SAAT IKHLAS MENEMUKAN SUNYINYA
UNTUK MENDAPAT SUASANA TERBAIK, SILAHKAN KLIK LINK VIDEO BERIKUT :
Kisah Pergi yang Tidak Pernah Benar-Benar Hilang
Ada kalanya hidup mempertemukan kita dengan seseorang bukan
untuk dimiliki, bukan untuk digenggam erat, dan bukan pula untuk ditahan
mati-matian. Ada yang hadir hanya untuk mengajarkan kita tentang seni
melepaskan—dengan cara yang paling lembut, paling sunyi, dan paling menyakitkan
sekaligus.
Ini adalah kisah tentang itu. Tentang aku, tentang dia, dan
tentang takdir yang tidak selalu berpihak pada keinginan, tapi selalu berpihak
pada kebaikan.
Saat Tugas Itu Usai
Malam itu tiba-tiba terasa lebih lengang dari biasanya.
Entah kenapa, suara kipas angin terdengar lebih jelas, doa-doa terdengar lebih
pelan, dan hatiku terasa seperti duduk sendirian di sebuah kursi kosong.
Di dalam sunyi itu, hati kecilku berbisik:
“Aku sudah selesai menjagamu.”
Bukan karena aku berhenti sayang.
Bukan karena aku lelah.
Dan bukan pula karena kamu berubah.
Aku hanya sadar… bahwa takdirku memang dititipkan sampai
batas tertentu saja.
Ada pagar yang tidak boleh kulewati.
Ada garis yang harus kutuntaskan dengan pelan-pelan.
Dan entah bagaimana, di titik itu langkahku berhenti sendiri.
Dengan damai.
Dengan pasrah.
Dengan sedikit gemetar—tapi juga penuh syukur.
Sebab dalam dirimu, pernah kulihat kebaikan yang tidak semua
orang bisa melihat.
Kebaikan yang membuatku bertahan, bahkan ketika logika sudah lama menyerah.
Kadang aku berpikir, “Mungkin aku terlalu berlebihan.”
Tapi siapa yang bisa mengatur hati? Kalau sudah terlanjur jatuh, ia tak pernah
minta izin pada logika.
Kebenaran yang Tak Bisa Dipaksa
Ada satu kesadaran yang akhirnya kupelajari dengan lirih:
Aku tidak seperti harapanmu.
Dan kamu tidak perlu menjadi seperti bayanganku.
Kita hanya dua manusia yang sering salah duga dan salah
paham. Yang sempurna hanyalah Allah—Al-Haqq, Sang Pemilik Segala
Kebenaran.
Allah berfirman:
﴿ وَمَا تَشَاءُونَ إِلَّا أَنْ يَشَاءَ اللَّهُ ﴾
Wa maa tasyāuuna illā ay-yasyāallāh
“Dan kamu tidak dapat berkehendak kecuali bila Allah menghendaki.”
Di situlah aku sadar:
Semua keinginanku tentangmu…
semuanya bukan milikku.
Aku hanya secuil pengharapan yang ikut arus takdir besar
milik-Nya.
Dan kamu—kamu hanyalah manusia yang sedang mencari jalannya sendiri.
Tidak ada satu pun dari kita yang berhak memaksakan “versi
kebenaran” pada orang lain.
Termasuk aku kepadamu.
Ikhlas yang Belajar dari Luka
Tapi satu hal yang tidak pernah goyah: ketulusanku.
Allah menjadi saksi—
saksi atas langkah-langkah kecilku,
atas doa-doa yang tidak pernah kamu dengar,
atas sabarku yang berpura-pura kuat,
atas harapanku yang perlahan kupendam kembali
agar tidak mencintaimu melebihi cintaku kepada-Nya.
Perubahanmu bukan tuntutanku.
Hanya doaku.
Dan mengikhlaskanmu… bukan kabar gembira.
Itu luka yang harus kupeluk pelan-pelan
agar tidak membuatku berdarah.
Aku mencintaimu tanpa menuntut balasan.
Aku menyayangimu tanpa memaksa jawaban.
Dan akhirnya, aku merelakanmu dengan cara yang lebih dewasa daripada semua rasa
takutku.
Ketika Cinta Harus Mundur Pelan-Pelan
Kamulah bahagiaku—
meski bukan aku yang Allah pilih untuk berjalan di sisimu.
Ada sayang yang harus kugembok.
Ada rindu yang harus kulemaskan.
Ada harapan yang harus kupulangkan.
Seperti daun yang jatuh bukan karena ia membenci pohonnya,
tapi karena memang waktunya pergi agar pohon tetap tumbuh.
Begitulah aku belajar melepaskanmu.
Bukan karena aku berhenti ingin,
tapi karena aku mulai mengerti:
Tidak semua yang kita genggam ditakdirkan untuk kita miliki.
Dan rasanya?
Seperti menelan pil pahit yang ukurannya dua kali lebih besar dari tenggorokan
kecilku.
Sesak.
Tapi perlu.
Kadang, cinta yang paling jujur adalah cinta yang tahu kapan
harus mundur.
Doa yang Terbang dalam Sunyi
Maka biarlah cintaku tinggal dalam diam.
Tanpa tuntutan, tanpa permintaan, tanpa “Balik lagi ya.”
Tidak perlu kamu simpan.
Cukup biarkan ia berjalan sendiri di lorong-lorong sunyi doaku.
Sebab doa itu akan tetap terbang mencarimu—
meski dari jauh,
meski kamu tidak pernah tahu,
meski pesanku sudah tak pernah kamu terima lagi.
Rasulullah ﷺ bersabda:
« الدُّعَاءُ هُوَ الْعِبَادَةُ »
Ad-du‘ā-u huwal ‘ibādah
“Doa adalah inti dari ibadah.”
Dan mencintaimu dalam doa
adalah cara paling tenang yang kupunya
untuk tetap menjagamu
tanpa harus menahanmu.
Sunyi yang Akhirnya Menemukan Ikhlas
Pada akhirnya, inilah perjalanan yang harus kutempuh:
Ikhlas yang menemukan sunyinya.
Sunyi yang tidak menyedihkan,
tapi melegakan.
Sunyi yang tidak menghapus cinta,
tapi menempatkannya di tempat yang benar.
Sunyi yang tidak menghilangkanmu,
tapi membuatku berdamai dengan kenyataan
bahwa mencintaimu tidak harus memilikimu.
Dan jika suatu hari kamu menemukan jalanmu…
bahagialah.
Aku tidak perlu kembali.
Tidak perlu mengetuk pintu hatimu lagi.
Tidak perlu menjadi siapa-siapa bagimu.
Karena tugasku mencintaimu
sudah selesai.
Dan tugasku mengikhlaskanmu
baru saja sempurna.