KETIKA KATA TAK SAMPAI
Kadang hidup ini bukan tentang apa yang kita katakan, tapi
tentang bagaimana kita mengatakannya. Kalimat itu pertama kali kudengar dari
seorang teman lama—orang yang tak lagi sering kutemui, tapi setiap katanya
seolah menancap di ingatan, seperti bekas luka yang tidak menyakitkan, hanya
membuatmu berhenti sejenak dan berpikir.
Kami bertemu lagi setelah bertahun-tahun. Di sebuah warung
kecil di sudut kota, tempat yang aroma kopinya masih sama seperti dulu, hanya
saja waktu sudah banyak berubah. Ia tersenyum kecil, dan setelah obrolan
ngalor-ngidul tentang kehidupan, ia menatapku dan berkata pelan, “Kamu tahu,
kadang yang bikin orang saling jauh itu bukan karena mereka salah bicara… tapi
karena mereka nggak tahu bagaimana harus bicara.”
Aku diam. Entah kenapa kalimat itu terasa berat sekali.
Karena aku sadar, mungkin itu juga yang sering terjadi dalam hidupku.
Berapa kali aku berniat baik, tapi berakhir dengan salah
paham?
Berapa kali aku ingin menjelaskan sesuatu dengan jujur, tapi malah terdengar
menyakitkan?
Berapa kali aku ingin menyelesaikan masalah, tapi cara bicaraku justru
memperparah keadaan?
Sulit, memang sulit, menyampaikan pesan untuk benar-benar dipahami.
Kadang bukan isi pesannya yang salah, tapi cara kita menyampaikannya yang
terlalu tergesa, terlalu emosional, terlalu ingin dimengerti tanpa sempat
berusaha mengerti.
Miskomunikasi jadi seperti bara kecil yang dibiarkan menyala di antara dua
hati—lama-lama membesar, menghanguskan kepercayaan, menguras tenaga, dan
meninggalkan lelah yang tidak terlihat.
Aku pernah mengalaminya dalam sebuah hubungan yang dulu
kuanggap paling berharga.
Kami berdua sama-sama keras kepala, sama-sama ingin dimengerti.
Ketika aku marah, aku bicara dengan nada tinggi, berharap ia mengerti
perasaanku. Tapi justru itu membuatnya merasa diserang.
Ketika dia diam, aku menganggapnya tak peduli, padahal ia sedang menahan diri
agar tidak memperburuk keadaan.
Lalu, perlahan, setiap kata yang diucapkan jadi percikan api kecil.
Satu demi satu menyulut kesalahpahaman yang tak pernah benar-benar padam.
Sampai akhirnya aku sadar, setiap miskomunikasi itu seperti
bara api dalam sekam—tidak selalu terlihat, tapi panasnya perlahan membakar
habis energi.
Dan makin lama dibiarkan, makin banyak tenaga yang kita habiskan untuk
menjelaskan, membela diri, atau menenangkan hati yang terlanjur terbakar.
Padahal, kalau sejak awal kita mau berhenti sejenak, menurunkan nada, dan
memilih kata dengan hati, mungkin semua bisa jadi lebih ringan.
Aku belajar, berbicara bukan sekadar menyampaikan isi
kepala, tapi juga rasa.
Bukan soal siapa yang paling benar, tapi siapa yang paling tulus ingin
dimengerti.
Dan untuk bisa begitu, kadang kita harus belajar diam lebih dulu, menata emosi,
mendengarkan dengan hati, bukan hanya dengan telinga.
Ada satu momen yang tak akan kulupa.
Aku pernah bertengkar dengan seseorang yang sangat dekat denganku. Setelah
hari-hari penuh keheningan dan rasa bersalah, aku akhirnya memberanikan diri
untuk bicara lagi. Tapi kali ini aku tidak ingin menjelaskan panjang lebar. Aku
hanya berkata, “Aku nggak mau kita saling menjauh cuma karena kata-kata yang
salah. Aku nggak pandai bicara, tapi aku masih ingin kamu tahu, aku peduli.”
Dia terdiam. Lalu matanya berkaca-kaca.
Dan entah bagaimana, keheningan itu lebih banyak bicara daripada semua kata
yang pernah kuucapkan.
Sejak itu, aku paham: berbicara itu seni yang butuh hati.
Tidak cukup hanya dengan logika, tidak cukup dengan kebenaran.
Karena manusia tidak hidup dari kata-kata saja, tapi dari perasaan yang
terselip di antara kata-kata itu.
Sekarang, setiap kali aku bicara dengan seseorang, aku
berusaha mengingat pelajaran dari teman lamaku itu.
Bahwa komunikasi bukan sekadar menyusun kalimat rapi atau menuntut pengertian,
tapi tentang bagaimana kita hadir dalam kata-kata yang kita ucapkan.
Tentang bagaimana suara kita bisa jadi jembatan, bukan jurang.
Tentang bagaimana setiap percakapan bisa membawa tenang, bukan bara.
Dan mungkin, di situlah letak seni menjadi manusia—belajar
berbicara tidak hanya dengan mulut, tapi dengan hati.
Karena kalau kita salah menyampaikan, yang terbakar bukan hanya kata-kata, tapi
juga hubungan, kenangan, dan rasa sayang yang seharusnya bisa tetap hidup.
Ya, miskomunikasi memang melelahkan.
Tapi belajar memahami satu sama lain, walau sulit, adalah bentuk paling
sederhana dari cinta dan kemanusiaan.