KETIKA SUNYI BICARA: CURHATKU KEPADA SAHABATKU, SAAT ALLAH MASIH MENDEKAPKU

 UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :



 Siang itu, entah mengapa, kesedihan datang tanpa aba-aba.

Tidak mengetuk pintu, tidak bilang permisi, langsung duduk di dadaku seperti tamu gelap yang ngotot ingin menetap.

Sesak.
Berat.
Seolah ada kabut yang turun perlahan, menyelimuti tubuh dan pikiranku.

Aku duduk lama, memandangi dinding yang rasanya ikut sedih bersamaku. Setelah beberapa menit menata kalimat dalam hati, aku pun menekan nama yang muncul di layar ponsel: Firman.

“Fir…” suaraku pelan, hampir seperti bisikan patah.
“Aku tuh… sedih, Man.”

Di seberang sana, Firman diam. Mungkin dia tahu ini bukan kalimat pembuka biasa.

“Tau gak, Man… aku suka liat aktivitas di grup WA anak-anak. Tapi jujur, kok aku merasakan perbedaan yang besar banget ya?”

Aku menarik napas panjang, dalam… dan berat.

“Dulu, waktu aku masih lincah, aktif, sehat… kita tuh kayak brotherhood. Sahabat susah senang bareng. Saling dorong, saling tarik, saling ngeguyon. Rasanya hangat, rame, hidup.”

Aku menelan air liur yang rasanya pahit.
“Sampai aku kena stroke. Kamu tau kan… MasyaAllah, waktu itu semuanya turun tangan bantu aku. Serius, Man… aku ngerasa banget Allah kirim orang-orang baik buat narik aku dari lubang paling gelap.”

Aku terdiam sejenak.
Ada sesuatu yang menggantung di ujung mata.

“Tapi, Man… sekarang kok beda? Kenapa rasanya hampa? Kok aku merasa… udah bukan bagian dari energi itu lagi?”

Tidak ada lagi suara keras penuh tawa:
“Ayo Ky, gas!”
atau
“Ky, bikin proposal event yuk!”
atau
“Ada ide gila apa lagi, Ky?”

Sekarang yang ada cuma…
“Kamu gimana sekarang, Ky? Sudah lebih sehat?”

Perhatian, iya.
Tulus, iya.
Tapi hatiku… rindu merasa berguna.
Rindu disuruh.
Rindu dibutuhkan.

“Aku kayak meja kerja, Man,” kataku lirih.
“Dulu penuh kertas, ide, ribut, berantakan tapi produktif… sekarang cuma dilap terus. Rapi. Bersih. Tapi gak ada yang ditaruh lagi di atasnya.”

Firman diam lagi. Mungkin bingung harus jawab apa. Atau mungkin hatinya ikut nyeri.

Yang membuatku lebih sesak, perasaan hampa itu juga muncul di rumah.

“Pa… Ma…” sering aku bilang dalam hati,
“Percayalah, intuisi dan nalarku masih jalan. Masih tajam. Masih bisa mikir jernih. Masih bisa ngukur keadaan.”
Tapi entah kenapa… pesan itu rasanya tidak sampai.
Seperti WiFi yang sinyalnya tinggal satu garis.

Mereka menyekolahkan aku tinggi-tinggi, berharap aku menjadi orang yang bisa diandalkan. Tapi sekarang… kok rasanya justru sulit sekali dipahami?

Belum selesai sampai di situ.
Pendampingku pun pergi. Dengan alasan yang… aku sendiri tidak tahu apakah harus kupahami atau kutertawakan getir-getir.

Aku merasa tidak dibutuhkan…
Merasa jadi beban…
Merasa ditempatkan di kursi paling belakang dalam hidup banyak orang.

Teman kerja pun menjauh perlahan.
Dulu diskusi panjang berjam-jam untuk hal yang kadang tidak jelas tujuannya, sekarang bahkan menanyakan pendapatku pun tidak.

Aku ingin bilang ke Firman:
“Fir… aku ingin sekali diberi perintah. Dikasih tugas. Jangan dikasihani. Aku cuma ingin dimengerti.”

Tapi aku hanya menghela napas.
“Wallahu a’lam,” gumamku.
Kadang hati ini hanya mampu berbisik kepada diri sendiri:
“Entahlah…”

Namun, anehnya… di tengah sunyi yang menakutkan itu, aku menemukan sesuatu yang tidak pernah pergi.

Sesuatu yang justru makin terasa saat semua yang lain menjauh.

Tangan halus itu.
Tuntunan lembut itu.
Kasih yang tidak pernah absen itu.

Aku merasakannya.
Dengan sangat jelas.

Allah.

Dia tidak menjauh.
Dia tidak melepas.
Dia tidak memalingkan wajah-Nya, bahkan ketika aku merasa manusia mulai memalingkan wajah mereka.

Bukankah Allah berfirman:

﴿ وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ ﴾
Wa naḥnu aqrabu ilayhi min ḥablil-warīd
“Dan Kami lebih dekat kepadanya daripada urat lehernya.” (QS. Qaf: 16)

Dan aku mengingat satu hadits yang selalu membuatku kembali menegakkan punggung:

قَالَ رَسُولُ اللّٰهِ ﷺ : إِنَّ عِظَمَ الْجَزَاءِ مَعَ عِظَمِ الْبَلَاءِ
Inna ‘iẓamal-jazā’i ma‘a ‘iẓamil-balā’
“Besarnya pahala sejalan dengan besarnya ujian.” (HR. Tirmidzi)

Allah tidak sedang menghukumku.
Allah sedang mengangkatku.
Dengan cara yang kadang perih… tapi penuh sayang.

Mungkin karena dulu aku terlalu sibuk terlihat kuat di luar,
Allah ingin aku kuat di dalam.

Mungkin karena aku dulu sibuk menggerakkan banyak orang,
Allah ingin aku belajar menggerakkan diriku sendiri.

Mungkin karena aku dulu hidup dalam suara yang bising,
Allah ingin aku mendengar suara-Nya dalam sunyi.

Lalu perlahan aku paham…
Aku tidak benar-benar sendiri.

Aku hanya sedang dialihkan.
Ditarik dari keramaian palsu menuju ketenangan yang nyata.
Dijauhkan dari peran yang melelahkan menuju peran baru yang lebih bermakna.
Dialihkan dari manusia… untuk kembali kepada-Nya.

Di titik itulah aku berkata kepada Firman… dan juga kepada diriku sendiri:

“Fir… mungkin orang-orang terdekatku sudah gak terlalu membutuhkan aku.
Tapi Allah memberiku tugas baru.
Untuk menyebarkan semangat, dakwah kecil, syiar Islam… lewat cara yang mampu kulakukan.
Mereka yang tak bisa kujangkau fisiknya… mungkin justru yang paling butuh pesanku.”

Dan saat aku menyadari itu,
sunyi tidak lagi menakutkan.
Justru menjadi ruang baru yang lapang.

Karena selama tangan itu masih membimbingku,
selama hati ini masih mampu berbisik,
selama napas ini masih naik-turun walau perlahan…

Masih ada harapan.
Masih ada jalan pulang.
Masih ada masa depan yang Allah siapkan dengan sangat rapi.

Kadang kita perlu merasa hampa…
agar Allah bisa mengisi ruang itu dengan sesuatu yang lebih penuh.

Dan hari itu aku belajar satu hal penting—pelajaran yang menghujam tapi menenangkan:

Tidak semua yang hilang itu musibah.
Kadang itu hanyalah cara Allah melapangkan hati kita… agar Dia bisa masuk lebih dalam.
 

Postingan populer dari blog ini

SAAT WAKTU ITU TIBA… RENNY PULANG KE PANGKUAN ALLAH

BADAI ITU MEMANG DATANG TANPA PERMISI - 18 DESEMBER 2024.

BANGKIT LAGI, SEKALIPUN PELAN