RINDU YANG TAK JADI PULANG
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kadang hidup ini memang seperti
penggalan lagu yang salah masuk playlist—kita berharap bangun dan menemukan
semuanya hanyalah mimpi. Tapi sayangnya, tidak ada tombol skip untuk
kenyataan. Termasuk kenyataan bahwa seseorang yang dulu kita genggam erat kini
sedang menggenggam tangan orang lain, sementara kita sibuk menggenggam
penyesalan sendiri.
Dulu, kamu memutuskan dia.
Dengan percaya diri, dengan ego yang saat itu terasa tinggi—padahal sebenarnya
rapuh. Kamu merasa keputusan itu benar, sampai akhirnya dunia diam-diam berubah
arah. Dan ketika ingin mengulang, semuanya sudah telanjur terjadi. Ya,
begitulah cinta: kadang kita sadar betapa berharganya sesuatu justru setelah
kita melepasnya dengan mudah.
Kini kamu masih ingin bertemu.
Masih ingin memeluk. Masih ingin berkata satu kalimat sederhana yang dulu
terlalu sulit diucapkan: “Maaf, aku bodoh.” Tapi semua itu tinggal “ingin”.
Karena dia sudah memilihnya—dan kamu, meski masih sayang, hanya bisa melihat
dari jauh sambil meneguk pahitnya rindu yang tak punya kaki untuk pulang.
Namun begitulah manusia. Kita
hidup di dalam lingkaran penyesalan dan pembelajaran. Ada ego yang dulu
berteriak, lalu runtuh perlahan ketika rindu mulai menikam di malam-malam
panjang. Dan di titik inilah kita teringat pada satu kalimat yang sering kita baca
tapi lupa kita hayati:
Allah berfirman:
﴿وَعَسَىٰ أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَّكُمْ﴾
Wa ‘asā an takrahū shay’an wa huwa khayrun lakum
“Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia baik bagimu.” (QS. Al-Baqarah:
216)
Mungkin kehilangan ini adalah
cara Allah memindahkanmu dari ruangan yang salah ke tempat yang lebih
tepat—meski jalannya lewat luka. Luka yang membuatmu lebih lembut, lebih rendah
hati, lebih dewasa. Luka yang mengingatkan bahwa rasa sayang tidak selalu harus
dimiliki; kadang cukup disyukuri pernah terjadi.
Nabi Muhammad ﷺ juga pernah
mengingatkan tentang melepaskan ego dan menjaga hubungan dengan hati yang
bersih:
“لَا تَغْضَبْ”
Lā taghdhab
“Jangan marah.” (HR. Bukhari)
Sebuah pesan pendek tapi menghantam: betapa banyak hubungan retak bukan karena
kurang cinta, tapi karena ego yang terlalu suka jadi penguasa.
Sekarang kamu menyesal. Dan itu
manusiawi. Kamu rindu—rindu yang tidak meminta dibalas, tidak menuntut kembali,
hanya menetap diam di sudut hati. Rindu yang perlahan mengajarkan bahwa
kehilangan bukan kiamat; itu hanya tanda bahwa ada bab baru yang sedang
disiapkan untukmu.
Di hati, dia tetap terindah. Di
ingatan, dia tetap cerita yang tidak akan hilang. Tapi hidup terus berjalan,
dan kamu berhak bahagia lagi, bahkan jika bahagia itu tidak lagi bersamanya.
Kadang yang paling menyakitkan
bukan “dia pergi”, tapi “dia bahagia tanpa kita”. Namun jangan lupa, Allah
selalu menulis takdir dengan tinta yang paling lembut. Tidak pernah salah
alamat. Tidak pernah keliru tujuan.
Rindu itu akan tetap ada—di
dalam hati, seperti lagu yang terus berputar meski sudah kita matikan. Tapi
pelan-pelan kamu akan belajar bernapas lagi tanpa terasa sesak. Pelan-pelan
kamu akan mengerti bahwa mencintai tidak harus memiliki; kadang cukup mendoakan
tanpa diketahui.
Dan pada akhirnya, kamu akan
berdiri tegak dan berkata pada dirimu sendiri:
“Aku pernah jatuh, tapi tidak
hancur. Aku pernah kehilangan, tapi tidak hilang. Dan aku pernah mencintai,
dengan seluruh hatiku—meski akhirnya hanya menjadi cerita.”
Karena cinta yang tulus tidak
pernah sia-sia: ia hanya berubah bentuk. Dari genggaman… menjadi kenangan. Dari
kepemilikan… menjadi pelajaran. Dari rindu yang ingin kembali… menjadi rindu
yang diam-diam merawatmu dari dalam.
Dan pada akhirnya, kamu akan
tersenyum—meski sedikit getir—karena tahu bahwa:
Rindu hanya di dalam hati.
Namun di hati, kau tetap terindah.
Selalu di hati.