “putra-putri terbaik Indonesia
yang berkiprah di dunia internasional.”
Dan ketika ia pulang, memimpin BUMN,
banyak yang bilang:
“Wah, akhirnya ada profesional di posisi strategis. Ini harapan baru.”
Tidak ada yang menyangka, harapan itu
justru kelak berubah menjadi headline muram.
Ketika Profesionalisme Tak Lagi
Melindungi
Kasus yang menjerat Ira muncul
seperti badai: tiba-tiba, memukul, dan membingungkan.
Selama persidangan:
- nggak ada bukti gratifikasi,
- nggak ada mark up harga,
- nggak ada kerugian negara yang nyata ditemukan.
Tapi tetap saja… vonis turun: 4,5
tahun penjara.
Ringan dari tuntutan jaksa 8 tahun 6
bulan?
Mungkin.
Tapi untuk logika publik?
Untuk hati nurani orang yang bekerja dengan integritas?
Itu berat. Sangat berat.
Dan seketika lahir bisikan yang
seharusnya tidak pernah ada di sebuah negara:
“Kerja profesional itu nggak cukup.
Harus tahu cara main cantik.”
Kalimat yang membuat orang-orang
idealis tiba-tiba merinding.
Kalimat yang membuat para pekerja
Indonesia di luar negeri mendadak berpikir ulang untuk pulang.
Ketika Data Bicara… Tapi Tidak
Didengar
Bagian paling absurd dari drama ini
adalah kenyataan bahwa ASDP justru mencapai performa terbaik setelah akuisisi
PT Jembatan Nusantara.
Angka-angkanya bukan angka ecek-ecek:
- Laba bersih 2021: Rp 317 miliar
- Laba bersih 2022: Rp 585 miliar (TERTINGGI
sepanjang sejarah ASDP!)
- EBITDA 2022: Rp 1,101 triliun—naik 39%
- Predikat Kinerja “Sangat Bagus” dari evaluasi
resmi BUMN
Ibarat beli rumah tua, direnovasi,
dan harganya naik dua kali lipat—orang akan bilang itu keputusan brilian.
Tapi cerita ini bukan di dunia
properti.
Ini di dunia hukum.
Dan dunia hukum tampaknya punya plot twist-nya sendiri.
Dua Dunia yang Tidak Bertemu
Kasus ini seperti menonton dua film
berbeda secara bersamaan:
Film versi Manajemen:
Akuisisi adalah strategi bisnis.
Keputusan profesional.
Dampaknya terbukti: pendapatan naik, efisiensi meningkat, laba melejit.
Film versi Hukum:
Nilai saham PT JN minus.
Ada utang.
Ada proses yang dianggap tidak objektif.
Maka—meski laba perusahaan melonjak—secara hukum negara dianggap rugi Rp 1,25
triliun.
Paradoks kelas berat.
Ibarat melihat kapal ferry yang
jelas-jelas berlayar dengan lancar, tapi di atas kertas disebut tenggelam.
Dan publik hanya bisa bertanya:
“Kalau yang rugi beneran saja
direksinya diam,
masa yang bikin perusahaan untung malah yang diseret?”
Ketika Rasa Takut Menyebar Lebih
Cepat dari Berita
Dampak terbesar dari kisah ini bukan
hanya hukuman.
Bukan hanya headline media.
Bukan hanya analisis pengamat.
Dampak terbesarnya adalah rasa takut.
Rasa takut yang mengendap pelan-pelan
di kalangan profesional:
- takut tanda tangan,
- takut mengambil keputusan,
- takut menjalankan strategi,
- bahkan takut mencintai negeri sendiri.
Beberapa direksi diam-diam bilang:
“Udahlah, jangan ambil risiko. Yang penting aman.”
Padahal negara ini dibangun dari
keputusan-keputusan berani.
Dari orang-orang yang mau memikul beban.
Dari profesional yang bekerja bukan untuk diri sendiri.
Kalau mereka semua kini takut…
siapa yang akan tersisa?
Nilai Kemanusiaan yang Kerap
Terlupakan
Di balik angka 1,25 triliun, di balik
tabel EBITDA, di balik pasal dan ayat hukum—ada manusia yang bernapas, yang
hidupnya berubah.
Ada seorang perempuan yang
reputasinya runtuh.
Ada keluarga yang menahan stigma.
Ada anak-anak yang harus menjawab pertanyaan yang tidak seharusnya.
Ada ribuan pegawai yang kini was-was bekerja.
Ada jutaan profesional yang mulai pesimis pulang.
Dan entah kenapa, bagian inilah yang
paling membuat hati terenyuh.
Hukum boleh tegas.
Hukum harus tegas.
Tapi ketika ketegasan membuat orang-orang baik takut…
di situ kita perlu duduk sebentar, tarik napas, dan bertanya:
“Apa yang sebenarnya sedang kita
bangun?”
Semoga Ini Bukan Epilog
Kisah ini belum selesai.
Belum harus selesai.
Dan jangan sampai selesai dengan kesimpulan yang pahit.
Karena ini bukan sekadar cerita
tentang satu orang.
Ini cerita tentang ekosistem profesionalisme di negeri ini.
Tentang para pemimpin masa depan.
Tentang anak-anak muda yang sedang sekolah dan bermimpi.
Jika orang-orang baik takut pulang,
takut bekerja,
takut memimpin…
maka masa depan negara ini tidak
perlu dirusak oleh koruptor.
Akan rusak oleh ketakutan itu sendiri.
Semoga kita masih punya cukup
keberanian untuk berpihak pada akal sehat.
Semoga negeri ini tidak kehilangan orang-orang terbaiknya hanya karena mereka
takut tersandung oleh niat baik sendiri.
Dan semoga suatu hari nanti…
kita tidak perlu lagi berkata pada teman-teman kita di luar negeri:
“Bro, kalau mau pulang, pikir 100
kali.”
Karena saat itu, Indonesia
benar-benar menjadi rumah.